keputusan

588 79 2
                                    

"Saya--"

"Alkaf!" sela Abah dengan nada tegas. Membuatku terperangah. Begitupun Ummi di sampingku.

"Apa ada yang salah?" tanya Ustaz Alkaf sembari membalas tatapan Abah. Sampai kulihat Abah membuang muka. Mengusap wajahnya gusar.

"Dia sudah mengakui kejujurannya. Lalu salahnya di mana, kalau dia sadar diri untuk meminta berpisah?" tanyanya, yang membuatku tertunduk. Meremas ujung hijab, kuat-kuat.

"Lepas dari segala kesalahan yang dia lakukan. Coba lah menahan ego untuk tidak mudah mengatakan talak sekenanya!" Sedikit Abah menaikkan oktaf suaranya. Tampak gentar dengan ucapannya.

"Tapi bagaimana dengan perasaanku? Perasaan Aghnia?" Dia menunjuk dadanya. Seperti menahan kekesalan di hatinya.

"Itu konsekuensi yang harus kalian terima. Yang terjadi sekarang, bukan lagi soal kamu dengan Aghnia. Tapi ini juga berlaku dengan Kaira."

"Poligami memang berat dan sulit. Tapi ketika Allah sudah menghendaki, kita tidak bisa mengelak. Yang terpenting sekarang bagaimana caranya berlaku adil. Ingat, Nak. Apa yang kamu ikrar kan saat ijab qobul, bahwasannya kamu harusnya paham bukan,  sudah berjanji dengan siapa?" Abah berbalik membalas tatapan tajam pada putranya.

"Abah ..., " Aku yang tidak nyaman melihat keadaan yang semakin memanas, segera turun dari kursi, menyeret tubuh ini, lantas berlutut di depannya. "Mohon maaf jika Kaira lancang, tapi Kaira rasa Abah tidak perlu lagi menyentil masalah tanggung jawab pada Ustaz Alkaf. Di sini murni Kaira lah yang salah tadinya. Jadi lebih baik Kaira memilih mundur saja. Lagipula untuk apa mempertahankan pernikahan kalau tidak ada cinta di dalamnya? Yang ada justru kami akan saling menyakiti satu sama lain. Kaira harap Abah mengerti dan mau menerima keputusan kami," ucapku sembari menangkup kedua tangan ini. Memohon agar Abah mengerti.

"Abah dan Ummi pun dulu menikah tanpa cinta. Tapi sekarang? Kami saling mencintai seiring waktu. Di sini Abah bukan mencampuri urusan rumah tangga kalian. Hanya saja sebagai orang tua, Abah perlu mengingatkan jika sebagai lelaki itu harus bisa bertanggung jawab. Apapun itu kendalanya. Sebisa mungkin harus diselesaikan dengan baik. Rasanya Abah tidak perlu menjabarkan lagi bagaimana hukumnya tanggung jawab. Alkaf sendiri pasti paham bukan?" Sindir Abah yang membuat putranya diam membisu.

"Abah beri waktu kalian untuk saling mengenal dulu. Jika memang tidak ada lagi yang bisa dipertahankan, maka Abah lepas tangan. Perihal Aghnia, biar nanti kita musyawarahkan bersama. Dan satu lagi ... " Sebelum Abah bangkit dari kursinya, ia menatap kami bergantian.

"Jangan meminta Abah untuk mengerti. Karena justru orang tua lah yang jauh lebih memahami." Tutupnya sambil melangkah pergi.

"Ini maksudnya Kaira tidak jadi bercerai?" bisikku pada Ummi, begitu Ustaz Alkaf ikut serta melenggang pergi. Aku yang notabene-nya kurang begitu paham ilmu, mencoba menafsirkan sendiri.

Ummi yang sedari tadi diam membisu, menggeleng kepala. "Tidak."

"T-tapi Mi, Kaira tidak mau menjadi orang ketiga. Kaira juga tidak mau merusak kebahagiaan Ustaz Alkaf. Kalau begini, apa tidak akan ada yang saling tersakiti nantinya?"

Ummi terlihat kebingungan. Lantas menatapku sendu. "Abah hanya menyampaikan apa yang dia ketahui. Kalau soal ini, Ummi harap kalian bisa saling menerima satu sama lain. Untuk sekarang sebaiknya kita turuti dulu mau Abah bagaimana. Soal Alkaf, beri dia waktu untuk bisa berdamai dengan keadaan."

"Owh ya, soal mahar itu, jangan menganggap itu sebuah hutang atau apa pun. Asal Dek Kaira tahu, itu sepenuhnya sudah menjadi hak milik istri."

"Tapi kan---"

"Kalau Dek Kaira tidak enak hati, anggap saja itu pemberian dari Ummi. Ummi justru senang kalau uang itu Dek Kaira gunakan untuk membayar hutang."

"Tapi, Mi. Kai--"

GARA-GARA OPEN BO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang