3. Gelombang Kecemasan

265 32 1
                                    

Rani memandang jalan setapak di depannya, sepi dan sunyi. Suasana yang biasanya membuatnya merasa damai kini terasa mencekam. Udara malam mulai terasa lebih dingin, tapi bukan itu yang membuat tubuhnya bergetar. Sejak melihat mahasiswa-mahasiswa tadi, ada sesuatu yang mengusik ketenangannya. Mereka tampak biasa saja, mungkin hanya sekumpulan anak muda yang datang untuk belajar di desa. Tapi bagi Rani, kehadiran mereka seolah membawa gelombang kegelisahan yang tak ia pahami sepenuhnya.

Seharusnya malam ini ia pergi ke hajatan Pak Leman, berkumpul dengan warga desa yang lain, menikmati makanan sederhana sambil berbincang hangat di bawah tenda. Tetapi sekarang, pikirannya terlalu penuh. Ia tak bisa membayangkan berada di tengah keramaian, apalagi melihat mahasiswa-mahasiswa itu lagi. Apa yang akan terjadi jika mereka mulai bertanya? Siapa dirinya? Mengapa ia ada di sini, di desa yang jauh dari peradaban?

Rani menggeleng pelan, mencoba mengusir pikiran itu. Namun, bayangan wajah-wajah mereka tak hilang. Ia merasa seperti diawasi, meski tahu itu tak mungkin. Mungkin mereka tidak akan peduli siapa dia, mungkin mereka hanya datang untuk menjalani program KKN dan pergi. Tapi tetap saja, rasa tak nyaman itu terus membayangi.

Ia duduk di tepi ranjang, memandang keluar jendela. Angin malam menerpa gorden tipis, membawa masuk aroma tanah basah dan daun yang mengering. Biasanya, aroma itu membuatnya tenang, tapi malam ini terasa menyesakkan. Perasaan paranoid mulai merayapi dirinya—bagaimana jika ada yang tahu? Bagaimana jika satu dari mereka mulai curiga? Seluruh hidupnya di desa ini bisa hancur dalam sekejap.

"Tenang, Rani... Tenang..." Ia berbisik pada dirinya sendiri, mencoba mengatur napas yang mulai tersengal. Tapi bayangan yang terus menghantui tak bisa ia abaikan. Ia takut—takut kalau semua ini hanyalah permulaan. Tepat saat ia merasa nyaman, hidupnya kembali terancam oleh hal-hal yang tak bisa ia kendalikan.

Bukannya bersiap untuk pergi ke hajatan, ia memutuskan tetap di rumah. Lebih aman di sini, jauh dari tatapan mata yang mungkin mulai bertanya-tanya. Rani tahu bahwa paranoia ini bisa saja hanya ada di kepalanya, tapi perasaan itu begitu kuat. Malam ini, ia tak sanggup menghadapi dunia luar. Terlalu banyak yang dipertaruhkan.

Rani berbaring di kasur kayunya yang sederhana, tubuhnya terasa panas dan dingin bergantian. "Demam?" pikirnya, merasa agak konyol. Ini jelas bukan pertama kalinya dia merasa cemas, tapi tubuhnya bereaksi seperti dia terkena flu berat.

"Ah, ini lebay banget," gumamnya sambil menutup wajah dengan bantal. Tapi tetap saja, keringat dingin terus muncul di dahinya. Sambil mendesah, ia memegang perutnya yang terasa mual. "Kenapa sih aku jadi kayak mau mati padahal cuma ketemu mahasiswa doang?" pikirnya, tertawa kecil meski tak bisa benar-benar menertawakan situasinya.

Rani mencoba bangkit, tetapi begitu kaki menyentuh lantai dingin, kepalanya berputar. "Wah, wah... kayak abis naik komidi putar," celotehnya sambil setengah merangkak kembali ke kasur. Ia menarik selimut dan membungkus dirinya seperti burrito, berharap tubuhnya yang aneh ini segera normal kembali.

Sambil berbaring, pikirannya berkelana. "Ini pasti cuma psikologis." Namun, setiap kali mencoba meyakinkan diri, tubuhnya malah makin memberontak. Tenggorokannya mulai terasa kering, dan jantungnya berdebar seperti baru habis lari maraton.

"Aduh, Rani... Kacau nih. Kayak sakit hati dicampur gejala flu," bisiknya, berusaha menertawakan kekonyolan ini, meskipun rasanya makin payah. "Kalau tetangga lihat aku sekarang, pasti dikira kesurupan!" Ia memejamkan mata, berharap sensasi aneh itu segera berlalu.

Dalam kepalanya, Rani tahu demam ini tak sepenuhnya karena fisik. Ada campuran kecemasan yang membuatnya merasa seolah-olah terserang penyakit serius, padahal ini semua mungkin hanya reaksi berlebihan terhadap situasi yang membuatnya tertekan. "Kalau bisa kontrol drama ini, aku pasti udah sembuh sejak tadi," pikirnya sambil merapatkan selimut lagi.

Dalam Dekapan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang