Jika hari itu Rudi dan Mala tidak memaksanya untuk berkuliah di luar negeri, maka sampai hari ini Nayla tidak akan menjadi sebenci itu pada mereka. Iya, dia tidak akan pernah membencinya.
Dari kecil Nayla sangat dekat dengan Rudi, sebelum ibunya meninggal, dia lebih manja kepada Ayahnya daripada Nanden, ke mana dia ingin pergi Rudi selalu menurutinya, apa yang dia inginkan Rudi selalu membelikannya. Pernah suatu ketika saat dia berusia 4 tahun, Rita memarahinya karena dia memecahkan akuarium berisi ikan hias milik kakaknya, Nanden. Nayla memecahkan akuarium itu lantaran dirinya kesal sebab Nanden terus menakut-nakutinya dengan ikan yang sudah mati.
Saking marahnya, Nayla mendorong akuarium itu dari atas meja dan akhirnya terjatuh. Lucunya, dia sendiri yang menjatuhkan, dia sendiri pula yang menangis. Dia takut karena beberapa ikan yang di dalam akuarium itu menggelepak-gelapak di lantai. Rita yang melihat kejadian tersebut langsung memarahinya.
Nayla menangis, dia langsung berlari dan memeluk ayahnya yang kebetulan saat itu baru saja pulang kerja. Dia mengadu padanya bahwa Ibu dan Kakak memarahinya, Rudi gemas, dia hanya terkekeh mendengar aduan lucu dari putri kecilnya itu.
***
“Loh! Buku matematikaku mana? Perasaan waktu itu aku masukin ke koper deh!” serunya dalam kamar, dia kebingungan mencarinya di tumpukkan buku di atas meja.
Nayla coba membuka kembali koper yang dibawanya, memeriksa dan memastikan jika dirinya tidak salah bawa. Saat membukanya, buku itu memang tidak ada. Sialan! disaat dia membutuhkan buku itu untuk ulangan besok, kenapa malah menghilang.
“Apa jangan-jangan ketinggalan di rumah?” lirihnya menyebalkan, dia menggeram, “Masa malam-malam gini aku harus ke rumah sih?” gerutunya.
Tak ada pilihan lain selain dia harus kembali ke rumahnya untuk mengambil buku yang ketinggalan itu. Dengan keluhan dan hentakan kaki tanda terpaksa, dia mengambil mantel dari dalam lemari untuk bersiap pergi ke rumahnya. Pikirnya tak apa lah, cukup hari ini saja, lagian belum terlalu malam, jarak rumah Nadira dan rumahnya pun tidak begitu jauh, itung-itung menikmati udara malam, walaupun malam ini sepertinya cukup dingin. Namun, bukan itu, dia hanya malas kalau harus bertemu dengan Ibu sambungnya itu.
Setelah dikiranya sudah siap, Nayla langsung turun ke bawah. Dia menggunakan mantel karena cuaca di luar cukup dingin, pun tak lupa membawa totebag untuk tempat menaruh bukunya.
Tak sengaja, Nayla melihat Bu Yuni dan Nadira tengah asik menonton televisi di ruang tengah. Mereka berdua tertawa dengan renyah, entah apa yang mereka tonton hingga mereka terlihat bahagia seperti itu.
Nayla berjalan mendekati mereka, “Bu, Kak!” panggilnya, Yuni dan Nadira menoleh.
“Eh, mau ke mana Nay?” tanya Bu Yuni kaget melihat Nayla memakai mantel dan membawa totebag seperti itu.
“Aku mau ambil buku matematika di rumah, Bu. Soalnya buku itu aku lupa bawa, besok ada ulangan.”
“Oh gitu, mau dianterin sama Nadira aja?” tawar Bu Yuni, dia khawatir.
“Iya, Nay, mau aku anterin?”
“Ah, ngga usah Bu, Kak. Lagian kan belum terlalu malam juga. Kalian lanjutin aja nontonnya.” Tolaknya dengan santai.
Yuni dan Nadira saling memandang, sepertinya mereka berdiskusi mata, iya diskusi mata, hanya dengan tatapan mata saja mereka sudah mengerti satu sama lain.
“Ya sudah, hati-hati. Kalo ada apa-apa langsung kabarin Ibu ya?”
“Oke, siap Bu.” Jawabnya, kemudian pamit dengan mencium tangan Yuni dan melambaikan tangan pada Nadira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nanden
Bí ẩn / Giật gânCerita hidup dari seorang pria berusia 23 tahun. Dia adalah Nanden Dermawan, pria yang berasal dari keluarga terpandang. Walaupun hidupnya terbilang mewah, tapi dia adalah pribadi yang sangat sederhana, sesederhana embun pagi yang menyegarkan bunga...