BTR 11 • Bukan Mimpi

3.9K 624 122
                                    

“Belajar menerima takdir tanpa harus membenci keadaan. Yakinlah, bahwa Rencana-Nya akan lebih indah dari apa yang kita rencanakan.”

~Zahra Nurul Aidah~

🍁🍁🍁

Zahra POV

“Seumpama jadi calonnya Abil ... mau, gak, Nduk?”

Aku diam tidak menjawab, menenangkan detak jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya, juga memikirkan jawaban yang apa akan kuberikan pada Ibu Kang Abil. Pertanyaan beliau memang bukan soal fisika ataupun matematika, tapi sukses membuatku berpikir keras. Padahal jawabannya hanya ada dua, antara mau dan tidak.

“Gapapa gausah dijawab, ibu mengerti kok perasaan kamu.” Perkataan ibu Kang Abil sukses membuatku terpaku, apa mungkin beliau bisa membaca raut wajah gugupku.

Jujur, bukan hal yang mudah menjawab pertanyaan semacam itu.

Aku hanya bisa tersenyum menanggapi perkataan Ibu Kang Abil, sambil sekali-kali merespon panggilan Gus Dhuha atau Ning Nazil. Bukannya aku tidak sopan atau apapun itu, hanya saja aku berusaha agar tidak terlalu gugup di depan beliau, dengan cara mengalihkan perhatian pada Gus Dhuha dan Ning Nazil.

“Lagian kalau jodoh juga tidak akan kemana,” lanjut Ibu Kang Abil sembari tersenyum dan mengelus punggung tangan kananku.

Inggih, Bu.” Dua kata itu yang hanya bisa terucap dari bibirku.
(Iya, Bu)

Syukurlah, setelah obrolan tadi, tidak ada obrolan lagi yang terjadi di antara aku dan Ibu Kang Abil. Kami asyik mengajak bercanda kedua putra putri Gus Malik dan Ning Sarah.

Beberapa menit kemudian, Kang Abil juga Ayahnya keluar dari ndalem bersama-sama. Lalu mereka berdua berjalan ke arah gazebo depan ndalem tempat di mana aku dan Ibu Kang Abil berada. Ketika keluarga kecil Kang Abil sudah berkumpul di gazebo, aku berniat untuk membawa Ning Nazil dan Gus Dhuha ke pondok. Sepertinya mereka juga butuh waktu bersama untuk family time.

“Bu, Pak, Kang, kulo pamit wangsul ke pondok nggih, Assalamualaikum,” pamitku ketika kedua kakiku sudah sempurna berdiri menggendong Gus Dhuha.
(Bu, Pak, Kang, saya pamit kembali ke pondok, ya)

Setelah salamku dijawab, aku mencium tangan Ibu Kang Abil dan segera menjauh dari gazebo sembari menggandeng tangan Ning Nazil. Sungguh, kejadian hari ini sangat jauh dari dugaan. Mulai dari insiden hampir terserempet mobil pick up, hingga pertanyaan dari Ibu Kang Abil yang sempat membuatku gugup.

Tentang pertanyaan yang diajukan Ibu Kang Abil tadi, kini sukses membuatku menertawakan kebodohan diriku sendiri. Bisa-bisanya aku tadi begitu percaya diri dengan hanya memikirkan mau menerima atau tidak. Padahal kemungkinan lain masih sangat berpotensi. Seperti, apa mau Kang Abil mempunyai calon diriku.

Dasar Zahra! PD-nya tingkat dewa!

Secara, Kang Abil itu termasuk Kang Santri abdi yang multitalent, ilmu agamanya sudah tidak diragukan lagi. Meskipun pekerjaan belum tetap, tapi aku yakin, peluang beliau sangat banyak di berbagai bidang kerja. Beliau itu terlalu sempurna untuk diriku yang masih berusaha menuju ke sana. Sebab perihal menjatuhkan rasa yang salah dan belum pada waktunya, telah membuatku sadar akan kekurangan diri.

Setelah sampai di pondok, aku mengajak Gus Dhuha dan Ning Nazil bermain di gazebo belakang. Beruntungnya, semenjak di gazebo depan sampai sekarang kedua Ning Gus kecil ini tidak rewel, jadi aku tidak terlalu riweh dengan mereka berdua.

Tak lama kemudian, Urbi berjalan keluar dari ndalem Gus Malik, seketika aku teringat jika aku melupakan satu hal. Tempat Laudry. Astagfirullah, bisa-bisanya aku tidak menutup dan mengunci tempat laundry saat aku hendak pergi tadi.

Biasa tapi Rumit ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang