19 Maret 2022
•••
"Permisi, Pak Oliver!" Hesti mengetuk pintu sambil memanggil sosok yang ada di dalam, seperti biasa tak ada sahutan dan Pak Oliver sudah membukakan pintu untuknya. "Pak, ini jas Bapak." Ia menyerahkan tas jinjing di tangannya.
Pak Oliver menyambut dengan dengan hati. "Terima kasih banyak, ya, Hesti." Hesti mengangguk hormat, dan setelah itu wajah Pak Oliver terlihat merasa bersalah. "Kamu ... masih marah sama saya, Hesti?"
Banget, tapi dengan alasan lain, cuma tentu saja Hesti tak mengatakannya, untuk tragedi tubruk kopi ia tak lagi memikirkannya, itu sudah beres.
Hesti menggeleng. "Tidak, Pak. Saya enggak marah. Maaf jika saya bikin Bapak berpikir begitu."
Wajah Pak Oliver terlihat kikuk, meski kemudian menyunggingkan senyuman, murah senyum sekali. "Terima kasih, ya."
"Iya, Pak. Tak masalah." Hesti balik tersenyum, ia berbalik dan mata Pak Oliver melotot melihat bagian belakang Hesti.
"Mm ... Hesti," panggil Pak Oliver lagi, Hesti memejamkan mata menahan emosi karena lagi dan lagi, pria bertopeng ini suka sekali menghalau-halaunya.
Menahan amarah yang meledak, Hesti membalikkan badan, tersenyum semanis mungkin. "Iya, Bapak? Ada apa lagi?"
"Kamu ... kamu berdarah?"
Apa karena emosinya tidak stabil?! Kenapa orang selalu berpikiran dia PMS hingga jadi emosian sih? Kenapa?!
"Pak, Bapak orang kedua yang nyebut saya lagi PMS, tapi enggak Pak saya enggak lagi PMS. Hari ini saya cuman ngerasa ... Dewi Keberuntungan gak berpihak sama saya. Terima kasih atas perhatiannya, ya, Bapak." Susah sekali menahan ledakkan amarah di hadapan pria ini, untung bisa berkata normal.
"Tidak, maksud saya ... belakang kamu."
"Belakang saya?" Hesti mengerutkan kening bingung, tetapi kemudian mata Hesti melotot, ia segera menutupi bagian belakangnya menyadari maksud pria dewasa di hadapannya.
Jadi, dia dari tadi jalan dengan keadaan ... astaga memalukan sekali! Ia menatap Pak Oliver yang kelihatan khawatir. Hesti merasa kesialannya amatlah bertubi-tubi, sangat!
"Hes ...."
Hesti langsung ngacir meninggalkan Pak Oliver yang belum menyelesaikan kalimatnya, ngacir ngibrit sambil tentu saja termehek-mehek akan kesialannya hari ini.
Tragedi tembusnya darah menstruasi Hesti dan kepergok oleh Pak Oliver itu masih berbekas di ingatan Hesti, meski tak lagi menangis sedu sedan karena dibelikan face mist oleh Kak Sarahnya, sang kakak ipar, Hesti sudah lebih tenang, tetapi jelas mata sembabnya masih kentara. Kini si cewek tengah duduk santai di kamarnya sambil menonton drama Korea demi menepis segala pemikirannya soal dunia perkuliahan yang agaknya amat kejam.
"Hesti," panggil seseorang, Hesti mem-pause dramanya sebelum akhirnya menoleh dan menemukan sang kakak kedua, Niken, yang kelihatannya baru pulang kerja.
"Kakak ...." Niken menghampiri sang adik bersama sebuah bingkisan di tangan, diserahkannya bingkisan itu pada adik tersayangnya tersebut. Hesti terlihat bahagia dapat hadiah lagi oleh sang kakak, kalau bersedih banyak dapat bingkisan begini, enak juga sedihnya.
"Gak sedih lagi kan?" Tadinya, tetapi setelah diingatkan dengan pertanyaan Niken, Hesti seketika cemberut, tangisnya kembali pecah seraya menutupi wajahnya.
"Malu banget aku, Kak! Mau ditaroh di mana muka cantik dan unyuku ini?! Terlebih lagi, dia ... si berengsek itu!" Hesti menunjuk, dan tanpa sengaja menunjuk orang yang baru datang, yaitu Brendon, sang kakak pertama.
"Lah, Kakak berengsek?" tanya Brendon.
"Bukan Kakak, itu lho itu dia si berengsek! Sebel sebel sebel!" Hesti menangis semakin kencang, tetapi saat Brendon meletakkan bingkisan di hadapannya tetap saja Hesti menerimanya, meski sambil nangis.
"Dih, ni anak." Niken mencibir sikap itu. "Udahlah, gak papa, Hes. Lagian kan kamu bilang koridor sepi, paling cuman Loliper itu yang liat."
"Itu dia masalahnya!" Kedua kakaknya terkesiap karena ungkapan Hesti. "Kenapa dia yang harus liat, kenapa?! Aku kan malu abis! Sial banget hariku kalau deket sama dia! Sial sial sial!"
"Kalau gitu kan udah diingetin, jangan lagi cari urusan sama dia," kata Brendon kali ini.
"Maunya gitu!" Keduanya lagi-lagi terkesiap karena teriakan melengking dan memekikkan telinga tersebut. "Tapi kayak ... kayak Loliper ini suka banget nyari masalah ke aku! Aku yakin dia sengaja bikin aku stres, karena tau aku ini adik ipar Kak Sarah, apalagi kan aku lagi OTW usaha mau lulus!"
Keduanya bertukar pandang miris, bagaimanapun ungkapan Hesti itu bisa jadi kemungkinan besarnya. Hanya saja, mereka tak terlalu tahu isi kepala Pak Oliver, terlebih mungkin kata terakhir yang ia serahkan pada Sarah dan Brendon waktu itu. I'm Sorry, bersama foto polaroid, benar-benar hal yang tidak gamblang maksudnya apa.
"Jadi gimana nih, Kak?" tanya Niken, menatap kondisi adik bontot mereka sejenak.
"Pindah ... kampus?" Brendon memberikan saran, dan Niken menepuk kening.
"Kak, dia bentar lagi udah lulus, kalau dia pindah ya banyak yang diurus, dia bisa-bisa malah makin stres. Kakak gak ada ide lain apa gitu, contohnya kayak ... kayak ...."
"Kayak apa?" Brendon mengangkat sebelah alis karena Niken menggantung kata-katanya, jelas sekali adik tengahnya itu tak tahu juga jawabannya.
"Gini aja, Hesti." Brendon mendekati adik kecilnya yang sudah lumayan membesar meski sedikit, Hesti memang paling mungil di antara mereka berdua. "Kamu bertahan, oke? Setelah lulus, S2 bisa nyambungnya ke universitas lain, atau kerja. Kakak janji, Kakak bakalan usaha, dan kamu juga harus usaha, biar dijauhkan dari Loliper itu. Kita berdoa sama-sama, biar dia jauh-jauh dari kamu."
Hesti menghela napas, disekanya air matanya yang tersisa sebelum akhirnya mengangguk. "Iya, cuman buat beberapa bulan ke depan, semoga aja aku tahan."
"Bagus." Brendon mengusap puncak kepala adiknya.
"Nanti hari Minggu, Kakak ajak kamu jalan-jalan, biar otak kamu lebih fresh," kata Niken menimpali, Hesti kembali tersenyum karenanya.
"Makasih banyak ya, Kakak-kakakku yang baik!" Kini, ketiganya berpelukan.
"Udah, jangan kebanyakan nangis, nanti skincare-mu luntur."
"Ish, mana ada!" Hesti cemberut dan kedua kakaknya tertawa sambil melepaskan pelukan.
"Ya udah, lanjut sana nonton kamu, jangan terlalu dipikirin." Hesti mengangguk paham dan kini keduanya keluar dari kamarnya.
Hesti menyemangati diri sendiri. "Oke, Hesti, cuman beberapa bulan ke depan, Loliper hust hust pergi lo dari hidup gue! Tetap tenang, tetap santai, lanjut nonton Kim Bum sama Rain gueee yang unyu!"
Tiba-tiba dentingan ponsel terdengar, Hesti yang ingin menekan play terhenti karenanya dan membuka ponsel untuk melihat apa yang ada di sana.
"Anjirlah, provider hobi banget ngabarin kayak doi gue aja." Hesti mendengkus sebal dan mengabaikan pesan itu, dan memilih fokus menonton drama Korea favoritnya.
Dan ia tak sadar, ada pesan baru yang masuk, dari nomor tak dikenal dan tampak di pop up depan.
"Hesti, ini saya Pak Oliver."
"Apa kamu baik-baik saja?"
Hesti sama sekali tak menyadari suara ponselnya, keasyikan menonton sampai tuli akan sekitar dan punya dunia sendiri. Sampai akhirnya, si cewek tertidur tanpa membuka pesan tersebut.
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
![](https://img.wattpad.com/cover/304767448-288-k203486.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
PAK DOSEN & RAHASIA
Romance18+ Oliver Haribowo itu dosen idola, ganteng, cerdas, dan beragam nilai plus ada padanya. Bisa dikatakan, Hesti membayangkan seorang Oliver seperti pria-pria idaman di novel yang sering ia baca. Semua orang, dan mungkin Hesti pun, ingin bersanding d...