12. Jalan di Persimpangan

23 4 0
                                    


Di dalam kelam yang dalam, Rani terjerat dalam aliran memori yang menari-nari di antara bayang-bayang. Saat itu, di suatu tempat yang jauh di sudut hatinya, dia mengingat saat pertama kali matanya bertemu dengan Fikram. Dalam keremangan cahaya sore, wajahnya tampak begitu menawan, seperti karya seni yang terukir di atas kanvas yang sempurna. Fikram dengan mata yang berkilau bak bintang di malam hari, dan senyuman pertama yang mengembang di bibirnya bagaikan embun pagi yang menyegarkan. Senyuman itu, yang kini terukir dalam benak Rani, adalah janji akan kebahagiaan yang tak terhingga, sebuah harapan yang dikhianati oleh waktu.

Namun, memori itu segera beralih ke momen yang lebih gelap. Dalam kebisingan pikiran yang bergejolak, Rani menyaksikan saat-saat terburuk hubungan mereka berputar seperti film yang tidak ingin ditontonnya. Fikram, sosok yang dulunya penuh harapan, kini terjebak dalam kegelapan ketidakpastian, tak mampu mempertanggungjawabkan situasi yang mereka hadapi. Rani merasakan kepedihan yang mengoyak hatinya, seolah setiap detak jantungnya merasakan kehilangan yang tak terkatakan.

Lalu, mimpi itu mengalir menuju kenangan yang lebih intim, saat keduanya terjebak dalam panasnya cinta yang menggairahkan. Mereka berdua terlarut dalam dunia mereka sendiri, meskipun dalam keangkuhan, Rani tak dapat menolak permintaan Fikram untuk merekam momen yang seharusnya penuh keindahan itu. Segalanya berlangsung begitu cepat, seperti kilatan petir yang menyapu malam, hanya sekilas gambaran indah yang terukir di pikirannya, namun terasa hampa dan penuh kesalahan.

Ketika semua kenangan ini membanjiri kesadarannya, Rani merasakan sebuah tarikan berat yang menariknya ke bawah, hingga akhirnya dia tersungkur dalam kegelapan. Tak lama kemudian, tubuhnya terbangun, seolah terlepas dari belenggu mimpi yang menyakitkan. Napasnya terasa berat, dan dalam keheningan itu, hatinya bergetar, teringat semua kenangan yang seharusnya tak pernah ada.

Rani perlahan mulai mengumpulkan kesadarannya, cahaya redup berusaha menembus kelam yang menyelimutinya. Ia mengedarkan pandangannya, meresapi setiap sudut ruangan yang tak dikenalnya. Dinding berwarna cerah dan furnitur minimalis menciptakan suasana yang aneh dan asing, seolah ia terjebak di dalam lukisan yang tidak pernah ia pilih.

Kepanikan mulai menguasainya, meluap seperti air yang tak tertahan. Ia terbangun di ranjang yang bukan miliknya, ketidakpastian menyelimutinya dalam rasa cemas yang mencekam. Ketika matanya menoleh ke arah jam dinding, dia menyadari bahwa jarum sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Rani merasakan kepanikan semakin mendalam, mengingat berapa lama ia terkapar, antara kesadaran dan mimpi. Apakah ia sudah pingsan selama berjam-jam? Atau mungkin hanya terjerat dalam mimpi tentang Fikram, sosok yang kini menjadi perwujudan kebencian dalam hatinya?

Saat jantungnya berdegup kencang, pintu ruangan terbuka, dan seorang pria muncul dari baliknya. Ia mengenakan kaos hitam yang menempel di tubuhnya, sosok yang familiar namun terasa menakutkan. Rani terenyuh bukan main, mengamati pakaiannya dengan cermat. Pakaian itu bukanlah yang dikenakannya dalam ingatannya; bukanlah bagian dari kenangan yang ingin ia ingat.

Rani merasa gelisah, serasa terperangkap dalam satu ruangan dengan bayang-bayang masa lalunya. Kembali ke keadaan yang tak diinginkannya, perasaannya bergejolak. Ia berusaha menahan rasa mual yang menyergapnya, ingin melarikan diri dari semua ini, dari kehadiran Fikram yang selalu membayangi.

Namun, saat ia beranjak untuk kabur, Fikram bergerak cepat, tubuhnya menindih Rani di kasur. Terperangkap, Rani merasakan desakan ketakutan dan kemarahan bersatu. Ia terbelenggu, terjebak di antara harapan dan kebencian yang membara, sementara suara hatinya berteriak untuk melawan.

Dengan segenap tenaga yang tersisa, Rani mengumpulkan keberaniannya, berusaha bangkit dari tindihan Fikram yang berat di dadanya. Matanya membara, memancarkan rasa marah yang tak tertahankan. Dalam satu gerakan, ia melayangkan tamparan keras ke wajah rupawan itu, suara beradu kulit memenuhi ruangan, menggema seolah memecahkan ketegangan yang melanda.

Dalam Dekapan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang