Chapter 15

1.1K 120 5
                                    

31 Maret 2022

•••

"Udah puas, Mah?" tanya Oliver yang berdiri di belakang kursi roda wanita yang tak berdaya itu, ia kembali melangkah di antara tanah becek menghadap ke depan. Tampak, si wanita yang basah kuyup, bersama tatapan mata sembab, penuh ketakutan dan kesedihan. "Kupikir Mamah ketiduran." Senyum Oliver merekah kecil.

"Ayo kita pulang." Ia lalu mendorong kursi roda itu menuju mobilnya, tanpa peduli basah kuyup yang ada, ia menggendong wanita itu ke bangku penumpang samping pengemudi, sebelum akhirnya melipat kursi rodanya dan meletakkannya ke bagasi mobil. Oliver ke kursi samping sang ibu, mulai menyalakan mesin dan menyetir.

"Punya muka secantik Mamah pasti keren ya, Mah? Bisa gaet lawan jenis dengan mudah pas muda dulu. Aku beruntung punya wajah berkharisma keturunan Mamah, jadi gampang banget bagiku lakuin itu." Oliver tertawa geli, tak peduli lawan bicaranya jelas hanya bisa diam, tetapi sangat ketakutan saat ini. "Andai Kak Oliver di sini, aku penasaran muka Kak Oliver pas dewasa gimana. Aku inget sih ada fitur yang bisa bikin muka dewasa, tapi sayang kita kan gak punya foto masa kecil Kak Oliver, huh ...."

Oliver menggerutu. Ia berbicara banyak hal dengan nada manis ala anak-anaknya, tetapi setiap ungkapannya seakan menyindir, hingga menusuk relung terdalam wanita tua di sampingnya. Cabikan demi cabikan dari tuturan kesengajaan, pria pemilik lidah lihai itu, seperti membunuhnya perlahan tetapi pasti.

Oliver memang ahlinya mempermainkan emosi.

Sesampainya di rumah, para pelayan sigap menghampiri, mereka tentu miris melihat kedatangan sang tuan dan ibunya yang malang itu. Basah kuyup, pucat, menggigil, tetapi tak ada hal yang bisa mereka lakukan selain menolong wanita itu segera atau akan terkena hipotermia, penurunan suhu tiba-tiba pada tubuh, karena terlalu lama di bawah hujan nan dingin. Oliver jelas tak terlalu peduli, ia hanya mengangkat ibunya ke kursi roda dan para pelayan segera mengurus.

Oliver sendiri memilih menuju kamarnya untuk membersihkan diri, mengganti menjadi pakaian santai, sebelum akhirnya menuju ruang makan.

"Mana Mamah?" tanya Oliver, karena ibunya tak ada di tempatnya.

"Mm ... I-Ibu Nyonya demam, Tuan."

"Ouh." Oliver mengangguk paham. "Bawakan saja makanan ke kamarnya."

"Baik, Tuan."

Oliver tersenyum semringah pada sang pelayan, membuat ia sangat dilanda rasa takut saat itu juga. Oliver kemudian makan malam dengan tenang seorang diri sebelum akhirnya melangkah ke kamar sang ibu, tampak wanita itu berbaring di kasur, diselimuti dengan selimut tebal, terbujur tak berdaya seperti biasa, tanda kehidupan hanya ada pada napas yang naik turun di dada.

Selama beberapa saat Oliver menatapi wanita itu, selama itu juga ingatan demi ingatan menyakitkan hadir di kepalanya, membuat Oliver meremas rambutnya kasar.

"Hah ...." Helaan rasa sakit keluar dari mulutnya, ia juga memukul-mukul cukup keras kepalanya sendiri sebelum akhirnya beranjak pergi dari sana menuju kamarnya sendiri. Duduk di tepian dan diam selama beberapa saat dengan tatapan sendu yang kentara.

Lalu kemudian, beberapa pil ia ambil dan tenggak tanpa bantuan air minum, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke kasur. Selama beberapa saat, mata Oliver masih terbuka, bersama ketidakberdayaan dan deru napas yang agak tersengal, matanya mengerjap-ngerjap membiarkan sensasi obat tidur mengambil alih tubuhnya.

Tenang dan rileks ....

Pagi hari menjelang, Hesti dan Izal tampak berjalan berdampingan seperti biasa, entah kenapa saat berpacaran maupun tidak, mereka masih saja bak teman dekat seakan memang sudah dari dulu seperti itu. Berbincang sederhana sambil bercanda tawa berdua.

"BTW, lo mau ke rumah gue, gak? Nemuin Kakak cewek gue? Lo kemarin pengen ketemu dia kan?" tanya Izal, mereka bahkan masih memakai lo gue layaknya seorang sahabat karib.

"Eh, serius?" Hesti tampak antusias. "Abis ini ya?"

"Bukan, besok, kan hari Minggu, ya dia ambil day off hari itu. Kalau hari ini, dia kerja ngojek, tahulah." Hesti mengangguk paham.

"Oke deh, besok ya. Jadi siapa nama kakak angkat lo itu, gue belum tau namanya."

"Kak Renata, panggil aja Kak Nata."

"Sip, Kak Nata ya." Hesti mengingat nama itu. "Gue ... rada menyesal."

"Lah? Kenapa?"

"Lebih empat tahun kita sahabatan, dan gue masih gak banyak tau tentang lo." Hesti sadar betapa bodohnya dia, karena tak banyak tahu soal Izal, hanya dia saja yang selalu curhat ini itu pada Izal tanpa melihat sisi sang pemuda. "Gue gak pernah ke rumah lo, gue gak pernah tahu keluarga lo, gue ... sahabat terburuk ya?"

Izal tertawa. "Gue justru suka itu, sih, Hes. Gue justru suka orang yang fokus pertemanan aja, gak ngorek personal gue, makanya gue nyaman sama lo." Hesti terkejut dan seketika kikuk.

"Ma-maaf ...."

"Gak usah minta maaf, justru gue seneng kok." Izal tersenyum, menatap Hesti intens yang membuat si cewek tersipu. "Sekarang lo itu pacar gue, lo boleh nanya apa aja yang pengen lo tau, gue gak akan masalah soal itu."

Hesti terdiam, entahlah dia khawatir terlalu mengorek kehidupan pribadi Izal yang ternyata memang sengaja ditutupinya.

"Masih takut, ya? Nih gue aja yang kasih tahu." Hesti menatap Izal, tersirat rasa penasaran di sana, dan karena wajah penasaran itu amat lucu Izal mencubitnya gemas.

"Aw, Izal! Ih sakit ih!" Hesti memukul pelan tangan pemuda itu dan Izal hanya tertawa.

Izal entah kenapa lebih ngalus, atau hanya perasaan Hesti saja?

"Gue gak punya keluarga, selain kakak angkat gue, kami ini sama-sama anak panti asuhan." Jantung Hesti mencelus, mendengarnya seketika saja membuat hatinya sakit, siapa sangka Izal yang ia kenal saat ini memiliki masa lalu yang ... begitu menyedihkan kebanding dirinya. "Gue ini bebal, anaknya, jadi gak ada yang mau adopsi gue sama sekali, suka berantem dari kecil, nakal, pokoknya ya ... bebal. Kelakuan gue terlalu menjadi, sampai suatu hari gue ditemuin sama Kak Nata, dia ... yang ternyata berhasil jadi pawang gue."

Hesti masih diam mendengarkan penuturan Izal, meski demikian tangannya bergerak menggenggam tangan pemuda itu.

"Pas gue udah berubah jadi anak baik, mulai banyak yang pengen adopsi gue, tapi jelas gue nolak mentah-mentah, gue gak mau ninggalin Kak Nata yang juga gak ada yang mau adopsi dia. Seingat gue, karena Kak Nata dulu, orang tuanya ada masalah sama hukum karena korupsi, dan nasibnya dihukum mati. Gue bakalan minta ke orang yang adopsi gue, buat adopsi Kak Nata juga, atau kalau mereka gengges ambil gue, gue bakalan nakal lagi. Alhasil, sampai usia kami sama-sama gak lagi muda ...." Izal menggedikan bahu. "Kami terlalu gede buat di panti asuhan, dan bersama bekal seadanya dari panti, kami pun mulai hidup di luar, yah ... beginilah akhirnya. Ekonomi naik turun, roda muter." Kembali, Izal menggedik.

Hesti ternganga mendengar penuturan kisah masa lalu Izal. Betapa kerasnya hidup yang dijalaninya ....

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

PAK DOSEN & RAHASIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang