14. Mimpi dan Realita (21+)

30 4 0
                                    

Dalam hening malam, Rani berbaring di ranjang Fikram, berusaha menyusup ke dalam lelap yang selalu menjauh. Mata cantiknya terpejam, tetapi pikirannya melayang jauh, menelusuri jejak-jejak kenangan. Dengan lembut, ia mencoba membayangkan desanya, dengan udara segar yang mengalir di antara pepohonan, suara gemericik air sungai, dan tawa ceria penduduknya. Ia merindukan kebahagiaan sederhana itu, berharap bisa mengubur semua kekhawatiran dan sejenak terlelap dalam mimpi yang diharapkannya indah, ia sangat kelelahan menghadapi hari ini, ia hanya berharap tidurnya bisa nyenyak.

Di sudut ruangan, Fikram duduk di kursi kayu, memandang Rani yang memunggunginya. Jarak di antara mereka terasa tak terukur, seakan ada dinding tak terlihat yang menghalangi. Ia bisa merasakan ketegangan yang menyelimuti tubuh Rani, dan mengetahui bahwa kehadirannya mungkin tidak diharapkan. Namun, rasa sayang yang dalam tak bisa dibohongi. Ia mengenali setiap gestur tubuh Rani, setiap gerakan halus yang menunjukkan bahwa istrinya itu sedang berusaha menenangkan diri, mengumpulkan kekuatan untuk melupakan masa lalu.

Saat Rani mulai beranjak menuju dunia mimpi, Fikram tak dapat menahan diri. Perlahan, ia mendekat, dan merayap ke sisi Rani, menyingkap selimut yang menghangatkan tubuhnya. Di dalam keheningan itu, ia bisa merasakan detak jantung Rani, seolah-olah setiap denyutnya memanggilnya. Fikram merapatkan diri, menyesap kehangatan dari kehadiran Rani. Ia tahu betul bahwa jika Rani terbangun dan mendapati dia di sampingnya, mungkin kemarahan akan meluap, meluncur dengan segala ketidakpuasan yang terpendam. Namun, saat ini, Fikram hanya ingin merasakan kehadiran sosok yang telah mengisi kehidupannya, meski rasa bersalah dan cinta beradu dalam hatinya.

Dalam keheningan malam yang nyenyak, Fikram dan Rani tertidur dengan lelap, terjerat dalam kehangatan satu sama lain. Fikram memeluk Rani dari belakang, tangannya melingkari tubuhnya dengan lembut, seolah-olah berusaha melindungi perempuan yang selalu mengisi pikirannya. Rani, dalam tidur yang damai, terlihat nyaman. Muka polosnya tampak tenang, seolah semua beban dunia lenyap begitu saja saat mata terpejam.

Namun, di balik ketenangan itu, Rani merasakan kesadaran mulai menariknya dari mimpi. Ia butuh waktu untuk menyesuaikan diri, menyadari bahwa tubuhnya terkurung dalam dekapan Fikram. Pelukan itu hangat, tapi juga asing; mengingatkan akan semua perasaan yang pernah dia coba tutup-tutupi. Pelan, ia melirik jam di meja samping ranjang. Pukul tiga pagi, dan hatinya berdesir melihat angka yang berkedip lembut.

Rani menarik napas panjang, terperangah oleh kenyataan hidupnya yang sedramatis ini. Betapa bisa ia berakhir di ranjang Fikram, sosok yang selama ini dibencinya? Namun, dalam tidur nyenyak ini, ia menemukan tangannya tanpa sadar menggenggam tangan Fikram, seakan jiwa mereka terikat dalam kedamaian malam yang menipu. Lucunya, Rani merasakan kehangatan dan kenyamanan dalam dekapan Fikram, menciptakan perasaan yang begitu sulit untuk dia akui, meskipun terbalut dalam kebencian yang mendalam.

Rani sedikit bergerak, mencoba melepaskan diri dari pelukan Fikram yang terasa semakin berat di tubuhnya. Tapi sial, gerakannya yang kecil malah membangunkan lelaki itu. Alih-alih melepaskannya, Fikram malah semakin mengeratkan pelukan, seolah takut Rani akan pergi begitu saja. Rani menggigit bibirnya, perasaan gugup bercampur kesal. Baginya, ini salah. Tidak seharusnya dia di sini, tidak seharusnya dia membiarkan Fikram sedekat ini lagi dengannya.

Namun, Fikram tampaknya punya niat lain. Tangannya mulai bergerak perlahan, menyusuri bagian tubuh yang seharusnya tak terjamah. Jari-jarinya menyusup di bawah pakaian, menyentuh kulit Rani dengan lembut namun tegas. Rani mengerutkan kening, tubuhnya menegang. Hatinya berteriak bahwa ini tidak benar, bahwa ia harus menghentikannya sebelum semua semakin jauh.

Rani mencoba bergumam, berusaha menegur Fikram dengan suara yang nyaris tidak terdengar. "Fikram, jangan..." Suaranya bergetar, antara ketakutan dan amarah. Dia tahu bahwa sesuatu pasti akan terjadi jika dia membiarkan Fikram bertindak semaunya.

Dalam Dekapan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang