"Pake sambel sih pake sambel. Tapi jangan kebablasan!" Teh Mia mengomentariku, ketika aku menuangkan banyak sambal pada mangkuk bakso.
"Cuma 5 sendok. Lagian Mang Ayi juga nyantai. Iya kan, Mang?" tukasku seraya menaikkan satu alis pada lelaki berusia sekitar 40 tahunan.
"Tenaaang. Santai sama Mang Ayi mah," katanya sambil tertawa lepas.
"Tuuh, denger kan?" Sindirku. Kulihat Teh Mia malah berdecak, lantas mengambil bihun mentah ke dalam mangkuknya.
"Lagian apaan coba, Ra. Mau cari penyakit?? Tumben-tumbenan. Biasanya juga kamu tuh paling anti sama sambel. Ini pake cuka lagi. Hadeuuuh ... awas aja nanti malem nangis-nangis minta dianter ke klinik." Gerutuan Teh Mia sayangnya sama sekali tidak kugubris. Karena aku lebih memilih duduk di bangku, menaruh bakso dalam pangkuan untuk segera kulahap.
Untuk saat ini, otakku butuh kewarasan. Pikiranku perlu dijernihkan. Setelah apa yang kudengar dan kulihat tadi, rupanya aku butuh amunisi.
"Emang udah paling mantep sih makan bakso siang-siang begini," seloroh Teh Mia seraya melangkah, lalu duduk bersilang menghadapku.
Aku yang tengah menyuap separuh bakso ke dalam mulut, menatap sejenak kuah bakso miliknya. Rupanya tidak kalah pedas dariku. Terbukti dari warna cabainya yang lebih pekat. Kebayang kalau aku yang makan, bisa kupastikan dilarikan ke UGD karena Gerd-ku kambuh.
Masih kuingat sebelum 7 bulan, Bapak meninggal karena komplikasi. Kala itu di sore hari, aku ditawari Teh Mia makan mie setan yang tengah viral. Lantas karena penasaran ingin mencoba, aku berinisiatif mencicipi. Itu pun seingatku hanya beberapa sendok. Tapi efeknya sukses membuatku mengalami sesak, dan berujung dirawat 3 hari lamanya. Dan saat itu aku sudah mulai menjaga jarak dengan yang namanya asam, pedas. Namun sekarang, aku yang menyadari telah melakukan kekeliruan lagi, hanya berdo'a semoga perutku baik-baik saja.
"Kapan mau cerita?" Teh Mia yang tengah asyik mengunyah, menghentak lamunan.
Kuletakkan sendok pada mangkuk, tanpa selera. Lantas mengambil air mineral, meneguknya sampai tandas.
Apa aku bicara saja sama Teh Mia ya? Tentang semua yang terjadi, termasuk pernikahan siriku dengan Ustaz Alkaf.
"Kalau Kaira cerita, janji nggak bakalan disebarin? Maksudnya cuma kita berdua aja yang tahu," ucapku pada akhirnya. Aku tidak bisa lagi memendam segala keresahan sendirian. Setidaknya dengan menceritakan ini, Teh Mia bisa memberi solusi. Atau paling tidak memberiku dukungan. Secara tidak ada lagi orang bisa kupercaya, selain Bapak.
"Janji. Memangnya apa sih?" tanyanya dengan sorot serius. Kuhela napas ini, lantas menceritakan semuanya sampai detail-detailnya. Hingga kulihat Teh Mia terpaku, diam sejenak sebelum akhirnya menelan ludah beberapa kali. Mungkin masih tidak menyangka.
"Gila kamu, Ra! Sumpah ya, nekad banget. Untung Kyai Hanif dan Bu Hajjah Maryah baik banget, coba kalau nggak, udah diseret kamu ke penjara karena penipuan." Ucapan pertama yang keluar dari bibirnya sambil menggeleng kepala, membuatku membuang napas kasar. Menyesali lagi apa yang sudah tejadi.
"Terus Kaira mesti gimana kalau udah gini?" Aku mendesah. Jujur, ketika Teh Mia mengatakan itu, membuat bebanku malah menumpuk dan semakin dirundung rasa bersalah.
"Terima aja kenyataannya. Soal Ustaz Alkaf dan calon istrinya benci sama kamu, ya kamu mesti sadar diri aja sih. Jadi orang ketiga itu, sakit tahu. Teteh pernah ngerasain diposisi kamu. Kalau nggak sakit hati, kamu makan hati. Intinya kamu coba jalanin aja. Kalau ke depannya kamu nggak kuat. Mending minta talak lagi."
"Owh ya, saran Teteh sih mending kamu jangan datang ke pernikahannya. Jangan coba menampakkan diri di depan istrinya. Bukan apa-apa. Nanti bisa-bisa kamu ditampar kayak di sinetron. Ya meksipun tidak akan mungkin, karena yang Teteh liat sih, calonnya solehah. Nggak kayak kamu solehot."

KAMU SEDANG MEMBACA
GARA-GARA OPEN BO
RomanceNiat hati Kaira ingin memesan BO karena terlilit hutang. Namun takdir malah membawanya pada masalah besar. Highrank : 1 poligami.