satu

3.1K 135 6
                                    

Yakin kamu pesan BO sama eke? Nggak salah alamat kan?" Seorang lelaki kemayu menaikan alisnya naik turun ketika melihat penampilanku yang memakai pakaian tertutup. Tentunya dengan hijab yang terpasang rapi. Dia pikir, harusnya aku tidak berada di hotel apalagi menawarkan diri untuk menjadi seorang pel*cur. Ini sangat amat jarang terjadi dan tentunya sama saja melecehkan syariat.

Aku akui. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tertekan oleh keadaan. Terlebih saat Bapak meninggal menyisakan hutang yang lumayan besar. 20 juta tidak kira-kira. Dalam kurun 2 hari, aku harus membayarnya pada juragan Salim. Sementara untuk meminjam pada bank, aku harus punya jaminan kedepannya. Boro-boro jaminan atau sertifikat. Tepat tinggalpun aku dan Bapak menumpang pada tetangga.

Lalu sekarang pilihanku hanya satu. Menanggalkan harga diriku pada sesuatu yang mungkin akan kusesali suatu waktu.

"Hei! Jangan melamun beginong! Gimane seh! Kalau situ mau ikut gabung. Harusnya situ bisa menempatkan diri dengan pakaian yang semestinya. Situ tahu kan harusnya gimana? Haduh-haduh. Yaudah deh langsung aje ke dalam sana! Pokoknya eke gak mau tahu, situ atur-atur dah gimana caranya biar pembeli kesemsem dan eke dapet cuan! Hus!"

"Eh, Mase!" Aku berucap. Namun tanpa aba-aba aku didorong ke dalam sebuah kamar yang cukup besar. Tak luput dia membanting pintu cukup kasar. Aku terhenyak cukup kaget. Lalu pelan, aku menarik langkah. Kedua kaki ini jelas-jelas gemetar dibuatnya. Aku tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Menunggu saja kah? Atau melarikan diri ? Tapi mana bisa? Bagaimana mungkin? Aku sudah memutuskan pilihan. Dan ini konsekuensinya. Aku harus terima resiko.

Trek!

Kudengar pintu terbuka. Suara langkah seseorang kudengar semakin jelas pun detak jantungku yang semakin berdebar kian kencang. Aku meremas tangan. Takut. Gugup. Cemas. Napasku terasa sesak. Hingga langkah itu terhenti. Sunyi. Tak terdengar lagi. Kupikir sudah pergi. Tahunya saat kulihat, laki-laki itu berdiri. Memaku dengan wajah sedingin es. Tak elak, aku pun dibuat kaget tak percaya.

"U-ustaz Alkaf?" Gugup aku berkata lirih. Lalu berdiri dengan cemas.

Dia tidak menjawab. Malah menatapku semakin tajam.

Tidak mungkin kan ustaz Alkaf ke mari untuk melakukan syiar. Apa jangan-jangan??

"U-ustaz open BO juga kah?" tebakku dengan pandangan curiga.

GARA-GARA OPEN BO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang