EPILOG (2)

1.5K 123 32
                                    

Kaki Sarada melangkah dengan cepat. Di telinganya tersampir sebuah ponsel yang ia jepit dengan bahu. Hal itu dikarenakan saat ini tangannya penuh dengan buku.

"Iya. Aku kesana." Ucapnya lalu sedikit merapikan buku di lengannya agar ia bisa mengambil ponsel dengan tangan yang bebas.

"Hai Sarada!" Gadis ini menoleh. Didapatinya Tsunade, yang masih mengabdi di rumah sakit Konoha. Tujuh belas tahun berlalu, tetapi profesor itu masih saja awet muda. Sarada bahkan sampai dibuat bingung. Sarada pertama kali mengetahui paras Tsunade dari album foto milik Sakura. Mengapa wajah Tsunade tidak pernah berubah?

"Halo, prof." Balasnya tersenyum.

"Hei. Kau masih saja kesini? Tidak ambil cuti?" Sarada menggeleng. "Ini sedang mengurusnya. Cutinya sekalian saja." Tsunade pun paham maksudnya.

"Ah, sekalian sampai bulan madu maksudmu?" Sontak wajah Sarada memerah. Percakapan seperti ini seharusnya adalah hal yang lumrah di umurnya, tetapi tetap saja dia merona seperti gadis baru remaja.

"Aku merasa waktu cepat sekali berlalu. Kau cepat sekali besar dan tidak disangka melanjutkan mimpi Sakura. Untung saja dari awal tidak salah jurusan. Sakura ingin jadi psikiater, tapi dia malah masuk jurusan psikologi." Mereka berdua terkekeh.

"Maka dari itu, karena mama salah jurusan, sekarang aku jadi tahu kalau mau jadi psikiater itu harus ambil jurusan kedokteran umum dulu." Mereka lalu tertawa lagi.

"Dia ceroboh sekali."

"Ah, iya ya. Koas mu bagaimana? Sebentar lagi mau selesai ya? Bersabarlah. Setelah ini akan ada uji sertifikasi, internship, ah. Paling tidak butuh 10 tahun untuk jadi psikiater. Yang paling penting adalah, jangan putus asa. Masyarakat butuh orang sepertimu, Sarada." Tentu saja Sarada tahu itu. Dia pun mengangguk.

"Ya. Aku pun tidak mau ada orang-orang yang berpikir seperti papa." Lalu gadis itu tersenyum kecut. Belakangan ini, karena koas, dia tidak sengaja menemukan sebuah berkas ketika ditugaskan membersihkan ruang dokumen. Di berkas itu tertulis pasien konsultasi kejiwaaan atas nama Uchiha Sasuke. Lengkap dengan catatan kejiwaan, obat yang harus ditebus, lama pengobatan, perkembangan, serta dokter yang bertanggung jawab.

Sarada melihat Tsunade lagi setelah mengingat hal tersebut. Sangat terlambat untuknya menyadari.

"Itu adalah masa lalu, dan masa lalu memberikan pelajaran yang penting bagi kehidupan. Aku setuju denganmu. Kamu harus banyak-banyak menyadarkan orang-orang agar tidak seperti Sasuke." Setelah perbincangan itu, atmosfer terasa sedikit sesak.

"Tapi karena itulah Sasuke bisa bertemu dengan Sakura kan? Tentu saja kalau pertemuan itu tidak ada, kau juga tidak ada di dunia ini."

"Mungkin ada. Hanya saja namaku bukan Sarada." Atmosfer yang sedikit tak enak itu pun mencair karena candaan.

"Ah ya. Maaf prof. Aku harus bergegas. Calon suamiku sedang menunggu di depan."

"Baiklah. Besok aku akan melihatmu dengan gaun yang cantik." Ia lambaikan tangan lalu meninggalkan Tsunade.

"Maaf lama." Sarada memasuki mobil dan ia dapati wajah masam calon suaminya.

"Mengapa lama?"

"Tadi habis bertemu profesor Tsunade."

"Tch!" Dia berdecak, membuat Sarada menyeringai tipis dan dengan cepat mengecup pipi calon suami.

"Jangan cemberut, Boruto!" Ucapnya gemas. Tak lupa menusuk-nusuk pipi Boruto. "Aku begini karena kita akan bertemu kedua orang tuamu sayang. Harus cepat. Masih ada banyak hal yang harus dilakukan. Mengecek gedung, mengambil cincin..."

Tell Me About Mama (Complete!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang