nikah

978 77 5
                                    

GARA-GARA OPEN BO
05

Ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka binti Kaira Hanura Putri alal mahri asyruna milyuna hallan.

Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq.

Dalam satu entakan napas,  Ustaz Alkaf yang tengah menjabat tangan Uwaku lantang mengikrarkan ijab qobul. Lalu kemudian disusul ucapan Hamdallah dari penghulu dan para saksi.

Berbeda sekali dengan reaksiku kini.

Aku yang tengah duduk di belakang ditemani Uwa Ani, hanya terpaku tak percaya. Perasaanku sama sekali tidak bahagia. Aku merasa pernikahan ini penuh dengan keterpaksaan semata. Untuk dua orang yang sama sekali tidak saling menaruh rasa, kupikir ujungnya akan sia-sia dan hidup merana.

Ini permulaan. Jalan kami mungkin masih panjang. Dan bodohnya aku, sama sekali tidak memikirkan bagaimana hari-hariku ke depannya. Pikiranku begitu pendek dan mengandalkan kata nanti. Padahal jelas, apa yang sudah kulakukan dengan segala kebohonganku akan berimbas pada lembah masalah.

Dan entah besok atau nanti. Apa yang sudah kuciptakan, pasti akan terungkapkan. Dan aku harus siap dijatuhi hukuman.

Apalagi berada satu atap dengan orang yang jelas-jelas tengah mengibarkan permusuhan, bisa-bisa tubuhku akan mengusut karena banyak tekanan.

Kalau sudah begini, aku harus siap dengan segala resiko yang terjadi nanti.

Kupejamkan mata ini. Berharap yang kulihat sekarang hanya sekadar mimpi.

Tapi nyatanya....

"Bodoh, ih." Refleks aku memukul kepalaku. Hingga meringis sakit.

"Apanya yang bodoh, Ra?" Wa Ani berbisik dengan alis mengkerut.

Eh!

Aku gelagapan.  Takut yang lain akan mendengar. Namun ketika pandangan ini menyapu sekitar, rasanya tidak ada yang perlu aku takutkan, karena sepertinya mereka tak terusik. Termasuk Ummi.  Lalu detik kemudian aku pura-pura menguap.

Hoaaam!

"Bukan bodoh, Wa. Tapi pengen bobo ih," jelasku pelan sambil menyengir.

Uwa Ani sontak tertawa kecil. Lantas menutup mulut.

"Sabar dulu atuh. Pan nanti juga bobo bareng' sama si Aanya. Sok tidak sabaran ini mah. Hehehe ... eh, itu disuruh ke depan." Tunjuk Wa Ani ketika Ustaz Alkaf menoleh dengan tatapan tak bersahabat.

Dengan langkah malas, aku duduk menghadap ke arahnya. Lalu menunduk ketika Ustaz Alkaf menaruh tangannya di atas ubun-ubunku, seraya melafazkan do'a dengan fasih.

Begitu selesai, tanpa banyak kata, dia menyematkan cincin pada jari manisku dan ditutup dengan foto bersama.

Tak lama, beberapa tamu undur diri karena waktu sudah memasuki tengah malam. Disusul kedua Uwaku karena putri bungsu mereka tengah sakit. Tertinggal hanya ada Ummi dan Abah yang sepertinya sudah siap-siap hendak pulang.

"Ummi dan Abah mau pulang juga?" tanyaku gelisah.

"Iya lah. Masa tidur di sini sama penganten. Nanti ganggu yang ada." Ummi terkekeh.  Sementara hatiku mencebik. Tidak tahukah kalau jantungku sedari terus berdebar ketakutan. Takut menghadapi balasan apa yang akan Ustaz Alkaf tumpahkan. Secara aku sudah memfitnahnya sampai berujung dinikahkan paksa.

Duuuh ... apa yang harus aku lakukan? Ikut Ummi pulang saja kah? Tapi mana mungkin. Atau kabur saja? Tidak-tidak.  Justru yang ada makin menambah masalah.

"Kalian menginap saja satu malam atau kapanpun terserah kalian. Nanti kajian rutin Minggu ini biar Abah yang gantikan. Iya kan Bah?" tanya Ummi sembari mengambil tas yang tergeletak di meja.  Sedang Abah yang tengah duduk dengan Ustaz Alkaf di kursi, hanya mengangguk. Sukses membuatku terpukul rasa bersalah.

Sejak pengakuanku, Abah berubah menjadi pendiam dan tidak banyak bicara. setiap kali aku memandang Abah, tampak sekali sorot matanya begitu lelah.  Untuk seorang pemuka agama yang jadwal dakwahnya padat dari satu kota ke kota lain, tak jarang kondisi beliau selalu drop. Sebagai tetangga yang hanya terhalang 3 rumah, tentu kabar apapun tentang keluarga Kyai Hanif selalu sampai pada telinga.  Dan sekarang beban beliau semakin tambah memupuk, saat tanpa sopannya aku hadir menambah masalah.

Semua gara-gara hutang Bapak! Aku mendengkus kesal.  Coba saja beliau sadar dan segera bertaubat untuk tidak lagi melakukan judi, pasti keadaannya tidak akan begini.

"Tidak bisa, Mi. Besok  pagi Altaf ada kajian bulanan di Majalengka. Ditambah pulangnya harus mampir dulu ke cabang, ada rapat yang tidak bisa dibatalkan." Tiba-tiba lelaki yang tengah melepaskan kain putih yang melilit di kepalanya, menimpal tegas. Sangat kentara sekali dibalik alasannya, Ustaz Alkaf memang sengaja berusaha merentang jarak dariku.

Sebuah gagasan yang bagus sih.  Patut kusyukuri. Setidaknya dengan pertemuan kami yang terhitung jari nanti, aku bisa leluasa dengan duniaku sendiri.

"Terserah mereka saja, Mi. Sudah halal ini. Tinggal mengatur waktu. Lebih baik kita pulang. Abah lelah ingin istirahat. Dek Kaira, Abah pulang dulu."

"Oo-owh iya, Bah. Hati-hati di jalan." Aku segera menghampiri, meraih punggung tangan Abah dan Ummi bergantian, kemudian mencium dengan takjim.

"Ummi pulang dulu ya, besok ke rumah. Nanti biar Alkaf yang antar sebelum berangkat kajian," pinta Ummi yang tentunya kuangguki dengan senang hati.

"Biar Alkaf antar ke bawah."

"Tidak usah. Kamu di sini saja." Ummi menolak saat lelaki jangkung itu menawarkan diri dan ikut serta berjalan menuju pintu. Namun penolakan Ummi rupanya tidak diindahkan, karena Ustaz Alkaf  sudah lebih dulu mendahului.

Agak keras kepala juga, ya. Aku bergumam dalam hati serta merta melipat kedua tangan di dada.

Lalu detik kemudian, ingatanku tertuju pada kotak putih berisi uang mahar, tergeletak  di atas kasur. Sebelum Ustaz Alkaf kembali, aku harus segera mengamankan pada tas, lalu menyimpannya secara sembunyi. Dan besok akan kuserahkan pagi-pagi pada juragan Salim.

"Kamu sembunyikan apa di bawah sana?!" Suara seseorang dari belakang, sontak membuat tubuh ini menegang. Lututku lemas. Pun dengan detak jantungku yang berdentam hebat.

Kok bisa-bisanya Ustaz Alkaf datang lebih cepat di luar dugaan?

"Kamu sembunyikan apa dibawah sana?!" Lagi tuntutan pertanyaannya, membuatku hampir menangis' karena takut.

"B-bukan apa-apa!" Aku berucap gugup.

"Minggir! Saya mau lihat!" Perintahnya sengit.

Belum sempat dia mendorong badanku, secepat kilat, aku refleks berdiri hingga tiba-tiba hilang keseimbangan. Dan mau tak mau, kutarik paksa gamisnya hingga kami terjatuh ke atas ranjang dengan posisi dahi saling berbentur.

Aw, sakiiit! Aku merintih.

Dan tiba-tiba keadaan menjadi hening.

.

.

.

"Kaira .... " Tiba-tiba dia memanggilku dengan tatapan yang sulit kubaca.

"Heh?" Aku membeo.

Berada di bawah tatapannya dengan posisi kami yang seintim ini, jelas sekali membuatku gugup. Apalagi ketika embusan hangat napasnya menerpa wajah, membuatku harus menelan ludah susah payah.

Jangan. Jangan sekarang. Aku menggeleng takut.

"Mulutmu."

  "M-mulutku, k-kenapa memangnya?" tanyaku bingung.

"Bau."

GARA-GARA OPEN BO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang