#21, Ikut Campur

34 4 0
                                    

Mereka saling bertatapan mata setelah melihat dan membaca sekilas notif chat tersebut. Nabila berjalan ke arah sudut jendela membuka gorden dan memandang kabut pagi dengan tatapan kosongnya. Ia menarik napasnya dan menghembuskannya pelan.

"Pesanku, jangan terlalu ikut campur urusan rumah tangga orang lain!"

"Gak, Bil. Ini masalahnya Anita, bukan orang lain."

"Ya, aku baru tau Anita bukan orang lain. Ya...ya...ya... Nabila paham sekarang. Kalau Abang mau susul Anita silahkan! Kejar masa lalu Abang dan jangan pernah lagi cari masa depan Abang."

Nabila tak tahan dengan ucapannya sendiri yang sangat menyakitkan hatinya. Ia segera keluar dari kamar tersebut.

'Jika kamu paham, mas. Harusnya kamu mengejarku. Tapi ternyata sampai detik ini aku tetap tidak ada artinya di mata kamu. Aku lelah, mas.'

Satria mengacak rambutnya kesal. "Aaaarrgghhhh....." teriaknya. Ponselnya berdering, ia pun mengangkatnya.

"Kamu gak serius kan cerai dengan suami kamu?"

"Tolong aku, Sat. Nanti sepulang kamu dari Bali, tolong datan, g ke rumah, kamu bantu jelasin ke suami dan orang tuaku."

Sambungan telepon pun diputus oleh Anita.

Satria keluar dari kamarnya hendak mencari Nabila. "Dini, kemana Nabila?"

"Gak tau bang, bukannya Nabila sama abang terus ya?"

"tadi keluar, kalau ketemu Nabila bilang ke aku ya?"

"Iya bang."

Satria melanjutkan meeting bersama kru Saka lainnya. Selama meeting berlangsung tidak bisa fokus, pikirannya terpenuhi dengan masalah pribadinya. Lagi-lagi ia harus mengesampingkan egonya karena tidak ingin mengecewakan kru yang telah bekerja keras.

Mereka akan kembali ke Jogjakarta pukul 14.00 sehingga mereka menuntaskan untuk evaluasi dan menggarap proyek lanjutan.

Di bandara Ir. Juanda seseorang menyeret kopernya dan berjalan pelan-pelan mengingat perutnya sudah mulai buncit dan ada janin yang harus dijaganya. Ia masuk ke dalam taksi yang sudah ia pesan.

Taksi itu membawanya masuk di kawasan Citraland, ia harus bersiap-siap untuk tidak bersedih ataupun menceritakan masalah rumah tangganya kepada keluarganya.

"Terima kasih, pak." Ucap Nabila sembari memberikan beberapa lembar uang.

"Sama-sama, Bu."

Nabila berhenti sejenak di depan pintu gerbang rumahnya sebelum ia memutuskan masuk.

"Loh, mbak Nabila?"

"Assalamu'alaikum pak Maman."

"Wa'alaikumsalam mbak, biar saya bawakan kopernya ke dalam."

"Iya pak, terima kasih."

Semua orang terkejut dengan kehadiran Nabila.

"Mana suami kamu?" pertanyaan pertama yang keluar dari mulut mamanya.

"Ma, biar Nabila duduk dulu. Dia pasti lelah baru tiba juga. Simpan pertanyaan-pertanyaanmu itu dulu!" Ayah Nabila mengingatkannya.

"Sayang, Papa senang kamu berkunjung kemari. Semoga kamu dan calon cucu papa sehat-sehat ya."

"Aamiin, makasih Pa. Oh ya Ma, Pa. Nabila boleh kan tinggal di sini untuk beberapa waktu sampai mas Satria jemput Nabila?"

"Memang kemana suami kamu?" Tanya mamanya lagi. Mendengar itu Papa Nabila segera menyahutnya. "Boleh kok sayang, rumah ini kan juga rumah kamu." Ujar papanya.

"Terima kasih, Pa. Mas Satria sedang ada pekerjaan di luar kota daripada Nabila bosan sendirian di rumah lebih baik, Nabila berkumpul dengan mama dan papa yang sudah lama Nabila rindukan."

"Bukannya kamu dari Bali?"

"Iya, Ma. Sepulang dari Bali Nabila langsung mampir sini."

"Setidaknya suami kamu itu antar kamu ke sini, gak membiarkan istri dan calon anaknya berangkat sendirian."

"Sudahlah, Ma. Yang penting Nabila sehat dan selamat sampai di sini."

Di kamar hotel, Satria sedang mengamuk, ia juga menyalahkan semua orang yang tidak bisa menemukan istrinya.
"Bang, Dini menemukan kertas ini di meja. Coba Abang baca!"

"Maaf beribu maaf, aku pergi bukan untuk meninggalkanmu. Tapi aku sedang berusaha merawat cinta dengan hati yang sehat. Jangan temui aku jika hatimu masih sakit!"
Satria meremas kertas itu dan mengepalkan tangannya. "Kemasi barang-barang kalian. Kita bersiap-siap ke Bandara!"

Semua mengikuti perintah Satria. Ia menelpon Nabila tapi tak diangkat. Hingga puluhan kali Satria menelponnya tapi tetap ia tidak mendengar suara indah istrinya.

Mereka tiba di Jogja tanpa Nabila. Semua tak berani bicara sepatah kata-pun yang ada hanya kebingungan dan upaya-upaya kecil yang bisa ia perbuat seperti menghubungi Nabila dan orang-orang terdekatnya. Masalahnya Nabila tidak memiliki teman dekat di sini. Yang Nabila kenal hanya keluarga Saka.

"Kenapa gak kamu coba hubungi orang tuamu ataupun mertuamu?"

"Gila ya? Yang ada aku digorok sama mereka."

"Ya kita gak tau Nabila ada dimana? Di rumah di kantor juga tidak ada? Salah satunya ya kamu datang ke orang tuamu tanya apa Nabila pulang ke sana?"

"Gak mau gue!" Satria menatap Heru dan Aan. "Lo berdua, lacak keberadaan Nabila! Gue keluar sebentar ada urusan.

Kalau Abang mau susul Anita silahkan! Kejar masa lalu Abang dan jangan pernah lagi cari masa depan Abang!

Ucapan Nabila terngiang-ngiang di kepala Satria. "Aku gak mau kehilangan kamu, Bil. Aku cinta sama kamu. Tapi mungkin semua yang ku perbuat selalu menyakiti hatimu."

Ponselnya bergetar, ia berharap ada kabar dari Nabila. Ia semangat untuk membuka dan tak tahunya SMS operator yang masuk. "Damn!!!!"

Ia duduk di sofa ruang keluarganya yang terhubung dengan dapur, dimana ia selalu melihat istrinya yang cantik memasak di dapur atau sekedar membuatkan kopi untuknya. "Aku rindu, Bil. Pulanglah! Atau beri tahu aku dimana kamu biar aku jemput."
.
.
.
.
.
.
TriAngel
A.Vandana

TriAngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang