19. Semua Tentang Kita (21+)

145 15 0
                                    

Fikram duduk di hadapan Rani, matanya dipenuhi rasa khawatir yang tak mampu disembunyikan. Dia tahu, situasi baru saja meledak, emosi dan amarah berkecamuk, terutama dari ibunya yang tak bisa menerima kenyataan. Kini, yang ada hanyalah keheningan yang terasa berat, seolah-olah udara di antara mereka terjebak dalam ruangan yang terlalu kecil untuk semua beban yang mereka bawa.

Rani, dengan tubuh yang gemetar, mencoba menenangkan napasnya, meskipun air matanya terus mengalir. Pikirannya berputar-putar tak menentu, memikirkan apa yang baru saja terjadi, bagaimana amukan ibu Fikram membuatnya merasa seakan dirinya adalah beban. Fikram mendekat, meraih tangan Rani dengan lembut, seperti berusaha menariknya keluar dari lautan perasaan yang semakin menenggelamkan.

"Rani, aku di sini. Kamu nggak perlu hadapin ini sendirian," bisik Fikram lembut, suaranya penuh ketulusan.

Rani mengusap wajahnya yang basah, merasakan seluruh energinya terkuras. Amarah dan luka dari ibunya Fikram tadi membuat hatinya terasa perih, dan sekarang dia harus memikirkan cara untuk menyelesaikan semua kekacauan ini. Dia mulai merasa lelah—lelah secara fisik, tapi lebih dari itu, lelah karena hati dan pikirannya terus dibombardir oleh masalah yang tampak tak pernah berakhir.

Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menyusun kata-kata di tengah kebingungan perasaannya. Rani duduk di tepi kasur, membiarkan kakinya menggantung di sisi tempat tidur. Fikram, tanpa ragu, mengekorinya. Dia bersimpuh di depan Rani, seperti seseorang yang siap mendengarkan keluh kesah tanpa perlu berkata-kata. Dengan penuh kelembutan, Fikram meraih tangan Rani lagi, menggenggamnya erat, seolah ingin memberikan kekuatan melalui sentuhan kecil itu.

"Kayaknya memang salah aku ada di sini, Fikram," bisik Rani pelan, suaranya tercekik oleh isakan yang mulai pecah. Air matanya mengalir semakin deras, membasahi pipinya, membiarkan semua kepedihan yang ia rasakan mengalir keluar. Hatinya sakit, terbebani rasa bersalah dan ketidakpastian.

Fikram, yang sejak tadi diam, tiba-tiba menggeleng keras. "Tunggu," ujarnya, dengan nada penuh keyakinan. Ia bangkit, melangkah menuju laci di dekat tempat tidur.

Rani memperhatikan dengan tatapan lelah dan penasaran. Fikram membuka laci itu, dan mengambil sesuatu—sebuah kotak kecil yang tampak sudah familiar di mata Rani. Ia membalikkan badan, lalu kembali mendekat dengan langkah mantap. Fikram membuka kotak itu perlahan, memperlihatkan sepasang cincin di dalamnya. "Aku nemuin ini di apartemen kamu," katanya, suaranya bergetar penuh emosi.

Rani terpaku, hatinya berdesir saat melihat cincin pernikahan yang sempat ia lepas ketika guncangan hidupnya menerpa. Fikram menatapnya dalam-dalam, matanya memancarkan kesungguhan yang tak bisa diragukan lagi. Tanpa berkata apa-apa, dia mengambil cincin itu, lalu berlutut di depan Rani.

Dengan lembut, Fikram mengangkat tangan Rani, dan dengan gerakan penuh kehati-hatian, ia menyematkan kembali cincin itu di jari manis Rani, seolah memberi isyarat bahwa apapun yang terjadi, ia ingin hubungan mereka tetap bertahan. "Ini... ini tempatnya. Di sini, di jarimu, bukan di mana pun," bisiknya.

Rani menatapnya, bibirnya bergetar, tak tahu harus berkata apa. Hatinya terasa campur aduk—ada kebahagiaan, ada kelegaan, namun juga ada rasa takut yang masih menghantui. Tapi di momen itu, ketika Fikram memegang tangannya dengan erat, dia merasa sedikit lebih kuat, meskipun hanya sekejap.

Fikram menatapnya penuh harap. "Aku mau kita tetap sama-sama, Rani. Apa pun yang terjadi, aku nggak akan ninggalin kamu."

Rani menelan ludah, hatinya terenyuh, tapi juga penuh keraguan. Meski rasa takut masih mencengkeramnya, dalam hati kecilnya ia tahu, cinta Fikram untuknya adalah sesuatu yang nyata.

Rani menatap Fikram dalam keheningan yang hanya diisi oleh deru napas mereka yang samar. Rasa lelah, sedih, dan kelegaan bercampur menjadi satu di dalam dirinya. Ia mengulurkan tangan dengan lembut, jemarinya menyentuh pipi Fikram, mengelus wajahnya dengan penuh perasaan. Tatapannya begitu dalam, seolah-olah ia mencoba menangkap setiap detail dari sosok yang berdiri di hadapannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dalam Dekapan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang