Part 10 - Tamparan

5 2 0
                                        

Iya, Kakak pulang sekarang.” Ujarnya setelah mendengar tangisan Nayla dari dalam telepon, dia langsung bergegas pulang.

***

Saat sampai di rumah, Nanden berjalan menuju kamar Nayla, “Nay, Kakak boleh masuk?” tanyanya, tetapi tidak ada respon dari dalam. Dia akhirnya masuk saja ke dalam kamar itu karena pintunya memang tidak terkunci. Nanden masuk kemudian menutup kembali pintunya.

Nanden berjalan mendekati Nayla, dia sudah duduk bersandar di atas kasur, tatapannya kosong menatap layar televisi yang tak menyala di depannya, terlihat banyak kepulan tisu yang berserakan, entah sudah berapa lama dia menangis? Matanya sembab dan memerah. Nanden duduk di dekatnya, menatap sendu lalu mengusap-usap rambutnya dengan lembut.

“Kamu kenapa? Berantem lagi sama ayah?”

Nayla tak menjawab pertanyaannya, dia justru semakin merengek keras, emosinya masih membumbung di atas kepala. Nanden meraih tubuhnya, dia memeluk sebentar. Dulu, setiap Nayla menangis seperti ini selalu ada Ibu yang mendekapnya, sekarang ibu sudah tiada, Nayla sepertinya sudah lama tak merasakan dekapan hangat itu lagi. Dia sebagai kakaknya sudah tahu, Nayla akan segera menghentikan tangisannya jika sudah dipeluk seperti ini, dan benar, tak lama tangisan itu terhenti.
Nanden melepaskan pelukannya. Dia melihat ada segelas air di meja belajarnya, langsung saja Nanden mengambil air itu kemudian memberikannya pada Nayla.

“Sekarang kamu cerita, kamu kenapa?” tanyanya sekali lagi saat setelah Nayla meneguk air pemberiannya. Dia tampak lebih tenang, walaupun masih terisakisak.

“Tadi siang, Ayah sama Ibu marah sama aku, karena aku ngga mau kuliah ke luar negeri.”

Nanden terdiam, matanya terus memperhatikan wajah Nayla yang berbicara sambil menunduk. Jantung Nanden berdebar dengan kencang, perasaan sentimentalnya kembali berceranggah karena sudah menduga, pasti semua ini karena Rudi membahas mengenai kuliahnya ke luar negeri itu.

“Aku harus gimana, kak?!”

Tidak pernah menyangka Rudi akan bertindak segegabah ini. Nanden masih tak berbicara, dia seperti tengah mengolah perasaannya dengan begitu teratur, memikirkan apa yang harus dilakukannya sekarang.
Nanden berdiri, berjalan mondar-mandir mencari solusi apa yang harus dilakukannya. Dirinya semakin tak tenang melihat sikap Rudi yang akhir-akhir ini terlalu berlebihan. Jika hanya alasannya supaya Nayla mendapat pendidikan terbaik, kenapa harus ke luar negeri? Bukankah di Indonesia juga banyak kampus-kampus terbaik? Kalau pun tidak di Semarang, di Bandung atau Jogjakarta juga melimpah ruah pendidikan tinggi yang luar biasa, bahkan melampaui kampus-kampus terbaik di luar negeri sana. Dia sudah mengerti kalau semua ini ada campur tangan Ibu sambungnya.

Kemudian Nanden menghentikan langkahnya, dia berkompromi dengan hati dan isi kepalanya sendiri, apakah ini saat yang tepat untuk menjelaskan pada Nayla tentang siapa Mala sesungguhnya? Selama ini Nayla tidak tahu kalau Mala itu tidak sebaik yang dia kira. Namun, apakah setelah dia mengetahuinya, dia akan membenci dirinya? Ah! Hilang semua pikiran buruk itu, yang terpenting sekarang dia harus melakukan sesuatu, salah satunya memberitahu Nayla kalau semua ini adalah sebuah rencana.

Nanden kembali duduk di sampingnya, dia menghembuskan napas dalam-dalam sebelum bercerita.

“Kamu pernah menaruh kecurigaan ngga sama Ibu?” tanyanya pelan.

Nayla terdiam, dia memincingkan matanya penuh tanda tanya, lalu menggelengkan kepala, “Engga, ibu baik kalau sama aku, Kak.”

Nanden tergemap, dia kaget mendengar perkataan adiknya barusan. Sebenarnya dia tidak tega melanjutkan cerita ini, karena mungkin Nayla sudah menganggap Mala itu adalah orang yang baik, tetapi dengan dia mengatakan yang sejujurnya, apakah Nayla akan mempercayainya?

NandenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang