BAB 9

2.8K 514 41
                                    

Hujan tampaknya tak menunjukkan tanda berhenti walaupun malam kini mulai bergulir dengan waktu yang menunjukkan pukul satu pagi di waktu setempat dan angin masih setia, berseru menyusuri jalanan begitu ribut seolah tak ada hari esok hingga udara p...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hujan tampaknya tak menunjukkan tanda berhenti walaupun malam kini mulai bergulir dengan waktu yang menunjukkan pukul satu pagi di waktu setempat dan angin masih setia, berseru menyusuri jalanan begitu ribut seolah tak ada hari esok hingga udara pun terasa begitu dingin, mencekam di beberapa tempat di mana warga bermukim dengan suara seng yang saling beradu ataupun gerbang yang bergoyang karena tampaknya cuaca ekstrem untuk malam ini.

Melihat lebih di tinggi, dedaunan pun dengan senantiasa menggugurkan daun nya tanpa ragu hingga dedaunan berwarna cokelat itu menutupi jalanan beraspal yang gelap dan basah. Suara nya begitu riuh, saling beradu sebelum akhirnya kalah karena ranting yang rapuh. Semakin tinggi daun, maka semakin kencang angin yang menyapa. Tak ada yang melindungi, hanya kepercayaan daun pada ranting yang tersisa, tetapi daun itu tetap terjatuh, terbawa angin entah ke mana hingga mengenai tanah yang basah.

Sama seperti pemuda yang kini tergelincir untuk kesekian kali nya, di tengah hujan dengan pakaian berantakan. Ia biarkan kemeja putih itu basah dengan noda kotor karena percikan air tanah. Lutut nya terlihat begitu gelap, rambut nya basah karena ia tak peduli akan hujan yang bahkan masih cukup deras. Namun, pemuda itu tampak tak peduli, tanpa rasa takut ia melangkah lebih jauh menyusuri jalanan menanjak dengan tanah basah.

"Agh!"

Sesekali ia berteriak ketika tubuhnya kembali tergelincir dan menghasilkan noda baru di pakaian. Aroma daun basah begitu menyengat membuat nya menggelengkan kepala pelan beberapa kali karena aroma itu begitu mengganggu pergerakannya. Sial. Pemuda omega itu sempat mengumpat ketika hendak bangkit dan kembali berlari, menemukan anak tangga yang terbuat dari bebatuan dan memudahkannya langkahnya hingga suara hujan kini terasa senyap di telinga nya, suara riuh daun yang berbenturan terasa samar, tergantikan oleh isak tangisnya yang begitu kencang.

Iris berwarna hitam kelam itu menatap ke arah nisan yang bertuliskan Jeon Jungkook di hadapannya, dalam diam dan cukup lama di tengah tangis yang tak bisa dihentikan hingga kakinya pun bersimpuh di atas tembok berwarna abu gelap, di tengah hujan yang turun begitu deras dan Jungkook kembali berteriak. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan, hanya saja Jungkook ingin mengadu dan mengatakan segala hal yang sesuai dengan hatinya, yang sesuai dengan keinginannya dan bukan Jeon Jeongguk inginkan.

"Aku— Aku ingin mati lebih cepat."

Suara itu terdengar tenang dibandingkan tangisnya yang kini kembali terdengar, tatapan kelam yang kini ia sembunyikan di balik kelopak mata, jemari yang menekan kedua matanya begitu kuat hingga Jungkook kembali berteriak dengan umpatan yang disemayamkan dalam pikirannya entah untuk siapa. Hanya, tubuhnya terasa sakit, sangat sakit bahkan hati nya sangat sakit untuk malam ini. Sekali saja, Jungkook ingin mengatakan sakit yang ia rasakan.

"Aku— bahkan di tempat ini, aku terbiasa berbohong," ucap Jungkook dengan pandangan yang menyorot pada nama Jeon Jungkook di sana, di mana saudara kembar nya yang mati belasan tahun lalu dan satu dunia mengetahui jika Jeon Jungkook telah mati dan Jeon Jeongguk lah yang hidup di antara mereka membuat Jungkook kembali terisak, mengarahkan jemari pada kedua mata nya berharap tangisnya berhenti, tetapi ia bahkan tak mampu mengendalikan tangisnya malam ini.

Et Cetera (Etc) [ TAEKOOK ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang