Rani kembali terjebak dalam mimpi yang tak nyaman. Kamar apartemennya yang dulu muncul dengan suasana remang-remang, udara dingin menusuk tulang meski tubuhnya sudah diselimuti tebal. Ia meringkuk di sudut tempat tidur, tubuhnya bergetar hebat. Rasa takut yang begitu dalam membelenggunya, menahan napas dan membuat hatinya berdebar keras.
Suara ibunya datang dari balik pintu. "Rani... Rani, keluar nak, kita bicara baik-baik." Namun, Rani tahu, kata-kata itu tak benar-benar berarti baik. Hati kecilnya sudah penuh dengan ketakutan yang terus membesar. Suara ibunya yang terdengar memaksa, seakan mengiris hatinya. Dadanya sesak, kakinya semakin gemetar di bawah selimut, tidak berani merespons.
Tiba-tiba, suara ayahnya meledak. "RANI! KELUAR SEKARANG JUGA!"
Bentakan keras itu menghantamnya seperti badai. Suara ayahnya mengguncang pintu, membuat Rani terlonjak dari tempat tidur. Jantungnya berdebar semakin cepat, hampir terasa akan meledak. Tubuhnya terasa makin kecil, semakin terjepit oleh dinding dan selimut yang tak mampu melindunginya dari ketakutan.
Setiap ketukan di pintu terdengar seperti dentuman yang menghantui, membuat tubuhnya kaku, matanya tertutup rapat seolah berharap suara-suara itu segera hilang. Namun, mereka semakin keras, semakin memaksa.
Lalu, tiba-tiba, Rani terbangun. Napasnya terengah, tubuhnya masih gemetar. Ketakutan dari mimpinya masih melekat erat, seolah belum ingin pergi. Di luar kamar, suara yang terus memanggil namanya masih terdengar jelas.
"Rani... Rani..."
Suara itu nyata—Bu Sri, yang membangunkannya dari mimpi buruk yang menghantuinya. Lagi.
Rani terbangun dengan napas terengah-engah, keringat dingin membasahi dahinya. Tubuhnya gemetar, dan seketika, rasa pening mendadak menyerangnya. Kepalanya terasa berputar hebat, membuat pandangannya kabur sejenak. Ia memegang keningnya, berusaha mengatasi rasa pusing yang tiba-tiba menyerang, tapi tubuhnya terasa begitu lemah.
Dari luar kamarnya, suara Bu Sri masih terdengar, memanggil namanya dengan nada khawatir. "Rani, Rani! Kamu nggak apa-apa, Nak?"
Rani menggigit bibirnya, menahan mual yang mulai naik ke tenggorokan. Kepalanya berdenyut-denyut, sementara tubuhnya terasa berat, seolah seluruh energinya tersedot habis oleh mimpi buruk yang baru saja ia alami. Namun, ia tahu ia harus merespon panggilan Bu Sri, meski tubuhnya masih bergetar karena ketakutan.
Dengan suara parau dan napas yang berat, Rani mencoba mengumpulkan kekuatan untuk berbicara. "Bu Sri..." suaranya terdengar pelan, hampir tidak keluar. Ia terbatuk kecil, lalu memaksa suaranya lebih keras, "Masuk saja, Bu... pintunya nggak dikunci."
Ia merasakan tenggorokannya kering, seolah setiap kata yang keluar menambah rasa nyeri di kepalanya. Napasnya masih belum teratur, namun ia tidak punya pilihan lain selain mempersilakan Bu Sri masuk.
Rani memaksakan dirinya untuk duduk di pinggir tempat tidur, meskipun kepalanya terus berputar. Sambil memijat keningnya, ia mendengar langkah kaki Bu Sri mendekat. Rani mencoba menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Namun, pikirannya masih terjebak di antara sisa-sisa mimpi buruk yang menghantuinya dan kenyataan yang baru saja menyapanya.
Pintu kamar Rani perlahan terbuka, dan wajah Bu Sri muncul dengan ekspresi penuh kekhawatiran. Pandangannya langsung tertuju pada Rani yang duduk di pinggir tempat tidur, wajahnya pucat dengan keringat masih membasahi dahi. Tanpa berkata-kata, Bu Sri segera menghampiri Rani, rasa khawatir terpancar jelas dari matanya.
"Nak, kamu pucat sekali. Tunggu sebentar, Ibu ambilkan air dulu," kata Bu Sri sambil bergegas menuju dapur.
Rani hanya bisa mengangguk lemah, masih merasakan pening yang belum sepenuhnya hilang. Ketika Bu Sri kembali dengan segelas air di tangannya, Rani meraihnya dengan tangan gemetar, lalu meminum sedikit air itu. Rasa dinginnya memberi sedikit ketenangan di tengah tubuhnya yang masih terasa berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Dekapan Waktu
Teen FictionPeringatan Konten Dewasa 21+ !!! Novel ini mengandung elemen yang mungkin tidak sesuai untuk pembaca di bawah usia 21 tahun. Terdapat konten yang mencakup tema seksual, kekerasan, atau situasi dewasa lainnya. Pembaca diharapkan untuk mempertimbangka...