"Pim dicariin Bu Sonia di ruangannya," ujar Pringkhing kemudian menjatuhkan dirinya di bangkunya.
Pim mengangguk dan beranjak menuju ruangan Bu Sonia. Tidak berjarak terlalu jauh dari kelasnya. "Permisi Bu Sonia," ucap Pim sopan.
"Pim duduklah," ujar Bu Sonia, "begini, kakakmu belum memberikan tagihan bulanan selama 4 bulan, karena sebentar lagi ujian semua tagihan harus sudah lunas," lanjutnya terus terang.
"Baik Bu, nanti akan saya sampaikan kepada kakak saya," jawab Pim sopan.
Bu Sonia tersenyum ramah. "Kalau ada apa-apa jangan sungkan katakan pada ibu ya," ujarnya lagi, "sekarang Pim boleh kembali ke kelas."
Pim mengangguk kemudian beranjak dari kursinya.
"Bagaimana aku mengatakannya sedang ia terbaring tidak sadarkan diri di rumah sakit, bahkan aku belum memikirkan tagihan rumah sakit," gumamnya sedih, "apa aku harus mencari pekerjaan paruh waktu untuk sementara, tapi kalau P'Gun tau pasti dia akan marah," ujarnya lesu.
"Pim ada apa?" tanya Pringkhing begitu melihat Pim kembali dari ruang guru.
"Tidak apa-apa," ucapnya menunduk. Baginya untuk saat ini lantai jauh lebih menarik daripada yang lain. Ia kemudian menjatuhkan kepalanya di meja.
"Pim kalau ada apa-apa katakan saja padaku, siapa tahu aku bisa membantumu." Pringkhing mengusap lembut punggung Pim. "Aku ini temanmu, jadi sebisa mungkin aku akan membantumu jika kamu memerlukannya."
Pim mengangguk. "Terimakasih sudah mengkhawatirkanku." Pim tersenyum melihat teman sebangkunya yang begitu mengkhawatirkannya. "Aku beruntung memiliki teman sepertimu."
"Aku akan membantu sebisaku, jadi apapun yang terjadi beritahu aku, oke."
Lagi-lagi Pim hanya mengangguk, ia merasa suaranya tertahan di tenggorokan jadi dia mengurungkan niatnya untuk berbicara.
"Oiya Pim bagaimana dengan kakakmu? Apa dia sudah siuman?" tanya Pringkhing yang mengetahui Gun dirawat di rumah sakit.
"Sejauh ini aku belum mendengar kabarnya, mungkin belum siuman. Aku berharap dia segera siuman, aku merindukan senyumnya." Pim mengangkat kepalanya menatap Pringkhing.
"Bersabarlah Pim, aku yakin P'Gun kuat," Pringkhing menghela nafasnya, "oiya Pim ini dari ibuku untuk P'Gun." Pringkhing menyodorkan kantong plastik berisi buah-buahan.
"Terimakasih Pringkhing, ibumu tidak perlu repot melakukannya," ujar Pim menerima kantong plastik itu.
"Tidak apa-apa Pim, ini tidak seberapa," ucap Pringkhing tulus, "oiya maaf juga aku dan ibuku belum bisa menjenguknya."
"Tidak apa-apa, aku tahu ibumu sibuk bekerja."
....
"Bagaimana Tay hasil pemeriksaannya?" tanya Arm langsung memasuki ruangan Tay.
"Aku yakin dia menggunakan sarung tangan saat itu." Tay mengacak rambutnya frustasi. "Tidak ada sidik jari yang terdeteksi di batu sialan ini."
Arm mengambil kemudian mengamati batu itu. "Sayang sekali."
"Bajingan itu pasti sudah memprediksi hal seperti ini akan terjadi," umpat Tay menyandarkan tubuhnya di kursi.
Drrrt drrrt drrrt
Ponsel Tay berdering, nama Off Jumpol terpampang di layar ponselnya. "Halo Off ada apa?" Terdengar deru nafas Off di sebrang sana."Tay," Off mengambil nafas dalam, "Gun sadar tapi-"
"Tapi apa Off cepat katakan," sergah Tay tidak sabar. Jari-jemarinya terus mengetuk meja gelisah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Limited Edition (END)
FanfictionKisah seorang Jumpol Adulkittiporn dengan profesinya sebagai dokter. Secara tidak sengaja ia dipertemukan dengan Gun Atthaphan yang tengah di ambang kematiannya.