[3] Pisau

631 94 13
                                    

Chapter 3 [Pisau]

Setelah memperhatikan pisau itu cukup lama, aku memanggil temanku yang lumayan paham di bagian pisau ke rumahku.

Beberapa kali aku berpikir apakah ia akan tau pisau ini atau tidak. Bahkan aku hampir membuat banjir di dapur karena lupa mematikan keran.

Aku juga kepikiran kemana perginya kedua anak berjubah itu. Sudah berhari-hari aku tak melihat mereka. Apa yang terjadi kira-kira?

Dan akhirnya setelah lama menunggu, seseorang mengetuk pintu. Itu adalah temanku, fisiknya sudah berbeda jauh dari yang ku tahu. Yah bisa ku bilang, aku sudah lama tidak berinteraksi dengan orang lain.

Sayangnya, aku tidak bisa mengingat namanya. "Selamat datang, terima kasih sudah mau datang" ucapku sambil menundukan kepala. "Kenapa kau jadi kaku seperti ini?"

Kami mengobrol santai sebelum masuk ke topik utama. Temanku menceritakan apa saja yang aku lewatkan, rasanya sangat seru, sayang aku melewatkannya.

Saat sudah cukup lama mengobrol, aku mengambil pisau dan memberikannya kepada temanku. Pisau itu cukup elegan katanya, mustahil pisau itu di buat hanya untuk membunuh orang.

"Siapa yang memberikan benda ini?" Tanyanya. Saat aku ingin menjawab, aku langsung tidak bisa bergerak. Sekelilingku di lapisi sesuatu berwarna biru dan tak ada yang bergerak, bahkan temanku juga.

Walau tak bisa bergerak, aku bisa merasakan ada seseorang di belakangku. "Sudah lama tak berjumpa. Kenapa kita berjumpa di saat yang tidak bagus seperti ini?" Ucap orang itu, ah pasti ini salah satu anak berjubah.

Dia memegang bahuku, dan aku bisa melihat mukanya. Aku terkejut bahwa yang berbicara itu adalah anak berjubah biru dan ia sendirian. Kemana yang satu lagi?

"Kau terlihat kaget, kau baru pertama kali mendengar aku berbicara ya?" Dia membelai kepala ku dengan lembut sambil menatap ke arah temanku. Entah kenapa rasanya sedikit menyeramkan.

Dia melirik kearah pisau di atas meja lalu memgambilnya. "Pisau itu hanya boleh di ketahui oleh kita bertiga. Kau tidak boleh membocorkannya ke siapapun bahkan temanmu" Dia terus membelai kepalaku seperti akan menghancurkan kepalaku kapanpun dia mau.

Aku hanya bisa berdiam diri saat anak itu melihat-lihat dalam rumahku. Terkadang ia membuka pintu yang ada, atau membuka pintu kulkas. Rasanya seperti aku sedang menyembunyikan barang terlarang.

Setelah ia puas, ia mendatangiku lalu mengambil pisau yang ada di atas meja. “Ingin aku dongengkan sesuatu? Ah aku baru ingat kau tak bisa berbicara, kalau begitu dengarkan saja” dan ia memulai ceritanya itu.

“Sebenernya ini adalah tugas rahasia. Kau tidak boleh membeberkan soal ini kepada siapapun. Tapi karena temanmu sudah tau, ingatannya harus di hapus dulu. Sayangnya menghapus ingatan seseoraang bukanlah keahlianku.”

“S- maksudku anak yang kemarin bicara denganmu, dia lah orang yang biasanya menghapus ingatan, tapi sekarang ia sudah tidak ada”

Aku yang terdiam tambah terdiam. Apa maksudnya tidak ada? Tidak mungkin anak itu sudah mati kan? Yah walau waktu itu ia terlihat pucat, tidak mungkin ia mati secepat itu. “tanganmu lumayan hangat ya… sudah lama” tiba-tiba aku teringat kalimat yang di ucapkan olehnya.

“Kau pasti sudah sadar tangannya sedingin kutub, suhu tubuhnya sudah sangat rendah sejak lama. Itu adalah bukti ia sudah menderita sejak lama. Biasanya kami akan kehilangan akal saat itu, namun anak itu memang sudah stress sejak lama.”

Hei, tidak baik berbicara seperti itu, jahat sekali, pasti dia bukan manusia. Aku hanya berbicara seperti itu di pikiranku, aku masih belum bisa berbicara.

“Aku yakin kau tidak bisa melakukan ini. Maukah kau berhenti disini? Aku bisa mengambil pisau itu dan menghapus memori mu tentang semua ini, bahkan tentang Indonesia jika kau mau.” Ia tersenyum kepadaku, persis di depan wajahku, dan itu mengerikan.

Ia memetik jarinya dan refleks aku langsung terjatuh. Waktu masih belum berjalan, namun aku sudah bisa bergerak bebas dan berbicara. Ini membuatku terkejut, karena ekspresi anak berjubah biru itu seperti menunggu jawabanku.

Aku mencoba mengingat-ingat apa yang ia katakan, ia menawariku untuk melepaskan Indonesia? Itu pasti adalah hal yang akan membuatku hidup dengan tenang seperti dulu, tapikan sampai sekarang aku belum melakukan apa apa.

Setelah berpikir panjang, aku memilih tidak ikut campur lagi tentang ini. Saat aku ingin mengatakan pilihanku, sebuah kalimat muncul di kepalaku “Jika kau menyerah disini, kau akan menyesalinya” itu membuatku berpikir ulang. Apa salahnya jika aku mencoba lebih?

Anak berjubah itu tersenyum meragukan jawabanku, aku mengangkat kepalaku, “Aku ingin meregangkan tubuhku, jadi aku akan mencoba lebih jauh. Siapa yang tahu jika aku bisa menolong temanku sendirikan? Kau bisa menawariku kapan-kapan” ucapku dengan percaya diri.

Ia menatapku lalu kembali tersenyum, menekan kepalaku “Dia memang tidak salah pilih orang. Sama-sama pekerja keras namun agak bodoh sedikit. Tapi yasudahlah jika itu memang pilihanmu.”

Setelah mengatakan itu, ia memberikan pisaunya kepadaku lalu menghampiri temanku. Anak itu memegang kepala temanku lalu keluar sedikit cahaya dari tangannya. Aku berandai-andai apa yang ia lakukan.

“Aku telah memanipulasi ingatannya, ia hanya tau kau mengajaknya mengobrol. Tidak lebih dari itu. Aku akan membawanya pulang, jangan kecewakan aku dengan kata-katamu yang barusan” lalu setelah itu waktu kembali berjalan dan ia hilang begitu saja.

Dasar aneh.

Who? [CountryHumans?] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang