10. Di Balik Pintu yang Tertutup

22 2 0
                                    

Rani berdiri di depan rumah berlantai dua yang dulu begitu akrab baginya, kini tampak sedikit asing di matanya. Rumah itu tidak berubah banyak sejak ia meninggalkannya untuk hidup mandiri di desa, namun kehangatannya terasa berbeda. Udara siang yang sedikit berangin membawa wangi bunga dari taman depan, namun tak mampu menghalau kecanggungan yang menyelimuti dirinya.

Beberapa saat yang lalu, seorang wanita—pembantu baru yang tidak Rani kenal—telah menyapanya di gerbang. Dengan tatapan penuh tanya, wanita itu sempat bertanya, "Maaf, siapa ya?" Rani tertegun sejenak, sedikit tersinggung, namun ia menyadari bahwa waktu terus berjalan dan orang-orang di rumah ini pun telah berganti. Setelah menyebutkan namanya, pembantu itu tersenyum canggung dan buru-buru membukakan pintu pagar. Tapi di hati Rani, ada perasaan ganjil yang terus bergelayut. Apakah ia masih memiliki tempat di sini?

Keraguan itu semakin mendalam saat ia menatap pintu utama yang besar dan kokoh. Pintu yang dulunya selalu terbuka untuknya kini seakan-akan menjadi penghalang. Suasana batin yang ia bawa sejak pagi, semakin sulit dilenyapkan. Mimpi erotis yang menghancurkan ketenangannya tadi pagi, menyisakan jejak yang mengganggu di pikirannya. Untung saja Cindy dengan hangat menyiapkan secangkir coklat panas sebelum ia pergi, memberikan sedikit kenyamanan yang ia butuhkan. Cindy memilih untuk tetap di apartemen Rani, setelah Rani memastikan bahwa ia tak akan lama di rumah ini. Ia hanya datang untuk menyapa orangtuanya, menjaga sopan santun tanpa berniat menginap.

Setelah menarik napas panjang dan menenangkan detak jantungnya yang tak menentu, Rani memberanikan diri melangkah. Sepatu hak rendahnya berbunyi lembut di atas paving jalan menuju pintu, dan ia mencoba menguatkan hatinya. Pikirannya terus berputar, namun ia tetap bergerak maju. Mungkin, setelah sekian lama, ini adalah waktu untuk berdamai dengan masa lalu dan menemukan kembali dirinya di tempat ini.

Rani memasuki rumah dengan langkah pelan, aroma kayu jati dan wangi teh melati yang familiar langsung menyergap indra penciumannya. Ruang tamu yang luas dengan sofa berwarna lembut dan tirai-tirai putih yang melambai ditiup angin siang hari menyambutnya. Di sana, di atas sofa favorit mereka, ayah dan ibunya duduk berdampingan, seperti sepasang sahabat lama yang selalu menghabiskan waktu bersama. Rambut ayahnya mulai menipis dengan beberapa helai berwarna perak, sementara ibunya, dengan wajah teduh yang selalu menenangkan, menatap keluar jendela. Suara pintu yang sedikit berderit membuat keduanya menoleh secara bersamaan.

Tanpa menunggu sedetik pun, Rani merasakan dorongan di dadanya—dorongan yang sudah lama tertahan. Kakinya langsung bergerak cepat, langkahnya berubah menjadi lari kecil yang penuh harap. Dalam sekejap, ia sudah di hadapan kedua orang tuanya, dan sebelum kata-kata terucap, pelukan hangat membungkus mereka bertiga. Rani memeluk erat tubuh ibunya, mencoba menemukan kembali kehangatan yang dulu selalu ada, meskipun kini ada perasaan canggung yang sedikit menyesak di hatinya. Di sisi lain, ayahnya mengangkat satu tangan dengan ragu sebelum akhirnya turut menenggelamkan Rani dalam dekapannya yang kuat, seolah ingin menyalurkan semua rasa rindu yang telah lama tertahan.

"Papa kangen banget," suara ayahnya terdengar dalam dan lembut, sedikit serak seperti menahan perasaan. Rani hanya bisa mengangguk dalam pelukan itu, tak mampu menjawab karena hatinya terlalu penuh oleh emosi. Pelukan mereka seolah menghapus jarak yang selama ini memisahkan, meski masih terasa tipis jejak-jejak dari masa lalu yang menyisakan luka.

Ibunya mengelus lembut rambut Rani, sementara air mata tipis terlihat di sudut matanya. "Kami rindu banget," bisiknya penuh kasih, dan Rani bisa merasakan kehangatan cinta yang meresap dalam setiap gerakan lembut ibunya. Meskipun ada kebisuan, tak ada rasa sakit yang terpancar. Yang ada hanya kebahagiaan sederhana dari sebuah keluarga yang kembali bertemu, yang ingin sejenak melupakan ketegangan masa lalu.

Mereka tertawa kecil, saling melepaskan satu sama lain dengan senyum di wajah, mencoba menikmati momen ini sepenuhnya. Sesaat, seolah dunia di luar berhenti, dan ruang tamu itu menjadi tempat di mana mereka bisa berbagi suka cita. Setidaknya untuk hari ini, mereka hanya ingin mengingat bahwa mereka saling mencintai—tanpa beban apa pun, tanpa masa lalu yang terus menghantui. Setidaknya Rani bisa berpikiran seperti itu saat ini.

Dalam Dekapan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang