16 Maret 2022
•••
"Lo yakin ini berhasil?" tanya Hesti Fatmaputri pada teman cowok di sampingnya, keduanya tengah berjalan menyusuri koridor yang lumayan ramai sambil Hesti membawa secangkir kopi hitam di tangan.
"Iya, berhasil, lo percayalah sama gue!" kata cowok itu mengangguk yakin. "Pasti langsung acc dia, mah. No typu-typu!"
Wajah Hesti terlihat khawatir, meski kemudian ia menghela napas pasrah. "Awas aja lo ya kalau gagal!"
"Gak bakal, lah! Gue nyoba sendiri!" Cowok itu semakin meyakinkan. "Kasih kopi item, panas, manjur!"
"Hm, gue berasa kek ngasih sajen aja ke jin." Hesti memutar bola mata yang disambut tawa oleh temannya.
"Kan emang, kek jin!" Keduanya kini menertawakan.
Asyik-asyik tertawa, tanpa sadar seseorang melintas berlawanan arah, seorang pria tampan berjas khas berjalan sambil saling bersapa ria insan sekitar dengan ramah. Sama-sama tak fokus ke depan, maka terjadilah ....
"Eh awas!" pekik seseorang, tetapi sudah terlambat.
"Aw aw aw, panas!" Hesti menjatuhkan kopi hitamnya, syukur ada piring yang menghalangi gelasnya jatuh ke lantai, tetapi isinya tumpah hingga sisa setengah. Tumpahan jatuh ke lantai, lalu sebagian lagi ....
"Sshhh ... astaga ...." Ada di jas kuning yang dikenakan pria dewasa itu.
"Hes ... gawat, Hes ...." Dibandingkan menanyakan keadaan temannya yang terkena panasnya kopi, teman cowok Hesti melotot ke orang yang paling banyak menjadi korban di sini.
Hesti berdesis, seraya mendongak ke hadapannya, ke orang yang ia tabrak. Dan menemukan siapa sosok di sana, matanya membulat sempurna penuh ketakutan.
"Astaga, Pak, saya mohon maaf! Saya tidak sengaja!" Hesti tak peduli sisa rasa panas di tangan, pastilah lebih panas dada bidang yang dibalut jas basah kuyup kopi itu, Hesti segera mengeluarkan sapu tangan dari saku dan segera siap menyeka bagian sana.
Namun sebelum menyentuh jasnya, suara lain menahan kegiatan Hesti. "Pak, Bapak gak papa?"
"Aduh, baju Bapak kotor!"
"Woi, lu tanggung jawab dong!" Para mahasiswa dan mahasiswi kini menodong seorang Hesti dan teman prianya itu.
"Woi, dia gak sengaja!" Teman Hesti berusaha membela.
"Gak sengaja, gak sengaja, lo--"
"Nak, sudah, jangan ribut." Kini, suara pria dewasa yang ngalus dan lembut itu terdengar. "Bapak gak papa, kok. Dan kamu, apa tidak papa juga? Maaf Bapak yang salah gak liat-liat kalau jalan."
Hesti menggeleng cepat. "Enggak, Pak. Salah saya. Saya jalan gak liat-liat."
"Bohong tuh, Pak. Pasti sengaja dia, biar caper ke Bapak!" Seseorang menjawab ketus.
"Dih, mana ada!" Hesti tak terima.
"Sudah, sudah, jangan ribut, oke? Ssshhh ...." Dengan tenang ia menenangkan keributan itu. "Jadi di sini, Bapak dan dia sama-sama salah, jadi gak seharusnya saling menyalahkan. Bapak gak papa, oke? Kami saling memaafkan aja." Ia menatap sekitarnya, semua yang ada di sana diam. "Baiklah, Bapak permisi dulu, kalian jangan ribut, oke?"
Ia memperingatkan layaknya dengan sekumpulan anak sekolahan sebelum akhirnya beranjak pergi, beberapa orang masih setia mengekori untuk menolong pria itu dan sisanya ....
"Cih, beruntung lu dimaafin Pak Oliver, kalau enggak!" Hesti dan teman cowoknya diancam mereka.
"Kalau enggak apa, hah? Apa?" Teman Hesti menatap galak mereka, tetapi Hesti menahannya, kini dengan angkuh kelompok fans Pak Oliver ikut beranjak mengikuti Oliver juga. "Dasar, nge-fans gak kira-kira! Orang sama-sama salah."
"Udah, ish udah!" Hesti menahan temannya itu, dan memandangi kepergian Pak Oliver dan fans-nya.
Wajahnya memiris. "Dasar sok baik, nanti juga kedoknya kebuka sendiri, nyesel nanti kalian belain dia. Muka dua." Hesti bergumam sendiri dengan nada kesal, dan itu membuat temannya terheran.
"Hes, lo ngomong apaan?" tanyanya, mengangkat sebelah alis.
