Chapter 5

3.3K 222 15
                                    

21 Maret 2022

•••

Hesti dan ibunya sampai di tempat arisan dan seperti biasa, ibu-ibu akan melakukan cipika cipiki dan rumpi sana sini, tetapi kali ini ibu-ibu membicarakan satu hal yang kali pertama mereka lihat.

"Aduh, Jeng, itu make kamu sama anak kamu cantiiik banget, Jeng sempet gak saya kenalin lho!" kata salah seorang ibu yang ada di sana.

"Ini make up dari tangan cantik anak saya sendiri lho, Jeng. Cantik kan?"

"Aduh, berbakat banget, Tante mau dong, Sayang."

Dan ya sesuai dugaan, mereka memesan make up dari Hesti. Dan siapa sangka, ibu-ibu dengan gaya hedon serta glamor ini membayarnya dengan lumayan, serta merta make up mereka make up ternama, Hesti dan tangan emasnya berhasil menyulap wajah mereka menjadi lebih muda dan berseri, yang tadi menor pun seketika alami bak bidadari.

Ia bangga dengan hasil karyanya yang dipraktikan begini.

Meski, harus memaksakan senyum karena jelas, ibu-ibu, pasti akan menyebut hal yang sama sekali tak membuat nyaman Hesti.

"Jeng, mau gak anaknya kalau saya kenalin sama anak saya."

Tuhkan, meski ibunya sudah berusaha menghindari hal itu, tapi tetap saja pasti kena colek juga. Sang mama menatap Hesti dengan rasa bersalah dan Hesti hanya bisa memaksakan senyum.

Yah, dia harus sabar, kan mereka kliennya.

"Eh, Ma, aku keluar sebentar ya." Hesti berdiri, menuju keluar meninggalkan percakapan para ibu-ibu yang membuat telinganya terus dikelitiki sedemikian rupa.

Jodoh, pacar, cogan, dahlah males.

Sekarang, Hesti membuka ponselnya yang sudah lama dalam keadaan mati karena tak langsung ia nyalakan saat charger, maksudnya menghubungi seorang Izal, teman karib paling akrabnya tetapi pop up utama di sana mengagetkan Hesti.

"Pak ... Pak Oliver?" katanya terkejut. "Gimana dia tau nomor gue? Siapa yang ngasih?"

Sebenarnya banyak sih yang bisa jadi kemungkinan seseorang memberikan nomornya pada Pak Oliver, tapi tetap saja ia terkejut. Bagaimana tidak? Dia tak seharusnya punya nomor dia yang notabenenya bukan dosennya, Hesti dan Pak Oliver tak ada hubungannya sama sekali, hanya tragedi kemarin yang mendekatkan mereka.

"Sok care luh! Janc**!" Hesti mendengkus sebal seraya membalas pesan itu, ramah tamah.

"Maaf baru balas, Pak. Tadi hape saya low baterai."

"Gak papa, kok, Pak. Tolong jangan kasih tahu siapa-siapa, ya." Hesti memohon akan hal ini.

Dan siapa sangka, secepat kilat sudah ada tanda mengetik di sana, memang Pak Oliver tengah online tapi bisa secepat itu ngeri juga.

"Tak apa, Hesti."

"Syukurlah kalau begitu."

Hesti membalas dengan stiker sok ramah saja setelahnya, maksudnya agar chat mereka berakhir, tetapi siapa sangka Pak Oliver membalasnya dengan stiker juga.

Hesti tak suka orang lain menutup percakapan chat itu, ia merasa tak enak hati saja jika chat orang yang menjadi pengakhirnya, apalagi ini seorang dosen, jadi ia membalas lagi dengan stiker baru.

"Lah?!" Siapa sangka, Pak Oliver membalas lagi.

Apa Pak Oliver tipe orang sepertinya ya?!

Dongkol dengan sikap itu, Hesti pun memilih bodoh amat saja, tetapi seperdetik kemudian ada balasan dari Pak Oliver lagi.

PAK DOSEN & RAHASIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang