Gun melangkahkan kakinya gelisah, ia semakin mempercepat langkahnya. Ia dapat merasakan langkah kaki yang sedari tadi mengikuti Gun juga mempercepat langkahnya dan mengikis jaraknya dengan Gun. Pikirannya semakin kalut, jantungnya berdegup lebih kencang, rasa takut kini menghinggapi dirinya yang masih setengah perjalanan untuk bisa sampai di rumahnya.
Gang yang masih minim lampu membuat suasana jalan begitu sepi di jam 9 malam. Gun semakin mempercepat langkahnya, dalam hati ia sangat berharap seseorang lewat memergokinya tengah diikuti oleh seseorang. Nafasnya kini semakin memburu, air matanya hampir menetes. Takut, bahkan saking takutnya ia sampai salah jalan membuat hatinya terus mengutuk kebodohannya. Kini Gun hanya berjalan tanpa arah yang jelas, dalam hatinya ia hanya ingin segera menjauh dari seseorang yang sedari tadi masih mengikutinya, sampai disebuah persimpangan ia asal ambil jalan menuruni anak tangga satu persatu. Gun memperlambat langkahnya, sepertinya orang itu berbelok ke arah lain. Ia akhirnya dapat bernafas lega dan kembali berjalan normal.
"Tenanglah, hanya tinggal tikungan di depan aku akan segera sampai di rumah," batinnya menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Ia hampir sampai ditikungan itu dan hendak berbelok sebelum sebuah tangan menarik lengannya kemudian mendorongnya ke sebuah dinding cukup keras membuat Gun berteriak kesakitan.
"Akhhh, ku mohon jangan sakiti aku,"
rintih Gun menyilangkan tangannya menghalangi wajahnya. Ia tidak berani menatap pria di hadapannya.Brak. Bugh.
Sekali lagi pria di hadapannya membenturkan tubuh kecil Gun ke dinding kemudian melayangkan tinju bertubi-tubi ke rahang Gun."Akhhhhhh, toloooong, toloooong," teriak Gun brutal dan berharap seseorang segera datang menyelamatkannya. Dengan sekuat tenaga Gun mencoba melawan pria yang memang lebih besar darinya.
Bugh.
Pria itu kembali memukul pelipis Gun menggunakan batu yang ia ambil sembarang di dekatnya. Darah segar kini menetes melalui matanya dan membuat pandangan Gun mengabur."To-loooong," rintih Gun mulai menitikkan air matanya.
Pria yang tidak terlihat jelas itu kemudian membungkam mulut Gun supaya berhenti berteriak. Ia kemudian mencekik leher Gun yang tidak berhenti melawan dan meronta. Tanpa sepengetahuan Gun, pria yang kini dibelakangnya mengambil sebuah pisau lipat dari saku celananya."Hmpphh, lep-" suaranya tercekat ditenggorokan, air mata Gun terus mengalir membasahi rahangnya yang perih. Tangannya terus berusaha melepaskan cengkeraman yang begitu kuat itu. Kini ia juga merasakan perih akibat sayatan diperutnya. Tulang belakangnya yang rasanya sudah remuk membuat sakitnya berkali-kali lipat. "Tuhan cepat bunuh aku, aku tidak mau merasakan sakit seperti ini," batin Gun pasrah. Cengkeraman di lehernya semakin kuat sampai Gun merasa sesak dan tidak berdaya bahkan untuk berteriak sekalipun. Suaranya seperti terhenti ditenggorokan yang mulai kehabisan nafas.
"Seseorang tolong aku," batinnya lagi masih berharap seseorang dapat menolongnya. Ia membayangkan wajah khawatir Pim, adiknya sekaligus satu-satunya anggota keluarga yang dimilikinya.
"Hei apa yang kamu lakukan di sana," teriak seseorang yang barusan mendengar suara teriakan. Gun yang samar-samar mendengar mulai kehilangan kesadarannya.
"Sial," umpatnya kemudian langsung melarikan diri sebelum ia tertangkap oleh orang yang memergokinya. Ia menjatuhkan tubuh kecil itu asal dan berlari tunggang langgang meninggalkan Gun yang sudah diambang kematin.
"TOLOOOONG TOLOOOONG TOLOOOONG," teriaknya sekuat tenaga, "dia lari ke arah sana," tunjuknya yang segera diikuti oleh keempat pria paruh baya dan seorang polisi patroli mengikutinya.
"Ambulance cepat panggil ambulance," teriaknya. Ia kemudian membopong pria kecil yang sudah tidak sadarkan diri dengan wajah penuh lebam. Kacamatanya yang patah terjatuh tidak ia pedulikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Limited Edition (END)
FanfictionKisah seorang Jumpol Adulkittiporn dengan profesinya sebagai dokter. Secara tidak sengaja ia dipertemukan dengan Gun Atthaphan yang tengah di ambang kematiannya.