17. Meniti Di Atas Debar

171 18 2
                                    

Rani terbangun dari tidurnya, merasakan kelembutan bantal yang menyentuh pipinya. Namun, ketenangannya tiba-tiba teredam ketika ia mendapati Fikram duduk di tepi ranjangnya, menatapnya dengan tatapan penuh minat sambil bertopang dagu.

"Apa-apaan ini?" pikirnya, jantungnya berdetak kencang. Fikram sudah terlihat segar, rambutnya yang masih basah meneteskan butiran air, aroma sabun mandinya memenuhi ruangan, membuat suasana pagi terasa lebih segar. Ia mengenakan kaos hitam yang sederhana namun membuat Rani tak dapat menahan tatapan kagumnya.

"Kaget," ujar Rani, suara setengah terkejut itu meluncur dari bibirnya.

"Udah bangun cantik? Mau sarapan nggak?" Fikram menjawab, suaranya tenang dan menggoda, seolah mengabaikan kegugupan Rani.

Rani, yang berusaha mengontrol tingkahnya, perlahan membenarkan posisi duduknya, berniat untuk menyandarkan punggungnya di ranjang. Namun, betapa terkejutnya ia saat menyadari bahwa ia tidak mengenakan apa-apa di bagian atas. "Astaga!" teriaknya dalam hati, buru-buru menarik selimut untuk menutupi dirinya.

"Mana bajuku!" serunya, berusaha menyembunyikan rasa malunya di balik tirai selimut.

"Udah aku buang," jawab Fikram dengan nada santai, terlihat puas dengan reaksinya.

"Fikram, plis banget! Baju aku mana?" Rani memohon, nada suaranya mencampurkan antara panik dan kesal.

"Gitu aja, enak dilihatnya, sayang," Fikram membalas, senyumnya nakal seakan bermain-main dengan kata-kata.

Rani merasa seolah sedang ditantang, "Stress," gumamnya, wajahnya memerah, berusaha menjaga sisi malunya yang tersisa.

Fikram tidak bisa menahan tawanya. "Ahahaha, ada di lemari," katanya, masih berusaha menahan tawa melihat ekspresi Rani.

Rani tiba-tiba sadar bahwa ia tengah dipermainkan sekarang. "Ambilin plis," ujarnya, suaranya terdengar penuh harap.

"Ambil lah sendiri," Fikram menjawab dengan nakal, masih bersandar santai di ranjang, membuat Rani merasa semakin terjepit antara malu dan gelisah.

Rani merasakan perasaan campur aduk; di satu sisi, ia ingin melawan rasa malunya dan mengambil baju itu sendiri, di sisi lain, tawaan Fikram yang penuh godaan membuatnya semakin terjebak dalam momen konyol ini. Dengan keberanian yang terpaksa, ia mengambil napas dalam-dalam dan berusaha menghadapi situasi ini, tak peduli seberapa malu yang ia rasakan.

Rani melilitkan selimut di tubuhnya, berusaha menyembunyikan rasa malunya saat melangkah menuju lemari minimalis milik Fikram. Meskipun sinar pagi mengintip melalui jendela, suasana terasa hangat dan intim. Namun, ketegangan di dadanya tak bisa diabaikan. Ia membuka pintu lemari dan memeriksa isi di dalamnya, tetapi tak menemukan bajunya di sana. Sepertinya Fikram memang serius saat berkata bahwa ia sudah membuangnya. Dengan cepat, Rani mengambil sebuah kaos Fikram yang terlipat rapi di sudut lemari. "Yang penting aku bisa pakai baju," pikirnya, meskipun ia tahu kaos itu sedikit kebesaran.

Rani menatap Fikram dengan tatapan malas, merasakan pandangan Fikram yang terus mengikuti gerak-geriknya. Senyumnya nakal seakan menantang, memancing rasa jengkel dalam diri Rani. Tanpa menunggu lebih lama, ia bergegas masuk ke kamar mandi Fikram, bertekad untuk berpakaian dengan cepat. Ia tahu, Fikram tidak akan mau diusir untuk meninggalkannya mengenakan baju.

"Ck, aku baru ingat, kayaknya kita nggak pernah nyoba di kamar mandi deh. Mau coba nggak?" suara Fikram menggoda, penuh nada nakal yang menggigit.

Rani merasa darahnya mendidih, cepat-cepat ia melangkah dengan cepat, namun ekor matanya menangkap gerakan Fikram yang sepertinya ingin mengejarnya.

"Gila ya," Rani menjerit kesal, sampai akhirnya ia sudah berada di dalam kamar mandi. Dengan cepat, ia menutup pintu dan menguncinya, perasaan berdebar mencampur antara malu dan berani. Dari balik pintu, terdengar gelak tawa Fikram yang tak tertahankan, suaranya menggema dalam ruang sempit itu, membuat Rani terpaksa menahan senyumnya.

Dalam Dekapan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang