Part 4 - Tanda dan Tanya

10 4 0
                                    

“Tolong! Tolong! Tolong!....” teriak seorang wanita diringi isak tangis di dalam lelapnya.

“Iii…. Iiii… Ibuuuuu!”

***

Ternyata itu hanya mimpi. Waktu menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Pagi buta yang buruk menimpa alam bawah sadar Nanden. Dia terbangun dan duduk di ranjang dengan napasnya memburu, kemudian menyalakan lampu pijar di samping tempat tidurnya.

Buruk sekali. Kenapa akhir-akhir ini dirinya selalu dihantui dengan peristiwa itu. Apakah itu peristiwa yang sesungguhnya? Kenapa semua itu begitu rumit. Segala pertanyaan yang rancu terus membuatnya menjadi tak bisa tenang.

Di dalam mimpi itu, Nanden melihat ibunya meminta tolong terus-menerus, tetapi dia tak bisa melakukan apa-apa, seperti ada seseorang yang mengikat tangan dan kakinya.
Setelah itu suara ibunya tiba-tiba hilang, dan yang lebih membuatnya takut lagi adalah di dalam mimpi itu terlihat ada seorang perempuan yang membawa belati.

Nanden terus memperhatikan langkah perempuan itu. Dia berjalan mendekatinya, dengan mata yang berkaca-kaca Nanden tak melihat dengan jelas siapa dia? Yang dilihatnya hanya genggaman belati dengan sisi tajam penuh lumuran darah. Selain itu, matanya juga tak sengaja menangkap dan melihat pergelangan tangan perempuan itu, dia memakai sebuah gelang rantai.

Nanden masih gemetar, apa yang sebenarnya terjadi? Dia kembali mengingat kenapa dirinya selalu merasakan sakit kepala ketika melihat rantai yang mirip dengan gelang itu, karena kejadian serupa pernah ia alami saat di pameran seni tiga bulan yang lalu. Dia melihat rantai yang mengikat leher patung anjing dan membuatnya mengingat suatu kejadian di masa lalunya.
Apa ini merupakan suatu tanda? Jika ingatannya itu mengutus dirinya untuk menelisik kejadian pada 10 tahun yang lalu? Tapi, ini merupakan hal yang cukup mustahil, mengingat kejadian itu sudah sangat lama.
Nanden tak bisa tidur kembali saat itu, dia terus berjaga hingga matahari kembali terbit.

***

“Bagus, Den. Kamu cukup pesat menyelesaikan ini. Apa kamu mau daftar sidang?” puji dosennya dengan bangga.

Nanden tertegun, “Maksud Bapak?” tanyanya memastikan, dia masih belum percaya.

Dosen pembimbingnya tersenyum lebar, “Kamu mau sidang, nggak?” tanyanya sekali lagi.

Nanden mengangguk semangat, “Mau, Pak! Mau banget!”

Nanden tersenyum lebar, dia sangat bahagia bukan main pagi itu. Apa kehadiran ibu dalam mimpinya semalam merupakan pertanda baik? Andai saja ibu masih ada, mungkin ini akan menjadi suatu berita paling membahagiakan.

Waktu begitu terasa cepat, tiga bulan sudah berlalu. Pagi ini adalah pagi yang paling berkesan, kepada cakrawala biru yang membuatnya berselera, bahwa dirinya sangat tahu telah menopang banyak segala rasa. Senyumnya menebar segala rindu, khusunya rindu kepada ibunya yang sudah tenang di alam sana.

***

Nanden berjalan dengan senyuman tak henti. Setelah penantian panjang, segala pengorbanan dan cuti kuliah yang pernah dia arungi, akhirnya hari ini adalah hari paling bahagia, karena dia berhasil menyelesaikan skripsinya dan tinggal menunggu sidang saja.

Langkahnya terhenti setelah melihat Rista sedang duduk sendiri di taman. Jujur, jauh di dalam hatinya, Nanden seperti masih memiliki rasa suka kepada Rista. Namun, setelah mendengar beberapa nasihat dan bimbingan dari adiknya yang kurang ajar itu, membuat dirinya mempertimbangkan kembali perihal rasa suka itu yang kerap mendekamnya.

Dia menghampiri Rista dengan perasaan yang biasa, tak menunjukkan bahwa sebenarnya dia sangat senang bisa bertemu dengannya kembali seperti ini. Perasaan ini sangat mendebarkan, dia benar-benar tak bisa membohongi dirinya sendiri.

NandenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang