4 April 2022
•••
"Pak Oliver!" Izal tiba-tiba menghampiri pria yang tengah berjalan santai di koridor entah akan ke mana, Oliver spontan menoleh pada pemuda yang memanggilnya.
Wajah Izal terlihat sangat serius, Oliver jadi bertanya-tanya, tetapi pria itu tersenyum ramah saja padanya, ia tebak pasti ada hubungannya dengan Hesti.
"Ada apa, Zal?" tanya Oliver. Apa pemuda ini akan mengutarakan kecemburuannya? Oliver tahu persis, dari segi mana pun, gampang buatnya merebut Hesti.
"Pak, boleh kita bicara sebentar?" Izal menatap sekitaran, pasti ingin empat mata sepertinya.
"Sure, silakan."
"Bukan di sini, Pak. Boleh kita cari tempat yang lebih nyaman?" Permintaan Izal semakin serius, tetapi Oliver mengangguk setuju, kini mereka pun menuju ke kafetaria, duduk berseberangan saja.
"Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan, Izal? Sepertinya serius? Apa soal Hesti?" tanya langsung Oliver, terlihat kesantaian di wajahnya. "Saya tidak ada hubungan apa-apa sama dia, Izal--"
"Iya, ini soal Hesti. Tapi bukan perihal itu yang saya ingin katakan." Izal memutus ungkapan Oliver, membuat Oliver mengerutkan kening, apa soal masa lalunya?
Ah, pasti, kan memang sudah diberitahu kelihatannya.
"Tolong, Pak, saya meminta, tolong jauhi Hesti, dan keluarganya ...." Oliver terkejut dengan ungkapan itu, meski keterkejutan yang terlihat main-main.
"Kenapa kamu bilang begitu, Izal? Apa rasa cemburu kamu segitunya? Dewasalah, Nak." Ada nada menyindir di sana, meski wajah Oliver mengiba, Izal bisa merasakan ejekan dari sikap itu.
"Bukan, Pak. Saya sama sekali enggak cemburu. Tapi saya ngasih peringatan ini karena saya tahu bagaimana Bapak di masa lalu." Ah, jelas sekali. "Bapak ... Bapak enggak waras."
Wajah Oliver kemudian menyedih, tetapi ada akting mengejek di sana, andai Hesti di sini pasti bisa Izal jadikan bukti kalau dosennya ini memang terindikasi tidak waras.
"Hesti ngasih tahu kamu saya di masa lalu? Tapi saya sudah berusaha berubah, saya mau memperbaiki masa lalu buruk itu. Saya janji gak akan menyentuh Hesti, keluarganya, selebih itu. Apalagi sampai merebutnya dari kamu, tidak." Betapa halusnya nada suara Oliver, tetapi Izal menahan diri untuk tidak menonjok pria penuh drama ini.
"Iya, itu memang tentang itu, tapi dari sudut pandang orang lain. Bapak yang suka disiksa para PSK, demi mengingat Mamah Bapak, alasan aneh itu ...."
Mata Oliver membulat sempurna, dan Izal merasa ia sudah menang telak sekarang.
"Lebih baik, Bapak jauhi keluarga Hesti, dan mulai berobat aja, saya khawatir kegilaan Bapak malah menjadi dan bikin mereka semua dalam bahaya. Dan jika itu beneran terjadi, saya yang akan turun tangan untuk menghentikan Bapak." Izal mengecam, dan Oliver masih terdiam dengan wajah terkejutnya.
Walau seperdetik kemudian, Oliver menghela napas. "Kamu tahu? Dari mana?"
"Dari seseorang yang ada di masa lalu Bapak saat itu, saya hanya mengancam Bapak saat ini, saya tahu gak banyak bukti, tapi ... ini peringatan saya."
Oliver kembali menghela napas, ia membuka rompi biru yang melapisi dalaman jas kekuningannya. Ada kantong di sampingnya dan dikeluarkannya sesuatu di sana, ada beberapa kotak obat kecil di sana yang ia perlihatkan ke Izal.
"Saya sudah berobat, kalau kamu mau tahu." Oliver terlihat sendu, tatapan matanya begitu menyedihkan hingga Izal tak bisa melihat aktingnya lagi. Kenyataan? Atau akting yang terlalu ... bagus? "Saya tahu dosa saya di masa lalu, iya saya gila Zal, terima kasih sudah mengingatkan saya. Saya sudah berobat, dan meski belum sepenuhnya normal, saya sudah berusaha memperbaiki diri saya. Masa lalu saya memang bejat, gila, buruk, tapi apa tak ada kesempatan bagi orang gila seperti saya untuk hal apa pun?"
Izal terdiam, bukan Oliver yang kalah telak sekarang, malah Izal yang merasakannya, ia merasa bersalah.
Kenapa ... ekspresi kepedihan di wajah itu terlihat nyata?
"Saya korban ibu saya yang PSK dan suka nyiksa saya, trauma berat ini ... itu sakit, saya ...." Mata Oliver berkaca-kaca. "Sakit ...."
Izal semakin merasa bersalah, tenggorokannya juga ikut sakit. Ya Tuhan, dosa apa yang baru saja ia lakukan karena kelalaiannya ini?
"Tapi saya sadar, sakit mental ini, gak seharusnya jadi alasan saya menyakiti orang lain. Saya sadar, Zal, saya sadar. Itu kenapa saya pegang teguh ke diri saya sendiri, saya bilang ke diri saya sendiri: Oliver, kamu jahat, sakit mentalmu tak seharusnya jadi alasan kamu menyakiti orang lain, sudah saatnya dirimu sembuh, Oliver. Saya ingin sembuh."
Hening, di antara mereka terjadi keheningan pasti yang benar-benar mencanggungkan, Izal memegang dadanya yang sakit, rasa bersalah terhadap Oliver menyinggahi rongga dadanya.
Ia merasa lebih jahat kebanding masa lalu pria ini.
"Pak ... saya mohon maaf atas kelancangan saya tadi." Dan akhirnya, Izal bersuara dengan nada gemetar. "Saya ...."
"Saya mengerti, saya memang masih terbilang berbahaya, kalau sisi lain saya lepas. Demi keselamatan Hesti, keluarganya, saya mengerti kegelisahan pria seperti kamu, Zal. Saya tahu kamu sayang banget sama Hesti." Oliver tersenyum hangat, menyeka sisa-sisa air matanya. "Jadi sesuai permintaan kamu, saya akan menjauhi Hesti, mungkin benar itu pilihan lebih baik, kebanding maksa diri memperbaiki semuanya. Tolong jaga dia dan keluarga ya, Zal. Saya percaya sama kamu."
"Pak, tidak ...." Izal menghentikan Oliver yang siap berdiri. "Bukan, saya yang salah, sok tahu perihal Bapak dan jahat bilang hal itu. Jangan, Pak, jangan. Saya ... yang harusnya minta maaf. Bapak memang berhak memperbaiki masa lalu Bapak, saya yang salah, Pak. Saya. Saya mohon jangan menyerah, saya khilaf dengan ucapan saya, Pak." Izal memohon, ia bahkan bangkit dari kursinya dan menunduk memohon ke hadapan Oliver. "Pak, saya mohon maaf sekali lagi, maaf!"
"Izal, ja-jangan begini, angkat kepala kamu, Nak." Oliver memegang kedua bahu Izal.
"Enggak, Pak. Saya harus memohon, karena saya salah, dan sepantasnya juga, saya pun dihukum ...."
Oliver menggeleng, ia menatap sekitaran dan melihat pasang mata menatapnya, ia segera mengangkat badan Izal agar tegap kembali.
"Maafkan saya, Pak ...."
Oliver tersenyum. "Enggak, sudah saya gak papa. Kamu gak perlu minta maaf, justru saya harus berterima kasih sama kamu, tanpa kamu saya mungkin gak akan sadar soal diri saya sendiri." Ia menatap lekat mata Izal.
"Pak, kita ... jaga Hesti sama-sama." Izal meminta, penuh permohonan.
Oliver terdiam selama beberapa saat melihat wajah penuh permohonan itu, sebelum akhirnya ia mengangguk.
"Baik, kamu bisa percaya sama saya, dan kalau saya melakukan hal yang ... gila. Tolong, hentikan saya, kalau perlu kamu tonjok saya, agar saya sadar, Nak."
Keduanya saling melemparkan senyuman hangat.
"Oh, astaga, saya ada kelas setelah ini. Maaf, saya buru-buru!"
"Eh, astaga, maaf sekali lagi, Pak."
"Gak papa, saya duluan." Oliver tertawa dan mulai berlari menjauh meninggalkan Izal.
Saat Izal tak melihatnya, senyuman Oliver mengembang dengan siratan kejam serta penuh kemenangan di sana.
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
![](https://img.wattpad.com/cover/304767448-288-k203486.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
PAK DOSEN & RAHASIA
Romance18+ Oliver Haribowo itu dosen idola, ganteng, cerdas, dan beragam nilai plus ada padanya. Bisa dikatakan, Hesti membayangkan seorang Oliver seperti pria-pria idaman di novel yang sering ia baca. Semua orang, dan mungkin Hesti pun, ingin bersanding d...