Di sudut dunia nun jauh, sangat jauh, jauh dari gedung tinggi, jauh dari pekikan suara dunia, bahkan jaraknya cukup membuatmu terasa asing dengan teknologi. Di sudut sempit itu hanya terpapar sinar matahari yang baik hati, dan hujan yang semakin lebat membuatmu semakin tenggelam dalam tidur yang nyenyak. Di sudut sempit itu terasa luas dengan segala kesyukuran, terasa lapang dengan segenap keikhlasan, butuh banyak cerita untuk sampai pada sudut sempit ini. Rani melewati segudang perkara yang membuatnya terdampar di desa kecil yang disebutnya tempat yang menyelamatkan nyawanya ketika sekarat sehabis berperang melawan takdir.
Sudah sebelas bulan ia berada disana, surga kecil yang di dekap pulau kalimantan hingga terlindungi dari desau perkara dunia yang kian menuntut kehidupan penuh drama dan konflik. Beruntung, neneknya mewariskan tempat tinggal yang layak pada ayahnya meskipun ayahnya tak menyadarinya karena lebih suka tinggal diperkotaan, tempat yang ditinggalinya saat ini telah lama terlupakan, terakhir kali ia mendatangi tempat ini ketika ia masih belajar berjalan, itu diceritakan ibunya sebelas bulan lalu sambil mengemasi pakaiannya seraya terisak karena terpaksa harus membuang putrinya sendiri disudut dunia yang dianggapnya tidak layak. Ayahnya sudah tak sanggup menatapnya kala itu, ibunya hanya terus menguatkan dirinya sambil menggenggamkan Rani segepok uang untuk bertahan hidup, bukan hanya itu, sang ibu merasa itu tak mungkin cukup, ia melepaskan gelang dan anting yang masih dipakainya lalu memasukkannya di saku Rani.
Sebelas bulan berada disini membuat Rani terbiasa menghibur diri dengan menonton TV, ia sudah tidak pernah menyentuh ponselnya, ia bahkan sanggup tak menyentuh benda itu selama berminggu-minggu, jika dulu saat kuliah HP dan Laptop adalah benda paling tak boleh jauh darinya, kini semuanya terbalik, ia merasa berada dalam nuansa buku-buku klasik terbitan lama yang pernah di bacanya, atau film-film lama yang diputarnya saat kecil tiap pulang ke kampung ibunya.
Dan kini tinggal ia sendiri, bersama ketenangan yang diciptakannya sendiri, Rani duduk termenung di beranda, mengamati awan yang menggantung rendah, seakan enggan bergerak dari langit kelabu. Aroma tanah basah menyeruak, membaur dengan bau kayu yang mengelupas dari dinding rumah panggung. Suara gemericik air sungai mengalun lembut, menciptakan harmoni dengan suara burung yang sesekali terdengar. Di sudut ini, segalanya tampak tenang. Seperti ada batasan tak terlihat yang memisahkannya dari masa lalu.
Hidup di desa kecil ini terasa seperti menjalani mimpi panjang. Setiap hari dimulai dengan suara ayam berkokok, diikuti oleh angin yang mengelus lembut dedaunan, seakan dunia hanya terdiri dari langit, pepohonan, dan dirinya sendiri. Tak ada keramaian, tak ada suara kendaraan. Hanya ada suara alam yang meredakan gejolak hatinya, memberikan waktu dan ruang untuk menata ulang pikirannya.
Kehidupan Rani di desa kecil itu berlangsung dengan ritme yang lambat, seakan waktu bergerak lebih perlahan tanpa internet yang selalu menghubungkannya dengan dunia luar. Tanpa notifikasi yang tak henti-hentinya, tanpa jadwal pertemuan yang ketat, atau email yang menumpuk, Rani merasakan kedamaian yang jarang ditemuinya selama ini. Rutinitasnya kini begitu sederhana: bangun dengan suara alam, menikmati sarapan yang ia siapkan sendiri dari bahan-bahan segar hasil kebun warga, dan menghabiskan hari dengan membaca buku atau berjalan-jalan di sekitar desa. Buku-buku lama yang ia temukan di rumah kayu itu menjadi penghibur setianya, membawa Rani berpetualang dalam dunia lain, jauh dari masalah yang dulu membebaninya. Ia beruntung kakeknya kutu buku seperti dirinya, meskipun beberapa buku hancur lebur digerogoti rayap, namun beberapa terselamatkan, Rani merasa wawasannya tentang sejarah masa lalu lebih bertambah setelah membaca koleksi buku kakeknya.
Tanpa internet, ia tak lagi harus melihat wajah-wajah asing di media sosial atau merasa cemas karena kehilangan momen penting di kehidupan orang lain. Di sini, segalanya terasa nyata dan lebih berarti. Setiap interaksi dengan penduduk desa, setiap tatapan mata dan sapaan hangat, seolah membantunya menyembuhkan diri dari luka-luka yang pernah ia bawa. Tidak ada tuntutan untuk selalu "terhubung", dan itu memberikan ruang baginya untuk benar-benar merasakan kehadirannya sendiri.
Di sisi lain, kenangan tentang kehidupannya di kota terkadang muncul dalam benaknya, membandingkan betapa berbedanya dunianya dulu. Di kota, segalanya terasa cepat, tidak pernah berhenti. Hari-harinya dulu diisi dengan rapat, jadwal kuliah yang padat, dan pertemuan sosial yang tak terhitung jumlahnya. Ponsel dan laptopnya hampir menjadi perpanjangan dari dirinya—selalu aktif, selalu siap untuk merespons pesan atau email, seakan ia harus terus berlari untuk tetap berada di jalur. Malam-malam di kota dihabiskan dengan cahaya lampu jalan dan kebisingan yang tidak pernah benar-benar berhenti, sementara di desa ini, malam hanya diterangi bintang-bintang dan suara jangkrik yang menenangkan.
Namun, di tengah semua kedamaian itu, ada momen-momen ketika kerinduan akan kehidupan lamanya menyelinap masuk. Bukan karena ia merindukan kecepatan hidup atau tekanan sosial di kota, tetapi lebih kepada kenangan akan keluarganya. Ia merindukan ibunya, merindukan suara nasihat yang selalu menenangkannya meski sering diiringi dengan kekhawatiran. Ia juga merindukan aroma makanan rumahan yang selalu terhidang di meja makan, atau bahkan sekadar obrolan ringan dengan ayahnya yang, meski kaku, selalu menjadi pijakan yang stabil di tengah kekacauan hidupnya. Ada rasa hampa yang tersisa, seolah sesuatu yang penting telah hilang dan tak bisa ia gapai lagi dari sudut sunyi ini.
Kerinduan itu muncul dalam bentuk-bentuk kecil. Saat ia mencium aroma tanah setelah hujan, ia tiba-tiba ingat akan momen-momen hujan deras di kota, saat ia dan ibunya duduk bersama di ruang tamu sambil menyeruput teh hangat. Atau ketika ia menatap langit malam yang luas, ia teringat akan lampu-lampu kota yang berkilauan, dan bagaimana dulu, meski dikelilingi oleh banyak orang, ia sering merasa sendirian. Di desa ini, kesendiriannya terasa berbeda—lebih damai, lebih dipilih, namun tetap meninggalkan ruang kosong yang sesekali menganga.
Meski demikian, Rani tak pernah benar-benar menyesal memilih jalan ini. Desa kecil itu telah memberikan sebuah pelarian, sebuah pengasingan yang menyelamatkan jiwanya yang nyaris hancur. Tapi, di balik setiap ketenangan yang ia rasakan, selalu ada satu bagian dari dirinya yang rindu akan kehidupan lamanya, meskipun itu hanya secuil perasaan yang ia simpan jauh di dalam hati.
Pernah, dulu, ia berpikir takdir telah mengkhianatinya. Berharap semua akan berbeda jika ia mengambil keputusan yang lain, jika waktu berputar kembali, mungkin ia tidak akan terdampar sejauh ini. Tapi, di sudut sunyi ini, justru Rani mulai menerima semua hal yang terjadi dalam hidupnya. Sebuah pemahaman baru tumbuh: bahwa mungkin, segala luka dan kesedihan yang pernah ia alami adalah cara alam menuntunnya ke tempat ini—tempat yang memberi kesempatan untuk kembali menyusun hidupnya.
Di sudut sempit ini, Rani menyadari bahwa meski dia lari dari dunia yang ia tinggalkan, dia tidak lari dari dirinya sendiri. Dan mungkin, untuk pertama kalinya, dia tidak ingin lari lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Dekapan Waktu
Подростковая литератураPeringatan Konten Dewasa 21+ !!! Novel ini mengandung elemen yang mungkin tidak sesuai untuk pembaca di bawah usia 21 tahun. Terdapat konten yang mencakup tema seksual, kekerasan, atau situasi dewasa lainnya. Pembaca diharapkan untuk mempertimbangka...