"Gak ada, bantu gue pesen kopi item lagi deh, udah ambyar gini sisa setengah!" Hesti mendengkus kesal.
"Udahlah, kasih aja, bilang aja kalau dia nanya kenapa sisa setengah, abis lo minum."
Hesti memukul tangan cowok itu. "Bangsut, mana mau dia yang begituan! Gaje lo! Cepetan kita pesen lagi!"
"Aduh, iya iya." Sejenak mengusap tangan yang dipukul cewek itu, mereka pun kembali ke kantin lagi untuk memesan kopi hitam panas, sebelum akhirnya kembali ke tujuan awal. Kali ini, keduanya begitu berhati-hati menjaga kopi tersebut, menyusuri koridor yang lumayan ramai dan akhirnya kala sampai di depan pintu sebuah ruangan, mereka menghela napas lega.
Teman Hesti mengetuk pintu.
Tak lama, sahutan di dalam terdengar. "Masuk!" Keduanya pun membuka pintu yang ada, mereka masuk ruangan tersebut tetapi seketika terdiam melihat sepasang pria yang kini berhadap-hadapan seakan habis berbincang.
Dan salah satu pria itulah yang membuat mereka agak kaget, karena itu adalah Pak Oliver, sosok yang tadi mereka tabrak dan terkena siraman kopi hitam panas. Pria itu masih memakai jas basahnya, tetapi di tangan ada jas lain di sana. Mereka saling bersitatap selama beberapa saat dan Pak Oliver tersenyum hangat pada keduanya, seakan tak emosi sama sekali.
Ia lalu menatap pria dewasa di hadapannya.
"Ah, sepertinya Anda sibuk, saya pergi dulu, Pak. Terima kasih sudah mau meminjamkan saya jas--"
"Eh, tunggu, Pak!" Pria itu menghentikan Pak Oliver yang siap pergi. "Bapak bilang, Hesti kan yang menumpahkan kopi ke baju Bapak?"
Jantung Hesti serasa mau copot, Pak Oliver mengadukannya?! Cih, dasar cepu!
"Ah, iya, tapi kami sama-sama enggak sengaja. Sudahlah, saya gak papa, Pak."
"Gak bisa begitu, Pak. Dia tetap harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Hesti, ke sini kamu!" Hesti menatap teman cowoknya murung, dan sepertinya temannya sendiri tak bisa apa-apa. Kini keduanya pun menghampiri dua pria dewasa itu.
"Serahkan saja baju Bapak yang kotor nanti ke dia, biar dia laundry." Pria dewasa itu memutuskan.
"Ah, tidak usah, Pak. Saya--"
"Jangan, Pak. Biarkan saja. Biar saya bertanggung jawab." Kali ini, Hesti bersuara, ia pasrah karena memang ada rasa bersalah di antara rasa kesalnya kena adukan oleh Pak Oliver.
"Bagus, jadilah mahasiswi yang bertanggung jawab." Pria itu mengangguk setuju.
"Baiklah, terima kasih, Hesti. Pak Randa, saya permisi dulu, Hesti, Izal." Pak Oliver dengan sopan permisi pada mereka sebelum akhirnya beranjak pergi keluar.
"Kalian ini, sudah tahu Pak Oliver terlalu baik, malah melenggang tanpa tanggung jawab!" Dan pria itu, yang dipanggil Pak Randa, mengomeli Hesti dan Izal.
"Maaf, Pak, maaf." Keduanya memohon maaf.
"Lain kali, saya akan lebih bertanggung jawab." Hesti menimpali meski dalam hati menggerutu. Terlalu baik? Cih, bualan. Tunggu sampai mereka melihat kedok asli di balik wajah sok ramah tamah itu.
"Bagus, tekankan itu pada diri kalian, kuliah ini bukan kuliah buat ningkatin pendidikan saja, moral pun juga." Keduanya mengangguk patuh. "Sekarang, mau apa kalian nyari saya?"
"Anu, Pak, nih." Hesti menyodorkan kopi hitam panas di tangannya pada Pak Randa, dan mata Pak Randa menyipit terlihat tak senang.
Melihat reaksi itu, Hesti menyikut lengan Izal temannya. "Lo bilang berhasil?!" Ia berbisik pelan.
"Entar, tunggu reaksinya!" Izal menegaskan.
"Baiklah." Dan mendengar jawaban itu, Hesti menggirang, sementara Izal penuh kebanggaan. "Tapi ...."
Yah, kok ada tapi? Keduanya sedikit miris.
"Tunggu sampai urusan kamu dan urusan Pak Oliver selesai."
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
PAK DOSEN & RAHASIA
Romance18+ Oliver Haribowo itu dosen idola, ganteng, cerdas, dan beragam nilai plus ada padanya. Bisa dikatakan, Hesti membayangkan seorang Oliver seperti pria-pria idaman di novel yang sering ia baca. Semua orang, dan mungkin Hesti pun, ingin bersanding d...