Chapter 11

2.1K 276 15
                                    

Tasya menghela nafas saat memasuki ruangannya, setelah lepas dari Rafa, kini ia harus bertemu dengan Fabian yang sudah menunggunya di kantor. Entah jam berapa pria paruh baya itu datang ke sini, apa laki-laki itu tidak ada kerjaan? Yang Tasya tahu, seharusnya kakek satu cucu itu berada di rumah sakit.

"Selamat pagi, Om," sapa Tasya pada Fabian. Kemudian mencium tangan laki-laki itu.

"Pagi."

"Om udah lama nunggu?"

"Enggak, Om baru datang, kok." Tasya lalu mempersilakan Fabian duduk di sofa panjang yang ada di ruangan.

"Jadi, apa yang ingin Om bicarakan?" ujar Tasya tanpa basa basi.

"Apa benar kamu sudah punya anak?" tanya Fabian to the point.

Tasya mengangguk, percuma dia berbohong pada sahabat ayahnya ini. "Iya, Om, aku udah punya anak yang sekarang berusia tujuh tahun."

"Tujuh tahun?" Fabian mengernyit kaget. "Kamu sudah menikah?"

"Iya, saat ini putriku berusia tujug tahun. Dan ..., aku belum menikah," ujar Tasya santai.

"Dia anak hasil satu malam aku  dengan seorang laki-laki." Tasya tidak peduli setelah ini Fabian mau menganggapnya seperti apa.

Fabian tampak tidak peduli, semua orang punya cerita masing-masing. Dia tidak ingin menghakimi Tasya, biarlah itu menjadi urusan putri dari sahabatnya tersebut.

"Apa karena itu kamu tinggal di Jerman?" Sekarang Fabian mengerti kenapa Tasya menghilang tanpa jejak.

"Salah satunya itu, Om."

"Lalu, siapa pria itu? Apa dia tau kehadiran putrinya?"

Tasya menggeleng, untuk saat ini dia tidak akan memberitahu siapa ayah anaknya pada orang lain. "Aku tidak kenal dengan dia, malam itu aku mabuk, jadi tidak tahu siapa pria yang tidur denganku," ujar ibu satu anak itu, sebelum Fabian menanyakan hal lainnya.

'Maafkan aku, Om. Aku terpaksa berbohong,' batin Tasya.

"Lalu, kenapa dia masuk ke SLB?"

"Putriku tidak bisa melihat sejak lahir ...," Tasya kemudian menceritakan riwayat kesehatan Mara.

"Om salah satu donatur di sekolah itu. Jika ada waktu, Om akan menemui putrimu. Maaf sudah mengganggu waktumu, Om hanya penasaran saat kita bertemu di sekolah, jadi Om menanyakan langsung pada kamu."

"Enggak apa-apa, Om. Itulah keadaanku saat ini. Aku sudah menjadi seorang ibu, meski aku belum menikah. Aku sendirian membesarkan putriku selama ini."

Fabian jadi teringat istrinya, dulu Bunga juga membesarkan putra mereka seorang ibu tanpa ada dirinya di samping wanita itu.

"Om hanya bisa berdoa, semoga suatu hari nanti, kamu mendapatkan laki-laki yang tulus mencintai kamu dan Mara."

"Amin. Makasih, Om."

"Atau kamu udah ada calon?"

"Belum, saat ini aku hanya ingin fokus pada masa depan putriku. Soal pendamping, aku belum memikirkannya."

Setelah mendapatkan jawaban atas semua pertanyaannya, Fabian pamit pulang. Laki-laki harus pergi ke rumah sakit.

*****

"Bagaimana sekolahmu hari ini, Sayang?" tanya Tasya pada putrinya. Mereka tengah menikmati makan malam.

"Seru, Mom. Hari ini Mara belajar piano sama bu guru, dia bilang permainan Mara sangat bagus," jawab Mara bangga, gadis itu memang sudah belajar main piano dari usia lima tahun. "Oh, ya, Mara juga kepilih lomba bermain piano mewakili sekolah."

"Wahh, kapan waktu lombanya?" Tasya mengusap surai hitam putrinya.

"Dua minggu lagi, jadi mulai besok Mara harus rajin latihan."

"Mommy bangga padamu, Nak."

"Apa Daddy juga akan bangga sama Mara?"

"Of course,"

"Mommy bisa ga, nyuruh Daddy hadir pas acara lomba nanti?" ujar gadis kecil berkulit putih itu penuh harap.

Hati Tasya kembali sesak jika putrinya sudah membahas tentang ayahnya. "Mommy ga bisa janji, karena sekarang, Daddy sedang tugas di luar kota."

"Kenapa Daddy ga nemuin Mara sebentar aja, cuma lima menit doang. Mara pengen banget ketemu Daddy."

"Nanti Mommy akan coba menghubungi Daddy."

"Benarkah?"

"Semoga Daddy kamu ga sibuk." Tasya kembali merasa bersalah karena telah berbohong pada putrinya, "Maafin Mommy, Sayang. Mommy belum bisa mewujudkan keinginanmu."

****

Sudah seminggu setelah Rafa menemuinya, Tasya belum berjumpa lagi dengan laki-laki itu, tepatnya Tasya yang menghindar agar tidak bertemu dengan ayahnya Mara. Saat ini Tasya sedang beristirahat setelah memimpin rapat selama hampir tiga jam. Meski baru beberapa minggu menjadi CEO diperusahaan ayahnya, tapi kini kemampuan Tasya dibidang bisnis harus diacungi jempol. Dibantu oleh orang kepercayaan David, Tasya terus menunjukkan bakatnya didunia bisnis.

"Hallo, Bu Fiza, ada yang bisa saya bantu?" Tasya menerima panggilan dari wali kelas Mara.

"Mara mengalami kecelakaan, Bu Tasya. Saat ini dalam perjalanan menuju rumah sakit," ujar Bu Fiza dari ujung sana.

"Rumah sakit mana, Bu. Saya segera kesana." Tasya langsung bergegas menuju rumah sakit dimana putrinya dibawa. Ia terlihat begitu panik.

"Ya Tuhan, lindungilah putri hamba."

Bersambung,

Senin, 25 April 2022
THB

Ex Stepbrother Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang