PROLOG [ Menyadari ]

16.3K 830 25
                                    

Ini sudah hari ke tiga aku melihat Mom menangis sepanjang malam di kamarnya. Dia telihat seperti mayat hidup, matanya sembab dan pipinya membengkak, mom adalah wanita di awal 40 tahunan yang mungil, rambutnya bewarna coklat bergelombang sempurna, matanya juga unik antara perpaduan biru laut dan hijau daun. Aku cukup yakin dia adalah gadis populer saat duduk di bangku SMA dulu, mengingat kecantikannya yang masih bertahan hingga sekarang, ya walaupun biasanya kebanyakan orang menjadi pecundang setelah lulus sekolah, Mom justru sebaliknya. Namun kini dia seperti di ambil alih oleh kesedihan, setiap kali aku memanggilnya, mom hanya menoleh tanpa tidak benar-benar menatapku, aku bahkan ragu apa dia bisa melihatku atau tidak. Ironinya setelah aku memanggil mom dia akan menangis lebih keras dari sebelumnya untuk alasan yang hanya ia diketahui olehnya.

Aku dan Mom memang tidak banyak berbicara sejak mom menceraikan dad 2 tahun yang lalu, Mom dan Dad hampir tidak pernah terlibat dalam perdebatan yang memicu perpisahan, mereka selalu kompak akan segala hal atau setidaknya mereka terlihat saling menghargai. Namun, ternyata mereka memainkan perannya sangat baik di depanku, menyembunyikan kerusakan hubungannya rapat-rapat hingga akhirnya mereka menyerah dan memutuskan berpisah. Aku tidak tau bagaimana semua ini berawal, yang jelas pada awalnya semua serasa sulit untukku, bahkan sampai sekarang, hanya saja saat ini aku menarik diri dan memilih tidak akan terlibat pada pertikaian mereka kemudian akhirnya kami tidak berbicara sebanyak dulu.

Sementara Mom sibuk dengan kesedihannya, aku menghabiskan waktuku berdiam diri di kamar dengan sisa liburan sekolah hanya tinggal dua hari lagi. Para gadis lain mungkin sibuk mempercantik diri untuk hari pertama mereka sekolah setelah liburan musim panas. Sungguh ajaib bagaimana selama musim panas banyak orang-orang mengalami perubahan, banyak dari mereka yang mengecat rambutnya atau kulitnya yang bertambah coklat akibat berjemur di pantai, Tapi bagiku kesibukan untuk mempersiapkan diri menyambut sekolah adalah membaca novel yang sama berulang-ulang, itu adalah strategiku dalam membunuh waktu tapi tidak untuk kali ini, rasanya aku harus pergi menemui Marissa dan menceritakan tentang Mom kepadanya. Kesedihan membutuhkan teman, itu pasti dan Marissa adalah orang yang mau merasakan kesedihanku sekaligus bisa membuatku baik-baik saja meski yang dia lakukan hanya mendengarkan. Ajaib bukan?

Ketika aku turun menuju pintu keluar, Mom ada disana memakai gaun selutut berwarna hitam seolah baru saja mendatangi pemakaman. Tapi, jika aku memikirkannya lagi, akhir-akhir ini mom memang selalu memakai baju berwarna hitam, sangat berbanding dengan kebiasannya yang selalu memakai warna-warna soft apalagi ini musim panas. Dia memandangi fotoku yang terpajang di dinding, foto itu di ambil saat aku masih duduk di sekolah dasar, saat aku dan mom masih sangat akur. Dia memang memajang foto kami dimanapun disetiap sudut rumah tapi tentunya tidak ada satupun foto Dad disana, hal pertama yang ku tangkap dari usahanya adalah segala tindakan Mom didasari dengan intimidasi secara tak kasat mata untuk mengingatkanku bahwa kami pernah menjadi ibu dan anak yang sesungguhnya.

Tatapannya kosong dan dia membawa seikat bunga mawar ditangannya. Tubuhnya terlihat sangat lelah yang membuatku merasa begitu bersalah karna tidak mengurusnya dengan baik akhir-akhir ini. Tapi ini pilihannya, ia yang memilih hidup seperti ini. Padahal aku yakin ia bisa mendapatkan lebih dariku jika ia tidak egois dan sedikit berusaha melawan kesedihannya.

''Mom, aku pergi ke rumah Marissa. Mungkin akan pulang telat jadi tak usah menungguku'' ucapku. Mom berbalik seolah merespon suaraku tapi pandangannya tetap kosong dan sendu kemudian dia berjalan perlahan melewatiku menuju kamarnya. ini adalah bentuk pengabaian yang terekstrem yang pernah dia lakukan kepadaku selama 2 tahun ini. Baiklah, seharusnya itu tidak bisa mempengaruhi hariku untuk menjadi buruk, jadi ku putuskan untuk melangkahkan kakiku keluar tanpa memikirkan wanita itu.

