Chapter 13

1.8K 137 18
                                    

29 Maret 2022

•••

"Lo boleh, ngasih kesempatan ke Pak Oliver soal itu, tapi lo tetap harus waspada, karena apa? Lo harus belajar dari masa lalu. Lo gak boleh terlalu polos, terlalu lugu, lo harus perhatiin bener-bener keselamatan lo sendiri dengan keputusan itu. Ngerti?"

Hesti ingat, ah itu, ia rasa Izal memang ada benarnya. "Iya, Zal. Gue bakalan lakuin itu, makasih udah ngingetin gue."

"Udah tugas gue sebagai pacar lo." Kedua pipi Hesti tiba-tiba memerah karena ungkapan gamblang itu, malu-malu.

"Duh, Zal, geli gue lo nyebut gitu!" Keduanya tertawa.

Lalu, tawa Izal berhenti. "Lo tahu, Hes. Psikopat kadang pinter ngedrama, mainin perasaan orang, dan orang-orang berhati lemah kek elo, sasaran empuknya."

Hesti terdiam karena ungkapan pacarnya itu.

Sementara itu di satu sisi, Oliver terlihat menuju mobilnya ketika tiba-tiba para mahasiswinya menghampiri bersama beberapa bingkisan di tangan.

"Pak, kami mau minta maaf ke Bapak! Maafin kami ya, Pak, udah lakuin hal buruk tadi!" Ya, pasti tentang tadi.

Oliver tersenyum hangat. "Minta maaflah pada yang bersangkutan, bukan saya, kalian enggak ada salah sama saya."

"Tapi, Pak--"

Oliver memutus. "Sudah ya, saya mau jemput Mamah saya, dia pasti nunggu lama. Bapak permisi dulu, Nak." Oliver menolak, pria itu masuk ke mobilnya dan menjalankannya tanpa mempedulikan mereka semua.

Ditatapnya dirinya sendiri di cermin, ada seulas senyum bengis di sana.

"Memancing dengan jala memang lebih mudah." Oliver bergumam, pria itu terus menjalankan mobilnya hingga sampai di pemakaman.

Oliver turun dari mobil dan melangkah menuju ke salah satu makam, makam kakaknya, dan di sana tampak seorang wanita tak berdaya duduk di kursi roda tepat menghadap makam itu.

"Mah, aku dateng, gimana udah puas mandangin makam Kakak?" tanya Oliver, berdiri di samping wanita itu sambil mengusap-usap pipinya, ada sisa air kering di sana yang kemungkinan ... adalah air mata.

Seperdetik kemudian, menetes lagi air di pelupuk bekerut itu.

"Mamah, jangan sedih ya, Kak Oliver udah tenang di sana, kan ada Oliver aku." Oliver menunjuk dirinya sendiri. "Sayang gak ujan ya, Mah. Kalau ujan, pasti mendukung banget sama suasana berkabung ini, ya kan Mah?"

Senyum Oliver melebar, disertai tawa kecil tergelitik.

"Mah, udah yuk pulang!" ajak Oliver, tetapi tentu tak ada sahutan, namun .... "Oh masih mau tinggal, ya? Oke, Mah. Nikmatilah sisa waktu indahnya ya, Mah. Kak Oliver pasti suka banget Mamah temenin. Mamah wanita yang hebat deh, ibu yang hebat, nemenin anaknya yang menderita sendirian di sini. Gak kayak aku, huuh pengen nemenin juga tapi aku harus kerja jadi dosen profesional. Aku pergi dulu ya, Mah. Nanti sore kujemput lagi, jangan lupa kabari aku biar inget."

Oliver mendekatkan bibirnya ke telinga wanita itu. "Menyenangkan, bukan?" bisiknya dengan nada penuh penekanan.

Setelahnya, Oliver tersenyum lagi, ia lalu menatap langit-langit.

"Mendung, tapi panas, mungkin sebentar lagi hujan. Hah ... aku inget pas hujan, keluar sama Kakak, ketika anak-anak seusia kami main, kami malah jadi pengemis jalanan cuman buat sesuap nasi."

Setelah mengatakan itu, Oliver pun berjalan menjauh, ia menuju mobilnya lagi dan menjalankannya menuju kampus. Di pertengahan jalan, sesuai prediksi, hujan turun saat itu juga.

Oliver tertawa geli, tawa penuh kepuasan seakan ia sudah melakukan sesuatu yang sangat menyenangkan baginya.

Dan wanita malang di makam itu, tak bisa bergerak di atas kursi roda, hujan deras memukuli tubuh rentanya bertubi-tubi tanpa ampun, tersembunyi tangis dan rintihan pelan rasa sakit di sana. Namun rasa sakit luar biasa, jelas ada pada hatinya, karena sudah menciptakan monster paling mengerikan di kehidupannya.

Ingatan kilas balik hadir di kepala, masa lalu itu, ketika makam di sini masih berupa tanah baru, dan tak sesepi ini. Ia ada di sana, wanita cantik dengan pakaian jingga dan tangan terborgol, dijaga beberapa polisi dan memandangi bagaimana proses dimakamkannya sang putra. Kesedihan terpancar di setiap orang, pula kebencian yang telak tertuju padanya.

Wajah wanita itu penuh penyesalan, sangat menyesal, tetapi apa daya, semua sudah terlambat.

Lalu, mata wanita itu menangkap ke arah anaknya yang lain, anaknya yang ia pikir akan menangis tersedu sedan, malah diam membeku seraya memandangi tanah basah itu. Ia memandanginya saja, tanpa ekspresi, sambil digandeng sepasang suami istri yang saat ini menjadi hak asuh bocah tampan itu.

Ia sudah bisa merasakan, sesuatu tak beres di matanya ....

Kemudian mata besar nan polos itu teralih, anak kecil itu ternyata sadar ditatap, dan ia pun mengalihkan pandangannya ke wanita itu. Tatapan kosong yang menakutkan. Pasti dikarenakan terpukul dengan kejadian yang baru saja menimpa kakaknya tercinta.

Namun, secara tiba-tiba, senyum anak kecil itu merekah, senyuman yang manis, seharusnya, tetapi di satu sisi ada sebuah teror di sana. "Mamah ...." Wanita itu terkesiap, ia tak mendengar suaranya, tetapi dari gerak mulutnya jelas memanggilnya.

Meski dipanggil begitu, ada nada mencekam di sana. Nada yang penuh kebencian dan dendam kesumat yang kentara.

Kedua orang tua asuh itu sadar dengan keberadaan si wanita yang disadari anak adopsi mereka, sekilas menatap sinis sang wanita sebelum akhirnya membawanya pergi.

Itu terakhir kalinya ia bertemu dengan anak itu, yang jelas ia harapkan tak akan pernah bertemu lagi, palu diketuk di meja hijau, hukumannya adalah seumur hidup penjara, bertahun-tahun di sana hingga di usia yang tak lagi muda, menderita sakit cukup parah hingga akhirnya lumpuh dan stroke, ia pikir ia akan mati di penjara dengan dikenang sebagai wanita pembunuh anaknya, karma terberat.

Lalu suatu hari, dia datang menjemputnya ....

"Mamah, Oliver pulang." Ia pikir mendengar suara itu, anaknya yang tewaslah menjemputnya, tetapi saat datang ternyata keadaannya masih bisa bernapas.

Ia masih hidup, bukan di alam baka.

"Mamah, masih ingat aku? Adek? Mamah gak pernah ngasih aku nama jadi ... aku make nama Kak Oliver aja." Sosok itu menghadapnya, ia seorang pria yang begitu tampan berseri, rapi dengan jas dan terlihat sangat ramah.

Dia ... anak keduanya?

Di senyuman itu, ia bisa melihat, kebencian dan dendam yang begitu lekat. Sama seperti di masa lalu. Penuh teror, mencekam, dan saat ini ... dengan keadaan seperti ini ....

Terkadang ia lebih memilih dimatikan saja di penjara ....

"Akhirnya, Mah, kita ketemu lagi, udah lama banget, ya, Mah? Mamah bisa bebas, yeay. Mamah seneng gak?"

Tidak ....

Siapa pun, selamatkan dirinya, rasanya ia ingin berteriak sekencang mungkin mengatakan hal ini, anaknya adalah monster, dia monster! Ia sudah membuat monster ... lebih baik mereka membawanya ke penjara untuk meneruskan hukuman, kebanding terbebas tetapi dikekang kengerian itu.

Kengerian bersama monster yang ia buat sendiri.

Namun terkadang, ia sadar ... karma's a b*tch.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

PAK DOSEN & RAHASIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang