GARA-GARA OPEN BO
08Ahmad Alkaff Zulfikar.
Putra bungsu dari Bapak KH. Hanif Zulfikar & Ibu Hajjah Aisyah Maryah.
&
Aghnia Fatimatuzzahra.
Putri pertama dari Bapak H.Rahis Abdurrahman & Ibu Mairah Khadijah.Aku menyandarkan punggung pada jendela. Masih tak percaya dengan apa yang baru kubaca. Pernikahan Ustaz Alkaf dan Mbak Aghnia bukan tidak mungkin mendadak begitu saja, melainkan memang sudah dirancang sejak lama. Dan aku sendiri dengan tanpa malunya telah berhasil merenggut hari bahagia mereka. Pantas saja saat Abah menyuruh kami menikah malam itu, dia dengan tegas menolak tidak bisa.
Sampai waktu itu, sempat aku melihat wajah kacau Ustaz Alkaf begitu ke luar dari kamar. Disusul Abah dengan aura lelahnya. Dan bodohnya, aku sama sekali tidak menyadari konflik apa yang sebenarnya sedang terjadi . Karena saat itu yang kupikirkan adalah bagaimana caranya melunasi hutang dan secepatnya mendapatkan uang. Uang dengan jalur penuh dosa.
Ya, aku memang bodoh. Aku begitu egois. Mengedepankan nafsu dibanding akal. Aku akui.
Kalau sudah terlanjur begini, aku harus bagaimana? Apa yang akan kulakukan? Meminta mengakhiri pernikahan singkat ini, tapi bagaimana dengan mahar yang sudah diberi? Aku tidak akan mungkin bisa mengembalikannya detik ini. Aku butuh waktu. Aku butuh bekerja untuk melunasi. Dan itu pun mungkin bisa bertahun-tahun lamanya.
Meskipun aku yakin mereka tidak akan meminta kembali, namun aku harus tahu diri. Mesti berkaca diri.
Untuk saat ini yang harus kulakukan adalah ke rumah Ummi segera. Meminta maaf karena sudah mengacaukan rencana bahagianya. Aku pun akan berusaha jujur dengan apa yang terjadi sebenarnya. Tak peduli dengan rasa malu yang bertengger kepala, yang terpenting saat ini adalah bagaimana caranya agar pernikahan Ustaz Alkaf dan Mbak Aghnia terlaksana tanpa kendala.
"Mau ke mana lagi?" Baru saja mengunci pintu dan hendak memutar tubuh, Teh Mia sudah berdiri sambil bersidekap di depanku. Dia benar-benar masih penasaran rupanya. Terbukti dari sorot mata curiganya. Aku yang dalam mode bersitegang tinggi, berusaha menampilkan wajah sesantai mungkin. Berpura-pura mengibas hijab hitamku, seolah tengah kehausan.
"Beli boba ke Bi Emir di depan. Teteh mau titip?"
"Tumben. Boleh deh. Titip 2 bungkus. Satu jangan pake es. Satunya lagi pake. Uangnya kamu talangin dulu, biasa," pintanya yang membuatku memutar bola mata. "Kebiasaan. Yaudah, kalau gitu aku jalan dulu. Takut keabisan nanti."
"Jangan lama-lama." Teriaknya. Tapi aku tidak mengindahkan. Urusan Teh Mia beserta boba-nya akan kukesampingkan dulu. Karena fokusku saat ini adalah menuju rumah Ummi.
Karena sudah terlanjur salah arah, pada akhirnya kuputuskan untuk memutar jalan lewat belakang. Tak peduli kaki ini akan merintih sakit, karena tajamnya ranting yang menusuk. Karena kalau dari dari arah depan, aku tidak yakin akan tidak banyak orang di sana. Secara meksipun jam sudah siang begini, komplotan geng ibu-ibu tetap suka nongki sambil membeli baso Mang Ayi. Dan itu akan menimbulkan praduga kecurigaan bagi mereka.
"Aish! Sakiit ... " Aku meringis ketika tak sengaja sebuah beling kecil menusuk sisi jempolku. Beruntung tidak ada drama darah mengalir deras, hanya sedikit bercak merah dan rasa ngilu yang luar biasa. Sehingga begitu sampai di belakang dapur Ummi, langkah ini terpincang-pincang.
"Astaghfirullah! Dek Kaira kenapa jalan belakang? Kan sudah tahu banyak sampah." Ummi yang tengah menenteng bakul nasi tampak kaget. Lalu buru-buru membuka pintu besi.
"Tadi abis dari rumah temen, tanggung deket ini, jadi jalan sini." Aku berkilah. Sementara Ummi hanya geleng-geleng kepala.
"Ayo, masuk. Alkaf sudah datang. Dia lagi di kamar, mungkin tidur."
"Lho, Mi. Bukannya ke Majalengka ya?" tanyaku sembari berjalan mengekori dari belakang.
"Katanya sih tidak jadi. Ummi kurang paham. Coba tanya saja. Dek Kaira sudah makan?" tanyanya. Langkah Ummi kini berhenti di wastafel, menuang beras ke dalam wadah besar. Ummi begitu cekatan sekali diusianya yang senja. Berbeda denganku. Rasanya jiwa minderku tak ayal mendadak surut. Aku semakin sadar, kalau aku memang tidak akan layak berada di sini. Ya, memang harusnya tahu diri. Siapa aku? Dengan tidak tahu malunya, masuk tanpa permisi.
Kuhela napas ini. Bingung harus memulai pembicaraan ini entah dari mana. Tidak mungkin kan tiba-tiba mengeluarkan surat undangan, disaat Ummi tampak hendak memasak.
"Ummi mau masak apa?" Pelan, aku bertanya. Menyeret langkah ini mendekat padanya.
"Nyiapin makan siang buat Abah. Tadi Mbak Yuni ada halangan. Tidak bisa bantu."
"Yaudah, Kaira bantu, ya?" tawarku. Namun Ummi malah menggeleng.
"Temui suamimu saja. Tawari mau dia apa? Itu jauh lebih baik daripada bantu Ummi. Ayo, sana." Titahnya. Aku sempat enggan. Bukan apa-apa, hanya malu saja dengan diri ini. Aku juga tidak tahu harus memulai percakapan macam apa nanti, disaat acap kali kami berduaan pun, Ustaz Alkaf selalu menghindar dan memasang wajah dari negeri kutub. Kan ujungnya jadi dongkol. Aku mendengkus kesal kalau ingat.
Tapi karena di dapur pun aku tidak ada gunanya. Lebih baik kuputuskan menuju kamar putranya. Tadi Ummi bilang, Ustaz Alkaf ada di kamar depan. Tapi begitu aku mengendap masuk, di dalam tidak ada siapa-siapa. Kosong. Ke mana, ya? tanyaku dalam hati, sembari mengedarkan pandangan. Sampai tak lama suara pintu dari arah samping terbuka. Dan aku langsung menoleh.
"Astaghfirullah hal adziiim!" Aku memekik sambil memejam mata, ketika sosoknya ada, namun tanpa busana.
Haish! Mataku ternodaaa.

KAMU SEDANG MEMBACA
GARA-GARA OPEN BO
RomanceNiat hati Kaira ingin memesan BO karena terlilit hutang. Namun takdir malah membawanya pada masalah besar. Highrank : 1 poligami.