Arkan sudah makan, sudah mandi, juga sudah merasa lebih segar. Duduk santai di balkon masih ditemani Mita.
"Besok jadi ke Bandung?" tanya Mita, menoleh pada orang di kursi sebelahnya.
"Nggak jadi. Marko kan udah balik, gue nggak jadi gantiin," jawab Arkan, membuka bungkus rokok.
Mita tak bicara lagi, ia memerhatikan gerak tangan Arkan dengan raut tenang. Namun ketika Arkan menatap mata itu, ia paham Mita tak suka.
Arkan memilih meletakkan kembali rokoknya ke meja. Menghela napas, kemudian mengambil brownies yang tadi Mita pesan dari toko Kara secara online. Arkan memakannya sambil mencoba tak peduli pada tatapan Mita yang mengintimidasi.
"Kenapa rokoknya ditaruh lagi?" ucap Mita santai. "Gue nggak ngelarang, silakan."
Arkan menggeleng, seperti anak kecil yang takut dimarahi ibunya. Lalu Mita maju, mencondongkan tubuh pada Arkan.
"Gue tau, ya, Ar, lo kalo di luar masih suka nyebat. Lo takut kalo ada gue doang," ujar Mita mengejutkan Arkan.
"Gue nggak suka lo sembunyi-sembunyi gitu. Gue ngelarang kan juga nggak pake maksa. Kalo lo emang belum bisa berhenti, ya, nggak pa-pa. Coba pelan-pelan. Jangan ngumpet, gue jadi ngerasa keterlaluan."
"Gue nyebat kalo diajak temen—"
"Nggak usah bawa-bawa temen lo!" sahut Mita garang.
Arkan agak mengkerut. "Iya, maaf," ucapnya sambil menatap wajah Mita yang hanya berada beberapa jengkal dari miliknya.
"Masih lemes gitu udah mau ngerokok aja. Gue tendang sekali juga ambruk lo."
Mendengar itu sontak membuat Arkan mendelik tidak terima. "Gue nggak selemah itu!"
"Gii nggik silimih iti," sahut Mita yang terkesan sangat menjengkelkan di mata Arkan. Namun Arkan hanya menghela napas berusaha tidak membalikkan meja sekarang juga.
Mita membuang napas, memundurkan tubuh lalu lagi-lagi menghela napas. Seolah memang begitu lelah. Dia berkata, "Kebanyakan minum kopi, rokok nggak berhenti, disuruh makan susah, lama-lama mati muda."
"Mulut lo!" celetuk Arkan, memelototi Mita.
Mita membalasnya dengan menatap sinis Arkan. Keduanya jadi adu tatap dengan tajam. Hingga akhirnya masing-masing melengos lalu diam.
Kalau Mita pikir-pikir, kok bisa, ya, dia langgeng dengan Arkan. Kenal sudah dari kecil, lebih banyak ribut daripada bertindak romantis, Arkan suka memancing emosi, Mita paling susah menahan emosi.
"Cape kuliah. Nikah, yuk, Mit!"
Uhukk!!
Mita tersedak air ludahnya. Ia mengernyit menatap Arkan. "Sinting, ya, lo?"
Arkan mengedikkan bahu cuek.
Sebelumnya Arkan tidak pernah menyinggung atau bercanda mengenai pernikahan, jelas kini Mita terkejut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memang Kamu Orangnya
Ficción GeneralPasutri gemas yang nggak pernah nyangka bakal sampai di fase jadi pasutri. Mita & Arkan memang dekat. Sejak kecil. Namun dulu mereka tuh cuma teman sepermainan, makin dekat jadi sahabat. Lalu tak disangka benih-benih asmara tumbuh di antara keduanya...