#9, Jogja Kembali

50 6 4
                                    

"Rumah bukan hanya sebuah tempat, tetapi itu adalah perasaan."

Rumah minimalis bercat putih menyambut kedatangannya.
Bunga-bunga mawar di taman depan rumah bermekaran dan wanginya semerbak memanjakannya. Ia dibuat takjub dengan desain eksterior yang yang indah. Tangannya menyeret koper besar akan tetapi matanya masih menyorot ke depan rumah yang penuh dengan bunga.

Cklekkk....krieetttt....

Ia tersadar tatkala pintu terbuka, sampai di depan pintu ini ia masih tidak mengerti mengapa laki-laki itu membawanya ke tempat ini, bukan ke apartemennya ataupun ke rumah kedua orang tuanya. Tak ingin terlalu memikirkan, ia pun masuk ke dalam rumah.

Rumahnya bersih dan sangat harum, meski tak sebesar rumahnya di Surabaya, rumah ini terasa lebih nyaman. Memang belum banyak perabot di rumah ini. Hanya ada sofa di ruang tamu belum ada pernak-pernik yang bisa menambah keindahan rumah ini.

"Kamar tidurnya ada dua. Terserah kamu mau pilih yang mana. Asal jangan di atas, lantai 2 khusus untuk saya kerja!" Ucapnya dan sebelum Nabila menjawab, laki-laki itu lebih dulu masuk ke dalam kamar lalu menutup pintunya.

Ia hanya bisa menghembuskan napasnya panjang sembari mengelus pelan dadanya. Kamar satunya berhadapan dengan kamar Satria. Ia memutuskan untuk masuk ke kamar itu dan meletakkan kopernya. Ia ingin segera membersihkan tubuhnya agar bisa istirahat dan berpikir jernih untuk menerima kehidupan yang ia jalani saat ini.

Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut kamarnya, tapi tak menemukan pintu untuk kamar mandi.

"Astaga, bahkan kamar ini tidak ada kamar mandinya, lantas dimana kamar mandinya?" Gerutunya. Ia segera mengambil handuk dan keluar dari kamarnya. Ia berjalan mengitari seluruh ruangan di rumah ini. Barulah ia menemukan kamar mandi yang ada di dekat dapur.

Tanpa pikir panjang lagi, ia segera masuk untuk mandi. Ia cukup puas dengan isi kamar mandi, meskipun berada di luar tapi isinya lengkap ada bathup yang bisa ia gunakan untuk berendam dan wangi lavender sudah semerbak membuatnya makin mabuk kepayang. Ia pun segera melakukan ritual berendamnya untuk merilekskan tubuhnya.

Satria yang haus dan lapar menuju dapur untuk mencari sesuatu yang bisa ia santap. Ia membuka kulkas yang sudah terisi penuh dengan bahan-bahan makanan, makanan ringan ataupun minuman aneka rasa. Ia memilih meneguk air putih. Saat ia minum air itu dengan arah menghadap tepat ke kamar mandi, dengan susah payah ia menelannya. Seorang perempuan yang hanya memakai handuk sepaha hingga mengekspos paha dan kaki jenjangnya telah usai mandi. Satria mati-matian untuk tidak tergoda dengan perempuan yang sudah sah menjadi miliknya, rambutnya yang digelung ke atas hingga menampakkan leher putih dan sebagian dadanya terlihat jelas, membuat otak laki-laki traveling kemana-mana. Ia tak lagi minum air itu dan tanpa disadari ia meletakkan gelas itu dengan keras di meja berlapir kaca, hingga suaranya membuat Nabila ikut kaget. Nabila juga terkejut dan panik ketika tahu ada Satria di situ.

Ia berusaha menutupi bagian dadanya dengan menyilangkan kedua tangannya tepat di depan dadanya. Sungguh ia pun juga malu merasa sedang ditonton bak dalam keadaan telanjang meskipun itu di depan suaminya sendiri. Ia segera berjalan dengan cepat menuju kamarnya.

"Duh, sial banget, kenapa dia ada disitu? Kan aku jadi malu." Ucapnya sendiri di dalam kamar sembari mencari pakaiannya.

"Tau gini kalau mandi harus bawa pakaian sekalian. Lagian kenapa juga kamar mandinya mesti dipisah? Hufftt...."

Tok...tok...tok...

Selesai memakai dressnya, seseorang telah mengetuk pintunya. "Iya, sebentar." Ia pun membukakan pintunya. Tanpa minta persetujuan darinya, laki-laki itu langsung menyelonong masuk ke dalam kamarnya.

"Eitss...ada apa ini? Main masuk aja."

"Ada yang salah? Ini kan kamar saya juga." Ucapnya dengan santainya lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur yang sama sekali belum disentuh oleh Nabila.

Tak ingin berdebat dengannya, Nabila memilih mengeringkan rambutnya. Laki-laki itu masih enjoy dalam rebahannya tanpa bicara apapun. "Apa yang sedang dipikirkannya?"

Sedangkan laki-laki itu bukan menikmati rebahannya akan tetapi ia bingung memulai pembicaraannya dari mana.

Hingga Nabila selesai memoles wajahnya dengan make-up tipis barulah ia angkat bicara. "Kamu mau ikut ke Markas gak?"

"Emang boleh?"

"Boleh, kalau kamu mau kalau gak mau ya tunggu aja di rumah."

"Ish... Niat ngajak gak sih?"

"Gak, cuma nawarin doang."

"Ya udah aku ikut, boleh nyanyi juga ya tapi?" Ucap Nabila dengan kedipan mata menggoda Satria. Nabila terlihat menggemaskan di mata Satria. Namun, laki-laki itu masih tak menunjukkan rasa apa-apa terhadapnya.

Satria mengangguk menanggapi permintaannya. "Bersiap-siaplah!"

"Siap bos!"

Mood Nabila kembali baik, ia sangat senang Satria tidak meninggalkannya di rumah baru itu. Satria juga tidak tega meninggalkan istrinya di rumah sendiri sedangkan ia harus kerja malam ini di Kafenya sebagai penyanyi.

Bukan tak ada alasan Satria melakukan semua ini, mengajak Nabila ke Jogja setelah hari pernikahannya dan meminta Nabila untuk menyerahkan perusahaannya ke keluarganya lalu mengajak ia tinggal di rumah yang jauh dari kata mewah yang jika dibandingkan dengan rumah keluarganya tak ada seujung kuku. Ia pun juga bersyukur, Nabila menerima permintaannya itu dan melepas semua atribut dari keluarga besarnya tanpa perlawanan tanpa protes sedikitpun.

Tanpa Nabila ketahui, ia tersenyum melihat penampilannya yang terlihat sopan dan anggun dengan memakai dress di bawah lutut dan sneaker.

"Ayo bang, Nabila sudah siap." Ucap Nabila sambil memasukkan ponselnya ke dalam ransel kecilnya.

"Eh.. iya. Ayo! Kamu kunci pintunya ya?"

Nabila melakukan apa yang disuruh Satria kepadanya. Nabila terkejut saat melihat Satria sudah duduk di atas sepeda motornya.

"Cepat pakai helm kamu!" Ucapnya. Nabila segera memakai helm itu. "Eh tas kamu taruh depan bisa? Ini gitarnya kamu yang bawa."

"Iya bang bisa." Nabila segera memindahkan tasnya di samping dan ganti menyangkutkan tas gitar di pundak dan belakang punggungnya.

"Pernah naik motor kan?"

"Gak pernah, gak pernah dibonceng laki-laki." Ucap Nabila sambil cengengesan. Saking gemesnya Satria mengacak-acak poni Nabila.

"Ih Abang, jadi berantakan nih rambut aku." Ucap Nabila sambil mengerucutkan bibirnya.

"Entar naik motor kena angin juga berantakan."

"Ya tapi jangan diacak-acak juga."

"Iya...iya maaf ayo kita berangkat!"

Mereka berdua telah keluar dari halaman rumahnya dan menuju ke kafe Satria. Tiba di kafe sudah sangat ramai, akan tetapi para pengunjung tetap mematuhi protokol kesehatan yang berlaku.

Satria membawa Nabila ke ruang khusus untuk para tim Saka breafing sebelum acara. Dengan sangat hati-hati Nabila mengikuti Satria di belakangnya.

"Eh bos, sudah datang? Bawa siapa itu?" Ucap Heru si kameramen pribadi Satria. Semua yang ada di sana menjadi beralih melihat ke arah Nabila.

"Hai semuanya, aku Nabila." Ucap Nabila ramah.

"Dia teman ngonten gue yang baru. Bang Heru tolong bantu naikin karirnya ya?" Ucap Satria membuat dada Nabila terasa sesak. Sakit mendengarnya, ia dikenalkan kepada teman-temannya hanya sebagai teman bukan sebagai istri.

"Jangan berharap lebih, Nabila! Kalian menikah hanya karena tuntutan bukan atas nama cinta." Batin Nabila menguatkan dirinya sendiri.

#####
TriAngel
Sidoarjo, 13 Maret 2022
A.Vandana

TriAngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang