Chapter 14

1.3K 122 16
                                    

30 Maret 2022


•••

Oliver tak ke kampus, pria itu memilih berhenti di kafetaria baru sambil memesan Americano panas, ia tampak duduk santai sendirian di dekat jendela, memandangi hujan sambil sesekali menyesap kopinya. Helaan napas panjang sang pria keluarkan dengan tenang.

Lalu matanya menangkap, sepasang insan di bawah payung yang mulai melangkah ke sini. Senyum Oliver merekah kecil mengetahui siapa mereka berdua.

"Pacaran," kata pria itu bergumam.

Lalu saat di depan pintu yang ada, keduanya tampak berhenti, keduanya terlihat berbincang sejenak dan entah kenapa, laki-laki itu kembali lagi menerobos derasnya hujan meninggalkan si perempuan yang sejenak memandangi sebelum akhirnya memilih masuk ke kafetaria.

"Hesti," panggil Oliver ketika perempuan itu memasuki pintu kafetaria, dan terlihat Hesti menoleh dengan wajah agak kagetnya. "Bareng Izal ke sini? Duduk aja di sini!" Oliver menunjuk seberang mejanya.

Hesti agak kikuk, tetapi menurut dan menghampiri Oliver di sana. "Duduklah, sebentar lagi saya juga selesai, saya gak akan ganggu kalian kok. Saya hanya ingin ngomong sebentar sama kamu."

Mendengar itu, Hesti terlihat kaget kembali, siapa sangka Oliver menjaga perasaan pacarnya itu.

"Iya, Pak. Baik." Hesti tersenyum hangat, dan Oliver bisa merasakan ada keraguan di sana, ah ... ia sudah menebak pastilah sebagus apa pun aktingnya, ia akan tetap diragukan, ini kurang maksimal saja.

"Izal kenapa tadi balik lagi?" tanya Oliver berbasa basi.

"Ouh, kunci dia ketinggalan." Oliver mengangguk paham. "Jadi, Bapak mau bicara apa?" Hesti tampaknya suka to the point.

"Kamu tidak memesan dulu?" Oliver mengulur waktu, sengaja membuat emosi insan di hadapannya.

"Nanti saja, Pak, nunggu Izal." Hesti tersenyum hangat, sepertinya sudah cukup sabar.

"Mm ... Nak, saya mohon maaf sama kamu, secara personal, perihal pagi tadi. Apa pun yang mereka katakan tentang kamu, itu jelas tidak benar, dan saya sudah minta sama mereka untuk meminta maaf sama kamu. Apa mereka melakukannya?" Hesti terdiam mendengarnya. "Belum?"

Hesti menatap sang dosen sekali lagi, dan dengan berat hati menggeleng, Oliver menghela napas gusar seraya mengenyampingkan Americano-nya.

"Mungkin sudah saatnya ...." Mendengar penuturan Oliver, Hesti menatap si pria dengan tanda tanya.

"Saatnya apa, Pak?"

"Saya mengundurkan diri dari kampus, karena sudah gagal menjadi dosen."

Mata Hesti membulat sempurna. "Pak, ja-jangan begitu ...." Hesti menahan pria itu, Oliver bisa merasakan keibaan di sana, simpati inilah yang Oliver tunggu dari tadi. "Bukan salah Bapak, jika sikap mereka begitu, mereka mungkin udah dari dulu begitu."

"Tapi saya ada andil di sana, Hesti. Saya sadar, sudah saatnya orang gagal seperti saya menyerah, dan mungkin ... ini karma atas keburukan saya di masa lalu." Oliver menyesap Americano-nya.

"Enggak, Pak. Bagi saya, itu semua aksi yang mereka lakukan sendiri, Bapak gak salah sama sekali, bahkan gak seharusnya juga Bapak minta maaf secara personal ke saya karena mereka yang salah, bukan Bapak, menurut saya justru Bapak dosen yang sangat baik." Ada nada ketulusan dan kejujuran di sana, Oliver tersenyum miris. "Tolong pikirkanlah keputusan Bapak sekali lagi, dibandingkan salah satu kesalahan ini, bukankah lebih banyak yang membutuhkan Bapak?"

Diam, kini hanya keheningan di antara mereka, deru hujan pun terlihat sudah perlahan menghilang dan tersisa aroma petrikor menenangkan jiwa.

"Kamu benar, mungkin saya terlalu cepat menyerah, kabur dari masalah kadang bukan pilihan terbaik." Hesti tersenyum hangat mendengarnya. "Saya akan memikirkan pilihan saya kembali."

"Syukur deh kalau begitu, Pak." Keduanya saling bersitatap dan melemparkan senyuman.

"Terima kasih banyak ya ...." Oliver menggenggam tangan Hesti yang ada di atas meja, membuat Hesti terkesiap pelan. "Terima kasih banyak, Hesti."

Kedua pipi Hesti memerah karena dipegangi demikian, sambil intens menatap Oliver yang tersenyum manis padanya. Rumor itu benar, Oliver punya tatapan terlembut yang pernah ia lihat, wajah tampan berseri yang selalu mencetak senyuman, serta merta sentuhan apa ini?

Tidak ayal kenapa banyak mahasiswi yang menggilainya, pesonanya memang kelewatan.

"Ah, maaf, saya tidak bermaksud." Oliver segera menarik tangannya dari Hesti yang sadar dari terpesona itu, ia segera merutuki diri dan berusaha mengingat sudah memiliki pacar, Izal, yang juga tak kalah tampan dan baik.

Ah, segi ketampanan, memang sepertinya Izal masih belum unggul.

"Eng-enggak papa, Pak." Hesti tersenyum kikuk, tak ingin menatap mata cokelat mempesona itu terlalu jauh. "Semangat!"

"Saya permisi dulu, ya, Hesti. Semoga date-nya lancar." Sambil membawa Americano-nya yang memang berada di gelas sekali pakai, Oliver berdiri.

"Iya, Pak. Hati-hati!" Hesti menjawab dan kini memandang kepergian Oliver selama beberapa saat, hingga menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari dirinya.

Hesti mengusap dada. "Gila, pantes banyak yang kegila-gila sama dia, sadar Hes sadar!" Ingat kata Izal, sebaik apa pun, tetap harus ada batasan.

Hesti lalu melihat Izal yang datang, kali ini tanpa payung dan segera melesat masuk ke kafetaria.

"Zal!" Izal menoleh ke sumber suara dan menemukan Hesti duduk di dekat jendela. Izal tersenyum seraya menghampirinya dan duduk di seberangnya.

"Lama nunggu gue?"

"Enggak kok, Pak."

"Eh?" Izal bingung. "Pak?"

"Eh, maaf, typo." Hesti memukul mulutnya yang asal jeblak, rasanya kini Oliver terngiang di kepala, tetapi segera Hesti mengisinya kembali dengan Izal, Izal, dan Izal di sana. "Kebiasaan sama dosen."

"Lah? Bisa gitu?" Izal meski terheran, tetap berusaha santai dan tertawa. "Tadi ... Pak Oliver ya, yang keluar tadi? Lo ada bincang sesuatu sama dia?"

Hesti sejenak diam, tetapi setelahnya ia mengangguk mengakui. "Dia cuman mau minta maaf aja sih, itu aja."

"Lo maafin?"

"Bukan salah dia, jadi apa yang perlu dimaafin?" Hesti menggedikan bahu. "BTW, udah nih pesen yuk, gue laper, katanya di sini ada menu mie instan juga ya? Mau rasa sambel rica-rica!"

"Hm oke oke ...." Meski ada keraguan soal pacarnya itu, Izal tetap setia dan menuruti kemauan Hesti. Kini mereka pun mulai memesan apa yang mereka mau.

"Mochachino, dan Hes, mau apa?" tanya Izal, pada kekasihnya itu.

"Mm Americano?" Hesti menjawab dengan agak ragu-ragu, ia seakan mengingat kopi yang sempat Oliver pesan.

"Lah? Itu pait, Hes. Lo gak suka pait, kan? Mending mocha aja lo."

"Gak masalah, gue mau nyoba-nyoba aja."

"Ya udah, serah lo deh." Izal pasrah dan menuruti permintaan Hesti untuk memesan Americano.

Dan Izal harusnya tahu, akan berakhir dengan penyesalanlah pilihannya, dikarenakan Hesti yang setelah sekali sesap merasakan Americano-nya ....

"Astaga, pait!" Hesti menggerutu. "Zal ...." Ia menatap Izal yang seketika terhenti saat ingin makan mienya.

Hesti cemberut dan sudah bisa ditebak, ia kemudian meminta tukar pada Izal.

Izal hanya bisa pasrah sebagai bucin Hesti, menerima pertukaran itu dengan lapang dada, meski syukurlah otaknya bergerak meminta penambahan susu serta gula di sana. Tak terlalu nista-nista amat.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

PAK DOSEN & RAHASIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang