13. Membuka Pintu Masa Lalu

27 3 0
                                    

Fikram membiarkan Rani mencerna kata-katanya, menunggu respons dari gadis yang terjebak dalam keheningan. Dia tahu, di dalam hati Rani, pasti ada pertentangan yang hebat terhadap pernyataannya barusan.

"Gila kamu," desis Rani, matanya menyala dengan ketidakpercayaan dan kemarahan. Fikram, dalam ketenangan yang menakutkan, terus mengelus pipi Rani dengan lembut, namun setiap sentuhan itu hanya membuat Rani semakin gelisah. Dia berusaha menepis tangan Fikram, tetapi jari-jemari lelaki itu seakan memiliki daya tarik yang sulit untuk diabaikan.

"Rani, aku bisa jelasin semuanya, tapi kamu tenang... aku sedang berusaha," ucap Fikram, suaranya tenang namun menantang. Namun, Rani tidak bisa menahan diri untuk tidak berteriak, "Gimana mau tenang? Kamu udah kaya penculik yang mau perkosa aku!" Suaranya bergetar, berisi ketakutan dan kemarahan yang membara.

"Tuh kan, tenang Rani. Aku berhak ngejelasin semuanya ke kamu," balas Fikram, tetapi nada suara Rani tidak mereda. "Gak, aku mau pergi, Fikram!" tegasnya, berusaha menarik diri dari cengkeraman situasi ini.

"Plis, Rani," desak Fikram, wajahnya memancarkan harapan yang tulus, "asal kamu udah dengar penjelasan aku dengan tenang, kamu boleh putuskan apapun." Dia ingin Rani mendengarnya, ingin menghapus semua kesalahpahaman yang melanda.

"Termasuk minta cerai?" tanya Rani, suaranya menusuk, menyentil rasa bersalah yang terpendam dalam diri Fikram.

"Ran," Fikram mencoba membuat Rani mengerti, suara hatinya terasa rawan di tengah ketegangan ini.

Akhirnya, dengan napas yang berat, Rani mengalah. Ketika Fikram akhirnya berhenti menindihnya, dia merasakan beban di dadanya sedikit berkurang. Rani menarik napas lega, melangkah keluar dari ranjang dengan hati-hati, seolah seluruh energinya telah terkuras. Dengan langkah gontai, ia berjalan ke arah kursi yang terletak tidak jauh dari ranjang, duduk di sana dengan tubuh yang lemas dan pikiran yang berkecamuk. Dia tahu, semua ini belum berakhir, tetapi saat itu, Rani hanya ingin menemukan sedikit ketenangan di tengah badai emosinya.

Fikram duduk di tepi ranjang, matanya tidak pernah lepas dari Rani. Ia mengamati tiap gerakan gadis itu, berusaha membaca perasaannya yang samar. Suaranya pelan, namun menembus keheningan ruangan yang berat. "Aku udah prediksi kalau kamu bakal dikejar wartawan sejak temen aku ngabarin liat kamu di bandara. Aku udah baca artikel tentang kamu dari tadi malam," katanya, nada yang penuh penyesalan.

Rani terdiam, hatinya bergetar mendengar pengakuan itu. "Kamu apain Cindy?" tanyanya, nada suaranya penuh ketegangan dan rasa cemas.

"Dia aman. Aku sedikit ancam dia biar nurut ngasih tau posisi kamu tadi," Fikram menjelaskan, dan meskipun kata-katanya terkesan tenang, ada keseriusan dalam nada suaranya. "Sorry, tapi aku serius, gak nyakitin dia."

Fikram bisa melihat perubahan pada wajah Rani—ketakutan dan kelelahan bercampur menjadi satu, seolah beribu musibah menimpanya dalam waktu yang singkat. Ada cahaya yang memudar di matanya, dan rasa bersalah mulai menyelimuti hati Fikram.

Dengan langkah hati-hati, Fikram mendekati Rani. Tatapan Rani kosong, terperangkap dalam kekosongan yang dalam. Fikram bersimpuh di hadapannya, menundukkan kepalanya, seolah ingin menunjukkan ketulusan dan penyesalan yang dalam. "Maaf, Rani. Aku minta maaf," ucapnya, setiap kata terasa berat.

Namun, air mata Rani semakin tak terbendung. Dia mengira momen ini akan menjadi pengobat lukanya, namun alih-alih merasakan kelegaan, hatinya justru terasa kian sakit. Seolah setiap tetes air mata yang jatuh mengingatkannya pada luka yang belum sepenuhnya sembuh. Di dalam keheningan itu, harapan dan kekecewaan berbaur, membentuk gelombang rasa yang tak bisa ia bendung.

Rani terisak, matanya menatap Fikram dengan penuh luka. Setiap tetes air mata yang mengalir mencerminkan betapa dalamnya rasa sakit yang ia rasakan. Di hadapan lelaki itu, semua kenangan pahit berputar dalam benaknya seperti gulungan film yang tak henti-hentinya diputar kembali. Dalam hening yang membekap mereka, Fikram mengucapkan kata maaf sekali lagi, namun kali ini ada ketulusan yang lebih dalam dalam tatapannya. Ia bisa merasakan betapa Rani sungguh menimbang permintaan maafnya, seolah seluruh jiwa mereka terikat dalam momen itu.

Dalam Dekapan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang