BTR 8 • Tanpanya Aku Bisa

3.7K 570 51
                                    

“Terkadang cinta sering kali membuatku lupa bahwa dia bukanlah segalanya, cinta sempat membuatku buta dengan segala peluang bahagia, dan cinta yang hadir sebelum waktunya, hanya membuat lara dalam hati dan jiwa.”

~Zahra Nurul Aidah~

🍁🍁🍁

Zahra POV

Awan mendung menutupi langit pondok pesantren An-Nur pagi ini, sesakali rintikan hujan turun tapi hanya sesaat, setelahnya hilang. Angin sepoi-sepoi juga turut hadir, menciptakan hawa dingin yang lumayan bisa membuat tubuh menggigil.

Selepas pengajian pagi Tafsir Jalalain, para santri kembali pada rutinitasnya masing-masing. Seperti aku dan Urbi, kini aku dan Urbi sudah berada di tempat laundry. Urusan setrika dan packing telah selesai tadi malan, jadi hari ini aku dan Urbi hanya bersantai sambil menikmati udara pagi dengan pemandangan pondok yang tentram.

Kulihat Kang Abil, Kang Miftah, dan Kang Alin tengah bercengkrama, di depan aula pondok yang biasa digunakan latihan al-banjari. Lengkap dengan teman ngobrol mereka yaitu kopi dan gorengan. Eits, masih  ada satu benda lagi menemani mereka bercengkrama, yakni gitar yang berada tangan Kang Abil.

Sesekali Kang Abil mencoba memetik gitar yang dipegangnya, memainkan nada dalam petikannya. Ah, iya, aku baru sadar, pantas saja Kang Abil ini sangat disayangi oleh Gus Adnan, lah memang orangnya multitalent dan penuh takdzim.

Aku kira perbedaan menyatukan kita
Setelah sekian lama kini semuanya sirna
Apakah yang terbaik cinta harus berakhir
Ini semua karnamu terserah apa maumu

Aku masih bisa berdiri dan menatap matahari
Meski tak lagi tempatku di hatimu
Tak perlu ku mengejarmu karna kau tak akan kembali
Cinta kini tak untukku, cintamu bukan untukku

Lagu Pasto yang berjudul “Cintamu bukan untukku” tengah dinyanyikan oleh Kang Abil. Saat sampai pada reff lagu, aku baru sadar jika lirik yang dinyanyikan bukan hanya lirik lagu, tapi cerita cintaku. Aku pun tersenyum tipis, menertawakan nasib cintaku itu.

“Kang, gantos lagu lintune lah, ampun seng galau-galau, rencange kulo lagi galau mengko tambah galau, pripun hayo?” ujar Urbi sedikit berteriak.
(Kang, ganti lagu lainnya, jangan yang galau-galau, temanku lagi galau nanti tambah galau, gimana hayo?)

Kang Abil dan teman-temannya pun menoleh ke arahku dan Urbi di dalam Laundry. Awalnya mereka tertawa, dan Kang Abil tersipu malu saat dirinya sadar bahwa sedari dia menyanyi, aku dan Urbi mendengarkannya.

Weslah, lalaran ae ben ora galau-galauan!” ucap Kang Alin  memberi usulan.
(Sudahlah, lalaran saja biar gak galau-galauan)

Akhirnya, ketiga kang-kang itu lalaran kitab Alfiyah Ibnu Malik karya Imam Ibnu Malik. Aku dan Urbi pun juga turut ikut dalam menyenandungkan bait-bait nadhom Alfiyah tersebut. Tanpa kusadari, dengan hal yang sederhana saja aku telah bisa melupakan segala kesedihanku. Meski tanpanya maupun cintanya, hidupku tetap berjalan dan aku bisa.

Terkadang cinta sering kali membuatku lupa bahwa dia bukanlah segalanya, cinta sempat membuatku buta dengan segala peluang bahagia, dan cinta yang hadir sebelum waktunya, hanya membuat lara dalam hati dan jiwa.

Setelah lalaran selesai, tiba-tiba Kang Alin bersuara, “Mbak, Mbak, mau tak gombalin gak?”

“Monggo, Kang,” jawab Urbi yang langsung dibalas tatapan sinis Kang Miftah.
(Silahkan, Kang)

Melihat raut wajah Kang Miftah seperti orang yang sedang cemburu, Urbi meringis sambil menutup mulutnya dan bersembunyi di belakangku.

Allah, dua sejoli ini selalu saja membuatku iri.

Biasa tapi Rumit ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang