Mata yang berbicara

11.4K 390 24
                                    

Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah akan mengeringkan tulang. Fajar akan segera menyingsing. Membawa sejuta keluhan yang tak terduga. Entah bagaimana ia membawanya, keluhan itu akan hilang dan kembali menghampir hati orang yang terjebak didalam. Kalau orang bijak mendengar dan merasakan keluhan, ia akan bersembunyi, tetapi orang yang tak berpengalaman berjalan terus lalu kena celaka.

Kediaman Grandt, 21.00 WIB.

Kediaman Grandt sangat sunyi, nyanyian angin menghantarkan kesenangan. Rumah itu besar, sesuai standart perumahan elite dikalangan pengusaha. Echa tertawa dimeja makan, sambil membaca detective conan. Entah apa yang lucu. Entah lah. Caca melihat sang kakak iba. Ia mengerti sekali hati Echa. Apa yang sedang dirasakan kakak semata wayang. Caca sudah mendengar apa yang terjadi. Keputusan menjadi menantu Winasa. Caca tidak tahu haruskah ia tertawa dan menangis disaat yang bersamaan untuk keputusan Echa. Sepertinya diam dan mengikuti keputusan Echa adalah hal yang terbaik. Itulah yang dikerjakan oleh keluarga Winasa.

“Kak.. Ayo keluar. Bermain timezone.”

            “Ah.. malas Caca. Kamu aja deh ya..”

            “Kakak gimana sih? Nemani adek juga gak bisa?”

Caca tetap pada pendiriannya. Mengajak Echa keluar. Setidaknya mungkin itu bisa membuatnya lebih relaks dan santai. Sebelum pertemuannya dengan Winasa, Jay 3 hari kedepan.

            “Gak mau adek! Kakak lagi baca conan. Mumpung lagi seru dan lucu”

            “Ahhhh.. Mama, kak Echa gak sayang Caca”

Echa yang jengkel meninju lengan Caca.

            “Apa-apaan sih? Gimana lagi kalau kakak sudah menikah??”

            “Walau kakak menikah , kamu tetap kakak ku. Dan Caca berhak atas dirimu”

Echa melepaskan kaca mata baca yang ia kenakan. Kaimat itu memberikan makna. Makna yang mendalam.

            “Adek.. jangan begitu donk. Kakak bukan bermaksud seperti itu. Sampai kapanpun kakak tetap milik kalian. Caca, Bunda dan Papa”

            “Makanya ayokk keluar”

Caca tetap merengek. Hanya saja Echa tak mengindahkan rengekan itu. Ia tetap menolak. Ia tak ingin adiknya merasakan apa yang ia rasakan saat ini. Biar sajalah dirinya yang mengerti tentang perasaan sedih saat ini. Tak perlu orang lain ikut terseret dari kehendak bebas hatinya itu. Sebagai kakak, ia tak ingin terlihat lemah. Ia ingin menjadi background contoh untuk sang adik.

            “Adek,, kakak sangat letih. Serius. Aku letih Caca. Kakak hanya mau istirahat. Bersantai dirumah. Bisa kan dek?”

Perkataan itu bernada memohon. Caca sepertinya tahu, kehendaknya menjadi tidak terlaksana. Jika sudah mengatakan penolakan lebih dari tiga kali itu menunjukkan bahwa ia sangat dan sangat sedang tidak ingin.

            “Ishhh kakak jahat. Ya sudah... Caca masuk kamar. Sebel! ”

Ia berpura-pura. Tetap dalam sandiwara yang Caca ciptakan sendiri.

            Seseorang mencoba membuka pintu rumah.

            “Papa...”

Echa membuang badannya dalam pelukan sang ayah.

            “aduh,, anak Papa kenapa manja? Bukannya sudah besar. Apa tidak tahu malu ya?” katanya sambil mencubit pipi sang putri.

Mr. Grandt menjahili putri sulungnya. Mereka berpelukan sambil berjalan memasuki kamar sang Papa. Mrs Grandt tertawa menghadapi kedua anak dan ayah itu.

CommitmentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang