mahar

1.1K 82 3
                                    

GARA-GARA OPEN BO
04

Kamar hotel ramai oleh beberapa orang yang hilir-mudik. Sebagian ada yang berbincang serius, sebagian lagi tengah menata meja dan menggelar karpet. Sementara kulihat diujung pintu, Ummi tampak sibuk menelepon seseorang. Entah siapa. Setelah pengakuan tak terdugaku yang sepenuhnya kusisipi kebohongan, akhirnya Abah bersitegas menikahkan kami detik ini pun. Sampai-sampai sempat ada adu argumen antara Abah dan tentunya Ustaz Alkaf sebelum pada akhirnya dia menunduk pasrah.

Jangan tanya bagaimana air mukanya Ustaz Alkaf. Menakutkan. Untuk pertama kalinya aku melihat wajahnya melebihi dinginnya es batu. Ditambah saat tak sengaja  tatapan kami beradu,  sontak dia membuang muka dan memilih meregang jarak.

Aku tahu aku memang salah. Meletakkan praha di tempat yang tak semestinya. Tapi salahkan dia juga. Ikut masuk dalam kubangan yang tengah kubangun dan merusak rencana.

Dan sebagai konsekuensinya, kami sama-sama harus terbelenggu pada satu ikatan tanpa cinta. Biarlah. Sementara, akan  kukesampingkan dulu masalah ini. Karena fokusku sekarang adalah bagaimana caranya mendapatkan uang.

Picik memang. Tapi tidak ada pilihan lagi.

Kuhela napas ini, lalu menoleh ke arah bangunan pencakar langit dari balik kaca. Hingga tak lama kudengar suara langkah kaki menghampiri.

"Sudah telepon Uwa-nya, Dek?" Ummi datang, menyerahkan tas milikku yang sengaja diambil dari kontrakan. Di dalamnya hanya berupa beberapa helai pakaian, kerudung, dalaman, parfum dan alat make up seperti bedak dan lipstik.

"Uwa lagi di jalan menuju ke sini. Mungkin sebentar lagi."

Sebagai wali nikahku, Abah menunjuk Uwa Dasef--Kakak satu-satunya Bapak agar kuhubungi. Uwa laki-laki dan perempuan tentunya terkejut begitu mendengar aku akan menikah malam ini. Padahal yang mereka tahu, aku belum ingin menikah dalam jangka waktu dekat.  Dan mungkin saja mereka berpikir yang tidak-tidak. Mengingat, aku hidup seorang diri sekarang.

Masa bodoh lah.

"Owh iya, Mi. ijabnya kapan dimulai? Biar Kaira ganti baju dulu." Kusudahi lamunanku. Tidak ada gunanya juga mematung di sini. Lebih baik aku membersihkan diri, kemudian berganti pakaian dan bersiap-siap.

Kuambil satu set gamis abaya hitam pemberian dari temanku, berikut perintilan lainnya.  Harusnya sih bukan gamis hitam ini yang  kupakai, melainkan gaun putih impian setiap perempuan. Lalu mukaku yang pas-pasan ini dihias biar cantik  dan selanjutnya duduk mesra bertengger dipelaminan bersama orang tercinta. Rasanya pasti akan berbunga-bunga.

Tapi sayang kenyataan tak sesuai harapan.

Sudah-sudah. Jangan banyak berkhayal. Aku memukul kepalaku dengan tas kecil hingga meringis kesakitan.

"Dek Kaira kenapa? Amilnya masih dijalan. Dek Kaira silakan ganti baju dulu," jawab Ummi dengan tatapan khawatir.

"Tidak apa-apa, Mi. Hanya kurang fokus aja." Aku meringis malu.

Perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik meski tanpa riasan itu, melengkung senyum. Mengelus lembut bahuku. Tatapan seorang Ibu yang belasan tahun kurindu, entah kenapa membuat mata ini memanas.

"Ummi tahu perasaan Dek Kaira. Harus menikah dalam keadaan darurat begini. Apalagi tanpa adanya kedua orang tua, rasanya sudah pasti sedih. Tapi Dek Kaira jangan khawatir dan takut ... Ummi dan Abah In syaa Allah akan menyayangi Dek Kaira selayaknya anak kandung. Tidak akan membeda-bedakan."

Berderai air mataku mendengarnya. Jujur, selama ini tak kutemukan kalimat yang menentramkan nan meneduhkan selain dari orang lain. Ummi dengan segala yang ada dirinya sangat setara sekali dengan perangai dan akhlaknya yang luar biasa. Rasanya bersyukur akan memiliki mertua sebaik beliau. Aku pun masih tak habis pikir, mau-maunya Ummi menerimaku ketika tahu aku mengarang cerita jika aku dan putranya sudah menuai dosa. Mana raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan amarah. Beda dengan Abah. Padahal bisa saja beliau menentangku atau paling tidak, membungkam bibir ini dengan segepok uang.

Sudahlah. Singkirkan halu unfaedah ini. Jangan hanya karena rayuan, pada akhirnya terbang dan terbuai. Nanti saat jatuh, baru tahu bagaimana rasanya sakit hati. Aku merutuki.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah 9 malam. Dari yang kudengar, acara ijab qobul akan dilaksanakan dua jam lagi. Sambil menunggu Uwaku dan beberapa saksi datang. Ummi menghampiri, membawa sesuatu ke arahku yang tengah duduk dipaling ujung. Aku tidak tahu apa yang beliau pegang, namun saat jarak begitu dekat rupanya sebuah kotak  kecil berwarna biru.

"Coba dibuka," titahnya semringah seraya mengulurkan padaku.

Gemetar aku menerimanya.

"Ini apa?"

"Buka saja. Suka tidak?"

"Cincin ... " selorohku dengan pandangan berbinar.

Modelnya simpel, tapi tidak menutupi nilai elegannya. Ummi pintar sekali memilah perhiasan. Tapi ngomong-ngomong, kapan beliau membelinya?

"Dek Kaira suka? Cincin ini turun temurun dari eyang Ummi. Dan sekarang, Ummi percayakan pada Dek Kaira. Semoga bisa menjaganya ya. Owh iya,  jangan menilai harganya, tapi lihat maknanya."

Owh, jadi ini warisan toh. Pantas saja modelnya langka dan tidak pasaran.

Kuanggukan kepala sebagai bentuk rasa senang.

"Suka sekali Ummi. Terima kasih sudah mempercayakan benda berharga ini pada Kaira. In syaa Allah semoga Kaira bisa menjaganya."

"Bismillahirrahmanirrahim. In syaa Allah bisa. Owh iya, ngomong-ngomong Dek Kaira mau mahar apa?" Tiba-tiba Ummi menanyakan mahar. Pertanyaan yang sudah kutunggu-tunggu sedari tadi. 

Aku menggigit bibir.

Apa harus ya, aku meminta mahar uang saja? 20 juta untuk ukuran orang kaya, rasanya tidak akan  rugi. Semisal aku dianggap  materialis. Tapi aku rasa hidup  harus realistis, bukan?

"Gimana, Dek Kaira? Mumpung ada Alkaf di sini. Kamu tinggal bilang saja." tanya Ummi berhasil menepis lamunanku. Dan baru kusadari ternyata ada Ustaz Alkaf tengah berdiri malas. Tidak luput dengan bibir cemberut.

Ah, abaikan. Lebih baik sekarang fokus pada tujuanku.

"K-kaira minta maaf sebelumnya. Tapi, boleh tidak Kaira meminta mahar uang saja?"

"Boleh silakan. Dek Kaira mau berapa?" tanya Ummi antusias. Sementara lelaki yang memakai kopiah putih, sontak mendelik tajam. Memberi tanda awas.

"Kenapa diam? Hmmm? Ayo bilang saja. Jangan sungkan." Lagi, Ummi berkata tak sabar. Disaat pikiranku dihimpit rasa tidak nyaman.

Tapi baiklah. Demi melunasi hutang Bapak, aku harus siap menanggung malu seumur hidup.

Kuremas jemariku, lantas tersenyum canggung.

"K-kalau maharnya Kaira minta 20 juta. Apa tidak keberatan?"

jadi aku memang sengaja bikin karakter Kaira ini agak sedikit berbeda dari karakter tokohku yang sebelumnya. Kalau Seira kalem, Airin dengan segala keplin-plannya. Sementara Kaira ... menurut kalian apa?

Yuklah sampai ketemu di next part.

GARA-GARA OPEN BO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang