"Lebih baik kita nikahkan saja mereka malam ini, Mi. Tidak ada jalan lain lagi. Ini aib. Abah tidak mau menanggung dosa." Kalimat pertama yang keluar dari bibir Kyai Hanif setelah lama bungkam dalam kebisuan, sontak membuat kami terkejut. Begitupun dengan lelaki yang tengah duduk bersimpuh pada Ummi-nya, langsung bereaksi dengan menggeleng kepala. Tanda kalau ia menolak keras menikah denganku.
Menyebalkan sekali. Lagipula aku sadar diri. Memangnya siapa aku? Cantik tidak. Miskin iya. Rasanya tidak sepadan harus bersanding menjadi menantunya orang alim yang begitu disegani. Ya, meksipun kelakuan anaknya tidak sinkron dengan orangtuanya.
"Al tidak bisa menikahi dia, Bah. Apa yang Abah dan Ummi lihat tadi, jelas-jelas hanya ketidaksengajaan. Alkaf hany---"
"Sengaja atau tidak. Apa yang tadi kalian lakukan dengan posisi seperti itu, apa kamu pikir itu bukan dosa besar? Abah tidak pernah membenarkan kamu untuk menyentuh wanita yang bukan mahrammu, Alkaf. Ingat, apa yang sudah kamu lakukan. Maka pertanggungjawabkan." Tegas sekali Kyai Hanif memotong perkataan putranya. Beliau yang tadi membuang muka, kini beralih menatapku.
Entah kenapa, gugup rasanya ditatap lekat seperti itu oleh beliau. Apalagi saat melihat sorot kecewa terpancar pada bola matanya. Sontak membuatku merasa malu dan takut.
"Dek Kaira, sudikah menikah dengan anak saya, Alkaf?"
Aku menelan ludah, begitu tuntutan pertanyaan itu melayang padaku. Ini bukan sebuah pinangan. Namun lebih tepatnya satu keterpaksaan untuk menutupi aib putranya, demi menjaga martabat keluarga.
Kuremas hijabku dengan perasaan bimbang dan bingung. Semua yang terjadi memang salahku yang terlalu agresif dan tak bisa mengendalikan emosi.
Ya Allah ... harus bagaimana aku?
Rasanya tidak mungkin kan menjelaskan maksud tujuanku. Mau di kemanakan urat maluku kalau saja Kyai Hanif dan Bu Hajjah Maryah tahu yang sebenarnya.
"Sebentar, Bah. Ummi mau tanya dulu. Dek Kaira, boleh Ummi tahu, sedang apa malam-malam begini berada di hotel seorang diri? Boleh jelaskan pada kami? Kebetulan memang kami baru saja menyelesaikan safari dakwah, Alkaf mengajak kami untuk istirahat di hotel. Lalu tidak sengaja melihat Dek Kaira di sini. " Bu Hajjah Maryah tiba-tiba bangkit, lalu duduk di dekatku. Mengusap lengan ini pelan.
Owh, jadi rupanya dia membuntutiku sampai berani masuk ke kamar hotel.
Tidak sopan!
Dan sekarang bisa kurasakan aura menegangkan menyelimuti ruangan yang besar, namun terasa pengap bagiku.
Kupejamkan mata. Mencari-cari alasan yang kiranya masuk akal dan dapat diterima. Lalu menarik napas dalam-dalam.
"A-aku ... tadi ... "
"Dia mau menggadaikan dirinya, untuk tidur dengan laki-laki hidung belang." Belum sempat menyelesaikan jawabanku, dengan frontalnya ustaz Alkaf mengatakan begitu gamblang tujuanku ke mari.
Bagus! Awas saja nanti.
"Astaghfirullah hal adziiim! Benar itu, Dek Kaira?" Pertanyaan dari Bu Hajjah Maryah plus dengan mata melototnya itu, sontak tak bisa kujawab karena lidahku mendadak kelu. Napasku langsung sesak. Hingga airmata yang tadinya menggenang di pelupuk, pada akhirnya tak bisa lagi kutahan. Dan yang bisa kulakukan saat ini adalah terisak. Terisak karena menanggung malu.
Aku malu. Sangat malu. Sekaligus kesal. Sekesalnya. Tak menyangka ustaz yang kupikir berperasaan, rupanya berani sekali mengusik privasi dan mempermalukanku. Hanya demi menyelamatkan nama baiknya sendiri.
"Dek Kaira, tidak kah sayang sama almarhum Bapak? Hmm? Tidak kah Dek Kaira tahu jika salah satu dosa terbesar adalah melakukan itu? Ummi menyayangkan sekali atas pilihan yang diambil setelah Bapak Kaira pergi adalah dengan ... berbuat zina. Padahal Dek Kaira setahu Ummi, putri yang penurut dan baik. Tidak bisa kah melakukannya menunggu halal dulu?" tanyanya lagi, sukses membuatku tertampar begitu keras.
Kalau bukan karena hutang Bapak yang tidak sedikit itu, mana mungkin aku mau melakukan pekerjaan haram. Saat itu pikiranku benar-benar buntu. Apalagi ketika tahu juragan Salim hanya memberikan waktu dalam kurun 2 hari.
"Maaf," jawabku. Hanya itu yang bisa kuucapkan. Aku kehilangan kata-kata. Pikiranku sekarang sudah diujung tanduk. Mengingat besok adalah hari terakhir. Dan aku masih bersibaku di sini.
Aku tidak mau dipolisikan. Aku juga tidak mau dijadikan budak nafsu juragan Salim yang tersohor seantero Bandung.
"Harusnya jadi perempuan itu bisa menjaga marwah. Bukan membuat masalah," sindir lelaki berbaju gamis putih, yang kini sudah duduk bersebelahan dengan sang Ayah tercinta.
Tampak rona puas dan ejekan terpampang nyata.
Waah. Rupanya dia cari perkara.
Baiklah. Kali ini aku terpaksa menyeretmu pada masalahku. Andai tadi mau menutupi aibku, tentu tak akan kulakukan cara licik ini.
"Marwah bagaimana ya? Coba jelaskan di depan orang tua ustaz. Bisa-bisanya ustaz berkata demikian. Lalu menyudutkan saya sendirian. Sementara apa yang sudah kita lakukan di belakang, sudah melanggar aturan agama bukan?"
"Maksudnya? Jangan cari masalah, Kaira! Ummi ... jangan deng--"
"Diam, Nak! Silakan katakan yang sebenarnya." Kyai Hanif menimpal saat putranya hendak mengelak. Wajahnya tampak sekali mengeras menahan amarah. Hingga suasana berubah menjadi hening.
Deg.
Deg.
Deg.
"Jadi, lelaki hidung belang yang disebut tadi. Sebenarnya .... sebenarnya adalah ustaz Alkaf sendiri. Putra Abah dan Ummi," ucapku, lantas memejam mata. Takut.
KAMU SEDANG MEMBACA
GARA-GARA OPEN BO
RomanceNiat hati Kaira ingin memesan BO karena terlilit hutang. Namun takdir malah membawanya pada masalah besar. Highrank : 1 poligami.