Anehnya, Sepanjang jalan yang ku lewati menuju rumah Marissa terasa sangat janggal. Aku menyapa Mrs.Barner yang rumahnya hanya terhalang oleh dua rumah dari rumahku. Dia adalah wanita tua berusia 70 tahun yang sangat ramah, ketika mempunyai waktu senggang, biasanya aku datang ke rumah Mrs.Barner untuk membantunya berkebun dan terkadang aku sangat suka menghabiskan sore hariku di pekarangan rumahnya yang penuh bunga. Tapi kali ini ia tidak membalas sapaanku entah karna ia sedang sibuk berbincang dengan Rocky, anjingnya atau memang sengaja mengabaikanku. Mungkin virus "Abaikan Anakku" yang ditularkan mom sudah diperluas sampai Mrs.Barner. Setelah menimbang-nimbang cukup lama, aku putuskan untuk mempercayai pendengaran Mrs.Barner sudah terganggu mengingat dunia ini sudah mulai berisik oleh percakapan-percakapan omong kosong yang setiap hari dilakukan orang-orang daripada memikirkan opsi pertama. Tidak ada gunanya memikirkan kemungkinan terburuk, bukan?

Karna tidak mau melewati jalan memutar, aku memilih jalan pintas untuk sampai ke rumah Marissa. Rumahnya memang tidak jauh dari rumahku karna masih berada di kompleks perumahan Jafferson di kota kecil yang terletak di ujung kota Peora. Yang dimaksud kota kecil memang kota kecil secara harfiah, aku hampir mengenal semua orang disini, hampir semua teman-temanku adalah orang yang sama yang ku temui saat masih di sekolah dasar. Oleh karna itu aku sangat hafal semua jalan-jalan pintas kemanapun aku pergi, walaupun itu artinya aku harus melewati pemakaman untuk menuju rumah Marissa. Sebuah pemakaman kecil yang sudah sangat tua di kota kami, bagi penduduk disini pemakaman ini tampak hal biasa tapi bagi siapapun yang pertama kali melihatnya justru tempat ini terlihat mengerikan, dengan batu-batu nisan yang sudah berjamur dan ilalang yang terlampau tinggi karena tidak ada yang mengurusnya.

Anehnya Marissa ada disana, sedang duduk di atas makam seseorang dan dia menangis. Siapa yang meninggal? kenapa aku tidak tau? jika itu seseorang yang Marissa kenal harusnya aku tau karna Marissa pasti akan menceritakannya padaku. Aku menghampiri Marissa, dia membawa seikat bunga mawar yang masih ia genggam di tangannya yang bergetar tapi sepertinya dia tidak menyadari kedatanganku. Dia tetap menangis di atas batu nisan yang bertuliskan nama ''ANNABELE MOORE''.

Jantungku berhenti berdetak, aku terbelalak kaget tak percaya lalu mundur beberapa langkah. ANNABELLE MOORE? itu namaku. Ku pejamkan mataku mencoba mencerna apa yang baru saja ku lihat.

Namaku tertulis di batu nisan.
Sahabatku menangisi batu nisanku.

"Marisa, ini bahkan bukan ulang tahunku" ucapkapku gemetar sebari menatap punggung Marisa yang bergetar. "ini juga bukan April Mop" Marisa meletakan beberapa bunga di atas batu nisan namaku. "sialan ini sama sekali tidak lucu Marisa Hawkins" tenggorokanku tercekat, aku dilanda ketakutan yang luar biasa ketika tanganku tidak bisa menyentuh bahu Marisa, tubuhku seperti hologram yang dapat menembus Marisa dengan mudah.

"MARISA, LIHAT AKU! AKU ADA DIDEPANMU" kini aku berteriak tepat dihadapan Marisa, Marisa bahkan tidak bergeming, gadis bertubuh kecil dengan rambut bergelombang berwarna pirang itu bahkan seolah tidak menyadari kehadiranku sedari tadi, ia berdiri tetap menunduk kemudian menghapus air matanya.

"aku gagal lagi, kau pasti kecewa kan Anna" ucapnya.

"apa maksudmu? Apa yang kau maksud gagal? Marisa tolong lihat aku, ini tidak lucu sama sekali, ARRHGT HENTIKAN MARISA!!!" aku menjabak rambutku menyalurkan segala frustasi yang ada di dalam fikiranku, benar-benar keterlaluan, aku bersumpah akan marah padanya karena membuat lelucon semengerikan ini, dia bahka- "aku pasti akan membawanya menemuimu Anna, aku berjanji" lanjut Marisa.

Kemudian dia berbalik melangkahkan kakinya pergi meninggalkanku sendirian dengan batu nisan yang bertuliskan namaku sendiri. Angin sore meniup rambutku perlahan, ku tatap langit yang menampakan awan gelap, suasana pemakaman yang sepi kembali membuatku tenggelam dengan apa yang baru saja terjadi. Aku perlu waktu untuk mengerti.

Aku sudah meninggal? Inikah yang terjadi saat seseorang meninggal? Tiba-tiba saja menyadari bahwa semua orang sudah tidak bisa melihatnya lagi, alasan mengapa Mom dan Mrs. Barner mengabaikanku adalah karena mereka bahkan tidak dapat melihatku lagi. Alasan semua hari-hari Mom penuh dengan tangisan adalah menangisi kematianku. Jauh sekali dari apa yang ku bayangkan, ku fikir saat seseorang meninggal mereka pergi ke tempat yang sudah di janjikan seperti yang sudah ku baca di dalam buku-buku, surga atau neraka. Nyatanya aku masih disini, kesana kemari berfikir bahwa aku masih bagian dari dunia. tapi satu-satunya pertanyaan disini adalah:

Mengapa aku meninggal?




-edited: Surabaya, 16 Januari 2018-

by; StayInWinter

AVERNUS [Re-Upload]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang