Chapter 8

2.5K 175 30
                                    

24 Maret 2022

•••

Hesti tak tahu pasti, tapi di sini sekarang, ia berakhir di dalam mobil yang berjalan, bukan ojek online atau taksi online pengendaranya melainkan Oliver di sana. Oliver menawarinya untuk diantar pulang, lalu rasa aneh di dada serta takutnya soal pengancam lain, ia akhirnya setuju akan hal itu.

Padahal, Hesti bisa menghubungi orang rumah, tapi nasi sudah menjadi bubur, ia sudah mengangguki ajakan seorang Oliver dan di sinilah ia akhirnya, sambil beradu pikir dengan logika dan hatinya.

Oliver jahat, dia playboy cap biawak, dia juga hanya ingin perawan Kak Sarah, dan selepas itu baru dia akan melepaskannya. Hubungan mereka lama karena Kak Sarah begitu menjaga kehormatannya, dan sadar Kak Sarah gagal didapatkan, mereka berpisah. Oliver juga melakukan pengancaman dengan telepon nyasar pada Kak Brendonnya dan ancaman di email menggunakan email palsu. Semua orang tahu, itu hal berengsek.

Namun, akhir segala itu, ada permintaan maaf disertai foto polaroid Kak Sarah dan Pak Oliver.

Apa pria ini betul-betul sadar akan kesalahannya? Apa sikapnya ini untuk menebus kesalahan atau mempermainkannya? Tidak ada yang tahu. Namun yang pasti harus Hesti akui, Oliver sangat baik.

Sangat.

Tak butuh waktu lama, mereka pun sampai di sebuah kost-kost-an yang juga ada rumah Hesti di sana.

"Ini rumah kamu, kan?" tanya Oliver kala mobilnya berhenti.

"Bapak tahu, kan?" Hesti malah bertanya balik, entah kenapa ia ingin mengutarakan ini sekarang juga, lebih cepat lebih baik. Ia menatap pria itu yang kelihatannya juga mengetahui isi kepala masing-masing. "Bapak tahu juga kan saya siapa?"

Oliver menghela napas, ia memejamkan mata. "Maaf." Hanya satu kata itu yang keluar dari mulut sang pria. "Saya memang berengsek dan hal itu gak mudah dimaafkan."

Benar, dia tahu semuanya, jelas.

"Saya gak memohon maaf pada keluargamu lagi, karena saya sadar, itu gak berguna, semua gak bisa diperbaiki hanya dengan maaf, dan yah masa lalu gak bisa saya perbaiki, tapi ... maaf kalau sikap saya akhir-akhir ini mengganggu kamu."

Jadi, benar, ini penebusan maaf oleh Oliver pada keluarganya, membantu Hesti?

"Saya dulu takut lakuin ini, kamu tahu, tapi ngeliat kamu berusaha keras ke Pak Randa, jadi saya berusaha bantu, kamu jangan terlalu stres memikirkan kelulusan, kamu pasti lulus saya yakin itu." Ucapan Oliver terasa menenangkan, entahlah apa Hesti bisa memaafkan pria ini.

Kasihan juga tetap dibenci meski sudah meminta maaf dan berusaha memperbaiki, walau memang apa yang dilakukan Oliver sangat keterlaluan di masa lalu.

"Keknya enggak masalah, kalau Bapak meminta maaf, maksudku secara langsung, minta maaf dan berusaha memperbaiki keadaan." Hesti menyarankan.

Oliver tertawa, terlihat tawa itu begitu miris. "Yah, saya mikir juga gitu tapi sepertinya ... bukan saat ini."

Hesti mengangguk, rasanya ia paham maksud Oliver saat ini, ia tak bisa memaksanya dan tentu hanya sekadar kata-kata tak akan banyak membantu. Intinya, hanya Oliver sendiri yang bisa menyelesaikan perkara pria itu. Dan dia, mungkin bisa membantu dengan menerima pertolongan Oliver, hingga keluarganya melihat sendiri perjuangan pria itu.

"Makasih udah nganterin saya, ya, Pak." Hesti berkata setelah diamnya mereka selama beberapa saat, kini Hesti membuka pintu mobil dan keluar bersama barang-barangnya dari sana. Untuk terakhir kali, ia menatap Oliver yang tersenyum penuh terima kasih padanya.

Kali ini, Oliver mendapatkan senyuman tulusnya. "Semangat ya, Pak. Saya ... juga bakalan usaha bantu Bapak.

"Terima kasih banyak, Nak." Lalu pun, Oliver beranjak bersama mobil yang ia jalankan dengan kecepatan sedang.

Untuk saat ini, Hesti akan merahasiakan kedekatannya pada Oliver, ia perlu menunggu waktu tepat memberitahukan kebenaran agar keluarganya tak salah sangka padanya. Semoga keputusan ini berakhir baik.

Sementara Hesti mulai memasuki rumah, Oliver yang ada di mobil tersenyum bengis menatap dirinya sendiri di kaca spion. Senyumnya senyum penuh kekejaman dan lebar bak ia pembunuh berantai. Perlahan, senyuman itu menjadi sebuah tawa kecil yang tak bisa ia tahan, bahkan tawanya membesar menjadi tawa geli yang sangat menggambarkan betapa bahagianya saat ini.

"Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui." Oliver bergumam pelan, dan tawanya menghilang tergantikan senyuman kejam lagi. "Good fuckin job, Oliver. Good fuckin job."

Oliver sampai di sebuah rumah, ia masuk ke rumah itu tanpa permisi atau apa pun, tetapi terlihat pria tersebut disambut beberapa pembantu di sana. Pembantu yang kelihatan amat takut dan hormat padanya.

"Mamah mana?" tanya Oliver tanoa membalas sapaan mereka.

"A-ada di ruang keluarga, Tuan." Oliver tersenyum bengis, mulai ia berjalan ke arah dapur dan menemukan seorang wanita, yang duduk di atas kursi roda dengan keadaan menyedihkan. Begitu rapuh, tak bisa bergerak, dan Oliver mengitari wanita tak berdaya itu.

"Halo, Mamah, Oliver pulang." Ia tertawa geli seraya berputar di sekitar ibundanya itu, sebelum akhirnya berhenti dan menghadap tepat di depan wajah wanita renta tersebut. Terlihat keadaan kepala agak miring, bibir pun demikian, meski pandangan ke depan ekor matanya masih bisa menuju ke Oliver saat ini. "Gimana keadaan Mamah, masih sakit ya?"

Oliver dengan malas menggerakan tangan wanita itu yang benar-benar seakan tak ada tenaga.

"Biasanya begini, kan, ya?" Oliver mengarahkan tangan berinfus itu ke kepalanya, memperagakan seakan menjambak rambutnya, tetapi tak ada pergerakan dari wanita itu selain Oliver yang melakukannya sendiri. "Udah gak bisa ya?" Oliver mendekatkan wajahnya ke telinga sang ibu. "Gak akan pernah bisa lagi?"

Oliver tertawa pelan seraya menjauhi sosok yang dipanggilnya Mamah itu.

"Cepat sembuh, Mah. Oliver sayang Mamah." Oliver pun beranjak dari sana setelah berkelakuan bak anak-anak tadi, menuju kamarnya dengan begitu ceria meninggalkan si wanita yang menatap penuh teror.

Oliver membersihkan diri dengan begitu senangnya, mengganti pakaian dengan pakaian bagus, sebelum akhirnya ia makan malam bersama keluarganya satu-satunya. Mamahnya sendiri, yang dibantu makannya oleh pembantu di sana. Tak ada percakapan lebih lanjut sebelum akhirnya Oliver masuk ke kamar, berbaring di kasurnya dengan begitu nyaman sambil bersenandung lembut.

Pria itu mulai memejamkan mata, dan sebuah ingatan pagi tadi berhasil membuat seulas senyum geli muncul di bibirnya. Entah kenapa, kebahagiaan itu membuatnya membuka mata kembali, dan memandang langit-langit kamar bersama senyuman yang rasanya enggan ia lepaskan.

"Sarah ...." Oliver tersenyum bengis menggumamkan nama perempuan itu.

Kepalanya menoleh ke samping, menghadap sebuah papan yang tampak menempel banyak foto, artikel, dan benang merah di sana. Ada ragam foto Sarah, keluarganya, dan artikel tentang mereka semua.

"Well, enough for today." Oliver membuka lemari di sampingnya, mengeluarkan beberapa pil dari sana dan menenggaknya tanpa masalah padahal tak memakai bantuan minum, sebelum akhirnya pria itu memejamkan mata. Helaan napas panjang, senyuman sekilas, setelahnya pun Oliver masuk ke alam mimpi.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

PAK DOSEN & RAHASIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang