Rani terbangun perlahan, merasa kepala sedikit berat, sementara dengung halus mesin pesawat mengisi udara di sekitarnya. Matanya mengerjap, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya yang menyelinap dari jendela di sebelahnya. Suasana kabin terasa tenang, namun hati Rani penuh dengan keheningan yang mencekam. Ia mendapati dirinya berada di dalam pesawat dengan satu koper di ruang bagasi, barang satu-satunya yang ia bawa ketika memutuskan untuk pergi sejauh ini.
Ia menunduk dan menghela napas panjang, mengingat keputusan yang pernah ia ambil ketika meninggalkan rumah untuk pertama kali. Satu koper, pikirnya, dengan setumpuk beban yang lebih berat dari apapun yang bisa ia bawa. Tidak ada perpisahan yang layak. Tidak ada salam terakhir untuk Cindy, sahabat terbaiknya. Rani tak sanggup memberi tahu Cindy tentang kepergiannya yang mendadak. Bayangan wajah sahabatnya itu menghantui setiap mimpi buruknya, membuat hatinya terasa semakin remuk.
Namun, bukan hanya Cindy yang ia tinggalkan tanpa kabar. Ada juga sosok lain yang membuat hatinya pedih—sosok lelaki sialan yang membuat hidupnya terjerumus dalam kekacauan ini. Rani mengepalkan tangannya erat, amarah yang selama ini ia coba tekan kembali muncul ke permukaan. Dia tak pernah bisa melupakan bagaimana lelaki itu, dengan senyum manipulatifnya, berhasil memporak-porandakan dunianya.
Dia berhak tahu di mana aku sekarang, pikirnya dengan getir. Dia berhak tahu bahwa aku lari sejauh ini karena dia. Tapi, dia tidak akan pernah tahu. Bahkan, aku tidak sempat menamparnya.
Amarah bercampur kepedihan membanjiri dirinya. Setiap ingatan tentang pria itu terasa seperti duri yang menyusup di jantungnya, menyakitkan dan sulit ditarik keluar. Jika saja aku punya keberanian saat itu, aku pasti sudah menghancurkan egonya seperti dia menghancurkan hidupku, gumamnya dalam hati, sambil menggigit bibir bawahnya dengan getir. Namun, pada saat itu, yang bisa ia lakukan hanyalah melarikan diri.
Tiba-tiba, tangan Rani mulai gemetar tanpa kendali. Perasaan yang meluap-luap terlalu besar untuk ditahannya sendirian. Tangannya gemetar semakin hebat, menyebabkan sendok kecil yang ada di meja lipat di depannya bergetar, menarik perhatian penumpang di sebelahnya—seorang wanita paruh baya yang selama ini terdiam di kursinya.
Wanita itu menoleh dengan tatapan khawatir. "Are you okay?" tanyanya lembut, suaranya penuh perhatian. Pertanyaan sederhana itu langsung menyadarkan Rani dari lamunannya.
Rani terkejut, mengerjap beberapa kali, sebelum menyadari bahwa ia sebenarnya baru saja terbangun dari tidur yang lain—tidur yang lebih panjang dan melelahkan.Nyatanya, ia tidak sedang berada dalam perjalanan pertama ke desa. Sekarang, ia berada di dalam pesawat yang sama, tapi kali ini dalam perjalanan pulang ke kota, setelah berjam-jam menempuh perjalanan panjang dari desa ke bandara.
Rani mengatur napasnya yang sempat berantakan, menundukkan kepala sejenak, menyembunyikan ekspresi canggungnya. "Saya... saya baik-baik saja," jawabnya dengan suara yang bergetar, meskipun ia tahu bahwa dalam hatinya, semuanya masih jauh dari baik. Rani muak harus mengalami ini terus menerus.
Rani duduk di kursinya, meringkuk sedikit sambil menatap keluar jendela pesawat. Langit di luar begitu cerah, tapi dalam pikirannya, badai tak henti-hentinya berputar. Ia merasa resah—tidak hanya karena perjalanannya yang panjang, tapi karena beban mental yang terus menekan tanpa ampun. Ada rasa sesak yang sulit dijelaskan, seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya dan menolak untuk pergi.
Pikirannya selalu kembali ke masa lalu, kepingan demi kepingan kejadian yang terus menghantuinya. Rani sering bertanya-tanya, kenapa ia begitu sering memimpikan hal-hal itu, seolah-olah masa lalu tidak pernah benar-benar selesai. Setiap tidur terasa seperti perjalanan kembali ke trauma lama yang tidak pernah sembuh. Apa ini pertanda ada sesuatu yang belum ia selesaikan? Atau sekadar cerminan betapa rusaknya mentalnya saat ini?
Yang paling mengusik adalah ingatannya tentang seorang mahasiswa KKN yang ia lihat tempo hari. Semuanya bermula dari sana. Pandangan sekilas itu telah memicu sesuatu dalam dirinya, memunculkan kembali luka lama yang selama ini berusaha ia kubur dalam-dalam. Mahasiswa itu, dengan pakaian rapi dan wajah penuh harapan, mengingatkan Rani pada dirinya yang dulu, saat ia masih berada di kehidupan yang "gemerlap." Kehidupan yang ia sebut sebagai yang terbaik—sebelum semuanya runtuh.
Hanya karena anak-anak itu berasal dari kota, dari tempat yang pernah ia sebut rumah, tempat ia bermimpi dan merasa hidup, sekarang semuanya terasa salah. Ketika ia melihatnya, sesuatu di dalam dirinya terasa seperti retak. Itulah yang akhirnya membuat tubuhnya jatuh sakit, demam selama seminggu penuh—sungguh dramatis, seolah tubuhnya memberontak terhadap semua rasa sakit yang selama ini tertahan. Mahasiswa itu hanyalah sedikit retakan bayangan dari masa lalunya yang ia coba hindari, namun entah bagaimana, itu tetap datang menghantui, ayolah hanya karena ia takut dikenali, ia jadi berakhir di tempat ini.
Di antara rasa gelisah itu, muncul kesadaran baru. Mungkin, pikirnya dengan getir, aku butuh psikolog. Mungkin, ini bukan sesuatu yang bisa kuselesaikan sendiri. Tapi bagaimana jika aku tidak bisa diatasi? Bagaimana jika luka ini sudah terlalu dalam? Pikiran itu membuat dadanya semakin berat.
Namun, di tengah kekacauan pikiran itu, ada satu hal yang masih memberinya sedikit rasa syukur. Bu Sri. Wanita tua itu telah merawatnya saat ia sakit, memasakkan makanan setiap hari, dan menemani malam-malam sepi dengan sinetron. Bu Sri menjadi satu-satunya penawar dalam minggu penuh demam dan kegalauan yang ia alami. Jika bukan karena Bu Sri, mungkin Rani sudah menyerah lebih awal. "Untung ada Bu Sri," gumamnya dalam hati, merasakan sejumput rasa hangat di tengah kedinginan pikirannya.
Rani duduk merenung di kursinya, mendadak ingat bagaimana ayahnya tiba-tiba mentransferkan uang kepadanya dua hari setelah mereka berbicara di telepon. Jumlahnya tidak main-main, puluhan juta. Sebuah angka yang membuat Rani bingung, apakah ia harus merasa beruntung atau malah tersentuh karena itu mungkin tanda bahwa ayahnya merindukannya. Terlalu banyak perasaan yang berkecamuk dalam benaknya saat itu.
Sejujurnya, setelah tinggal begitu lama di desa, uang sebesar itu terasa asing baginya. Rani tertawa dalam hati, menyebut dirinya "ndeso." Kehidupan sederhana di desa telah membuatnya kehilangan hubungan dengan kemewahan. Sekarang, uang puluhan juta itu seperti sesuatu yang tidak relevan dalam kehidupannya. Bahkan, ia sempat memberikan sebagian uang itu pada Bu Sri sebagai tanda terima kasih karena sudah begitu baik merawatnya selama sakit.
Rani teringat bagaimana ia menjadi "kembang desa" selama tinggal di sana. Bukannya karena ia ingin menjadi pusat perhatian, tapi ada satu-dua lelaki yang mencoba mendekatinya, bahkan ada yang dengan berani datang melamarnya. Itu membuat Rani tersenyum kecut. Padahal, di desa itu ia tak punya siapa-siapa, hanya Bu Sri yang menjadi pelindung setia, menjaga agar tak ada yang berlaku kurang ajar padanya setelah ia menolak lamaran itu. "Untung saja ada Bu Sri," gumam Rani pelan. Wanita tua itu tak hanya merawatnya saat sakit, tapi juga memastikan semua orang di desa menghormatinya.
Tiba-tiba, Rani merasakan dorongan rindu yang kuat pada desa dan kehidupannya di sana. Rumahnya yang kecil dan sederhana, jalan-jalan sempit yang ia lalui setiap hari, hingga senyuman hangat tetangga yang selalu menyapa. Jika bukan karena Cindy, sahabatnya yang menjadi alasan ia kembali, dan sedikit niat dalam hatinya untuk memperbaiki masa lalunya yang runyam, mungkin ia tak akan seberani ini. Ia tahu, di balik perjalanan ini, ada sesuatu yang harus ia selesaikan—hubungan dengan ayah dan ibunya yang sempat memburuk.
Rani melirik jam tangannya, waktu terasa melambat di dalam pesawat. Pikirannya berputar, mencoba merancang langkah selanjutnya begitu ia tiba. Kopi mungkin bisa sedikit menenangkan, pikirnya. Ada dorongan kuat untuk memesan secangkir begitu sampai. Namun, itu bukan karena sekadar kebutuhan akan kafein, melainkan sebagai bentuk penenang. Setelah perjalanan panjang dari desa ke bandara, Rani merasa ada kekosongan yang tak bisa diisi dengan mudah.
Instingnya berkata untuk tidak langsung pulang ke rumah. Pulang dan berhadapan dengan orang tuanya, terutama dengan segala masalah yang belum terselesaikan, tampak terlalu berat. Ke apartemen saja, itu tampak lebih aman—setidaknya untuk saat ini. Rani butuh waktu untuk menata kembali dirinya, untuk menghadapi apa yang menunggunya di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Dekapan Waktu
Teen FictionPeringatan Konten Dewasa 21+ !!! Novel ini mengandung elemen yang mungkin tidak sesuai untuk pembaca di bawah usia 21 tahun. Terdapat konten yang mencakup tema seksual, kekerasan, atau situasi dewasa lainnya. Pembaca diharapkan untuk mempertimbangka...