"Pertemuanku denganmu, menjawab semuanya."
***
Aku kembali melontarkan pertanyaan pada Umi, "Jika wanita yang Umi bilang memiliki foto pernikahan Ibu dan Ayah kandung Delia, lalu di mana foto itu? Kenapa tidak ada di dalam kotak juga?"
"Foto itu sepertinya lupa Ibu Aini berikan kepadamu. Mungkin saja masih ia simpan, Umi akan memberikan alamat panti asuhan itu pada Delia. Tunggu sebentar, akan Umi tulis di atas kertas." Umi beranjak, menulis alamat itu dan memberikannya pada Delia.
"Terima kasih, Umi," ucapku.
"Sama-sama, Sayang. Maaf Umi dan Abi tidak bisa banyak membantumu."
"Tidak apa-apa, Umi. Insyaallah, Delia mampu mencarinya sendiri. Dalam hal ini Kak Rizqi juga membantu Delia," jelasku dengan mengelus lengan Umi.
"Syukurlah kalau begitu."
"Delia? Kamu di mana?" teriak Kak Rizqi.
"Ya sudah, Umi, Delia akan berangkat. Delia pamit dulu, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, hati-hati, Nak!" teriak Umi.
***
"Kita akan ke mana sekarang?" tanya Kak Rizqi.
"Ke alamat ini!" ucapku dengan menyodorkan kertas.
Saat ini mobil masih terparkir di halaman rumah. Aku tengah memasang sabuk pengaman, bersiap-siap untuk menghidupkan mobil.
Alamat Panti? Apa Umi yang memberikannya? Jika benar, lebih baik aku yang menyetir, batin Kak Rizqi.
"Tunggu! Biar aku saja yang menyopir."
"Memangnya tidak apa-apa?"
"Kan lebih baik jika laki-laki yang membawa mobilnya. Sudah, sekarang kita tukar posisi!"
Aku dan Kak Rizqi keluar dari dalam mobil, untuk menukar posisi. Namun aku memilih untuk di kursi belakang. Alih-alih bertanya kenapa aku duduk di belakang, Kak Rizqi hanya diam seakan mengerti. Kami pun berangkat ke alamat yang dituju. Kami memakan waktu satu jam untuk sampai di sana.
"Tapi, apa kamu yakin untuk ke alamat ini? Apa kamu juga sudah siap untuk mengingat semuanya?" tanya Kak Rizqi.
"Kalau tidak yakin, mana mungkin aku mengajakmu ke sana. Aku sudah siap tenang saja."
Ketika hendak keluar dari area pondok pesantren, di saat bersamaan Kak Agam menghentikan mobilku.
"Rizqi!" teriak Kak Agam dengan mengulurkan tangannya.
"Ada apa kak?" tanya Kak Rizqi dari dalam mobil dengan kaca yang sudah terbuka. Aku hanya melihat dengan mengerutkan kening.
"Aku akan ikut dengan kalian. Apa kamu tidak keberatan, Delia?" ucap Kak Agam sambil duduk di kursi depan.
"Delia tidak keberatan jika Kak Agam ikut," jawabku.
Selama di perjalanan tidak ada yang berbicara sama sekali.
"Seperti orang yang sedang bermusuhan," ucapku memecahkan keheningan.
Mereka tertawa mendengarnya. "Bukan seperti itu, kita hanya fokus dengan pekerjaan masing-masing. Rizqi fokus menyetir, aku fokus mendengarkan tabligh akbar di telepon, dan kamu fokus menulis." Kak Agam menjelaskan dengan matanya yang fokus pada teleponnya.
"Iya, deh, iya. Bagaimana kalau kita sambung ayat? Sekalian, agar ingatan hafalannya kak Rizqi lebih kuat."
"Ide bagus, aku setuju. Kalau begitu, Kak Agam dulu yang memulainya," ucap Kak Rizqi antusias.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cordelia✓ (Telah Terbit)
Teen FictionDua sahabat terpisah karena tragedi kecelakaan yang terjadi dua belas tahun lalu, mengakibatkan hilangnya ingatan dan meninggalkan bekas luka di wajah salah satunya, Cordelia. Namun, takdir mempertemukan mereka kembali. * "Aku akan menerima Delia me...