Chapter 7

2.2K 284 15
                                    

Tasya mencoba untuk tenang dihadapan pria itu, agar dia tidak ingin terlihat gugup. "Om Bian, apa kabar?" Tasya lalu mencium telapak tangan kakek dari anaknya itu.
Ya, laki-laki yang ada didepan Tasya saat ini adalah Fabian, ayah kandung Rafa, sekaligus sahabat baik David. Laki-laki itu  masih terlihat sangat gagah dan tampan diusianya yang lebih dari setengah abad.

"Alhamdulillah, kamu kemana saja, Abi sudah seperti orang gila mencari kamu."

Degg

'Rafa mencariku? Untuk apa?' batin Tasya.

"Aku melanjutkan kuliah di Jerman, Om."

"Abi bilang kamu tiba-tiba menghilang tanpa kabar, selama ini dia selalu mencari kamu." Fabian memang sering menanyakan kabar Tasya pada putranya, saat Rafa mengatakan kehilangan kontak dengan gadis itu, Fabian juga ikut sedih.

"Maaf, aku emang ga bilang sama siapa-siapa termasuk Rafa. Aku ingin fokus sama kuliahku di sana agar bisa cepat pulang."

Fabian mengangguk mengerti, pria yang berprofesi sebagai dokter itu terlihat begitu senang bertemu kembali dengan putri sahabatnya. Sedari kecil memang Tasya sering bermain dirumahnya bersama Chika, jadi Fabian sudah menganggap Tasya seperti anak kandungnya sendiri.
(Yang masih belum mengerti dengan hubungi mereka, baca cerita Bunga Malam terlebih dulu).

"Abi pasti senang kamu sudah kembali. Kamu akan tinggal di Indonesia 'kan?"

"Iya, Om. Sekarang aku yang pegang perusahaan daddy,"

"Baguslah. Oy, ya, lusa kamu harus datang keacara pertunangannya Abi."

"Tu-nangan?" Hati Tasya tiba-tiba sakit mendengar pria yang masih ia cintai itu akan bertunangan. Wanita itu tersenyum getir, sudah pasti Rafa akan mencintai wanita lain, karena sejak dulu, mantan kakak tirinya itu tidak pernah mencintainya.

"Iya, lusa hari pertunangan Rafa dan Cantika, kekasihnya."
Fabian tidak sadar jika ucapannya telah membuat Tasya  sedih.

"Emm, boleh minta tolong ga, Om," ujar Tasya.

"Minta tolong apa?"

"Om Bian jangan bilang-bilang sama Rafa, kalau Om, ketemu aku. Soalnya aku ingin memberikan dia kejutan."

"Oke, Om ga akan bilang pada Abi, kalo kamu udah di Indonesia. Tapi kamu akan datang 'kan ke acara pertunangan mantan kakak tirimu, itu?"

"Akan aku usahakan, Om. Kalau aku ga ada kerjaan mendadak, aku pasti datang." Tasya tersenyum seolah-olah hatinya baik-baik saja. 'Maafkan aku, Om Bian, aku ga akan pernah datang,' ujar Tasya dalam hati.

"Ngomong-ngomong kamu sedang apa di sekolah ini?"

"Oh, itu ..., aku ..., sedang lihat-lihat aja, Om," ujar Tasya gugup. "Om sendiri sedang apa disini?"

"Om memang sering kesini, karena Om salah satu donatur di sekolah ini." Fabian yakin ada yang di sembunyikan Tasya, melihat gelagat mencurigakan dari gadis itu.

"Oh, kalau gitu, aku duluan, Om. Salam juga buat Fani." Tasya berharap Fabian tidak menceritakan pertemuan mereka pada Rafa, karena ia belum siap bertemu dengan pria itu.

"Hati-hati di jalan."

Setelah kepergian Tasya, Fabian bergegas menemui seseorang, dia yakin Tasya datang ke sekolah ini dengan maksud lain.
Fabian memang sudah sejak lama menjadi donatur tetap di sekolah ini. Dia juga sering berkunjung dan berinteraksi dengan anak-anak yang bersekolah disini.

"Selamat siang Pak Fabian," sapa Kepala Sekolah. Saat ini ayah dua anak sudah berada di dalam sekolah.

"Selamat siang, Pak." Kedua laki-laki itu terlihat sangat akrab.
"Oh, ya saya tadi melihat seorang perempuan cantik keluar dari sini, apa dia juga seorang donatur disini?"

"Kalo maksud Pak Fabian, bu Tasya, dia bukan donatur disini, dia datang kesini karena putrinya  akan masuk ke sekolah ini, Pak," ujar Kepala Sekolah membuat Fabian kaget.

"Putrinya?" 'Sejak kapan Tasya punya anak?'

"Iya, Pak. Pindahan dari Jerman."

Sepertinya Fabian harus kembali menemui Tasya, "Berapa umur anak bu Tasya? Dan kenapa anak itu masuk sekolah ini?"

"Menurut data pribadinya, saat ini anak itu berusia tujuh tahun, Pak. Dan kenapa masuk sekolah ini, karena anak bu Tasya seorang tunanetra."

Mata Fabian membulat sempurna mendengarnya, "Tunanetra? Maaf saya hanya kaget."

'Anak siapa yang Tasya asuh?' Fabian masih belum percaya kalau Tasya sudah punya anak, dia harus memastikannya sendiri.

"Terimakasih atas infomasinya, Pak."

****

Tiba di rumah, Tasya langsung mencari putrinya. Tidak seperti di Jerman, disini Tasya mempunyai banyak asisten rumah tangga, dan beberapa sopir pribadi untuknya dan Mara.

"Mara mana, Bu?" ujar Tasya pada salah satu asisten yang menjaga Mara. Wanita itu sudah bekerja dengan Tasya sejak ia pindah ke Jerman dan dia yang membantu Tasya mengurus Mara. Bu Nia namanya.

"Ada di ruangan musik, Bu. Lagi main piano, tapi katanya dia laper, ini saya buatkan makanan ringan," kata Nia, ditangannya terlihat sepiring kentang goreng dan jus apel.

"Sini, biar saya yang memberikannya pada Mara. Bu Nia boleh pergi."

"Ini, Bu. Saya permisi."

Dirumah ini memang lengkap, ada ruang musik, ruang olahraga, home theater, sengaja David bangun untuk anak-anaknya.

Dari kejauhan, Tasya dapat mendengar putrinya sedang bermain piano. Entah bakat siapa yang turun pada Mara, setahu Tasya, baik dirinya atau Rafa, tidak terlalu suka dengan musik. Tapi meski begitu, ia sangat bangga pada putri semata wayangnya, kelebihan-kelebihan pada diri Mara, menutupi satu kekurangannya.

"Hallo Princess, Mommy datang." Tasya berjalan menghampiri putri kecilnya, lalu duduk di bangku yang ada disamping Mara.

Mendengar suara sang mommy, Mara segera menghentikan aktivitasnya. "Mommy. Bagaimana sekolah barunya?" ujar Tasya antusias.

"Emmm, menurut Mommy, sih, bagus, nyaman. Besok kita lihat bersama-sama. Di sana juga ada banyak anak-anak seusia kamu."

"Benarkah? Semoga mereka seperti teman-temanku di Berlin."

"Mommy yakin pasti lama-lama kamu akan terbiasa di sekolah baru." Mara memang sempat bimbang, dia tidak ingin pisah dengan sekolah dan teman-temannya yang ada di sekolah lama, juga tidak bisa menolak keinginan ibunya, karena Mara tahu mereka harus kembali ke tanah air.

"Mara harap gitu, Mom. Meski tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan baru." Tasya langsung memeluk putrinya, Mara-lah yang selama ini menjadi penyemangat hidup,  satu-satunya keluarga yang tersisa, setelah ibunya meninggal dunia, sebulan setelah Tasya melahirkan.

"Ngomong-ngomong Mara udah nelpon uncle Dimas?"

"Udah barusan, katanya uncle Dimas akan datang ke Indonesia, bulan depan."

"Benarkah? Kenapa uncle ga bilang sama Mommy." Tasya pura-pura kesal, dia memang tidak tahu kalau pria itu akan pulang ke tanah air bulan depan.

"Katanya kejutan. Upss." Mara langsung menutup mulutnya, "Seharusnya Mara ga boleh bilang pada Mommy."

"Haaaaa, sekarang Mommy sudah tahu rahasia kalian."

"Tapi jangan bilang uncle, ya, kalau Mara kasih tau, Mommy," gadis kecil itu terkikik geli.

Meski Tamara menyayangi Dimas dan sangat dekat dengan laki-laki itu, tapi ia pernah berkata pada Tasya, kalau daddy-nya tetap menjadi pria nomor satu dan cinta pertama Mara, tidak akan pernah tergantikan oleh laki-laki manapun. Dan Mara juga bilang kalau Tasya tidak boleh menikah dengan Dimas.

'Lusa Rafa akan bertunangan, bagaimana menjelaskan pada Mara kalau Mommy dan daddy tidak akan pernah bersama?'

Bersambung,

Minggu, 27 Maret 2022
THB

Ex Stepbrother Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang