The Kite Flyer

623 35 2
                                    

thru writing this series i consider myself really not good with commitment, neither in writing nor...

~mars

*



Holidays feel like a dream as its disappear while we wake up.

Begitu pesawatku melandai kemudian sang kapten membacakan pantun dengan isi kurang lebih untuk menjalani hari kembali di ibukota. Selimutku seperti ditarik paksa, dengan jendela terbuka lebar menyemburkan silaunya sinar mentari membuatmu terpaksa bangun dan bekerja.

Pun di hari hari setelah mendarat, aku memutuskan untuk langsung bekerja.

Nyatanya kantor pun tidak lepas dari jejak Laz. Literally, hes not an employee. But technically, he's been working here, for months? I dont clearly remember.

Bahkan ia membuat satu kolase besar berisi candid pengerjaan awal event hingga project kami berakhir. Foto candidku yang berhasil ia abadikan dengan indah, tentu saja with the girls, all the pretty girls involved, serta foto candidnya sendiri yang kuabadikan via kamera pocket ku.

And just like any working days yang membosankan, aku hanya berharap tidak ada kesalahan major yang menyulitkan pekerjaanku hari ini.

Sekian lama orang-orang selalu berkata aku tidak mencintai pekerjaanku, aku tidak berusaha padahal ini yang diinginkan banyak orang. Berkerja dengan mengelilingi hampir seluruh nusantara hanya demi memotret dan mencari diksi, bertemu higher ups dan selebriti untuk mempromosikan produk.

Namun begitulah manusia yg tidak pernah puas dan hanya mengomentari tanpa merasakan sepatu yan kukenakan. Bertahun lulus di jurusan Teknik Kimia di salah satu kampus di timur Jawa membuatku bermimpi dikelilingi manusia dengan jas lab, melakukan percobaan, bergelut dengan tabung elenmeyer alih-alih menghitungi botol bir pada setiap after party dengan para social influencer.

Berbekal pengalaman kepanitiaan sebagai sosmed specialist, serta berhasilnya project rebranding pada masa sebagai Management Trainee, akupun terperangkap dalam dunia hingar bingar penuh manusia ekstrovert sedangkan terakhir aku mengecek, masih sebagai ambivert.

"Lo tuh ngga deket sama tim lo?" papar Laz dulu, mendapatiku menyudut menjadi pengamat

"Lumayan."

"Padahal lo cocok kok sama kerjaan lo. Brief lo jelas. Sebagai vendor sih gue seneng ya."

"Iya karena gue yang emosi," aku menanggapinya dengan emosi. "Ga ada lagi ya Laz kita project bareng. At least dalam waktu dekat."

"Kenapa? Gara-gara waktu itu? Dih. Laki lo tau?" Laz menggeser duduknya mendekat, ingin tau.

"Ya... enggak. Tapi instuisi aja gak sih, bentukan lo semacam fuckboy grade A gini."

"Al, Al. Posesif amat tuh laki sampe ngelarang-larang perihal kerjaan. Lo yakin mau nikah ama yang kaya gitu? Belum nikah aja ngatur-ngatur?"

"Trus kaya gimana? Yang ngga ngatur-ngatur tapi liar kaya elo?"

"Emang cowo lo better dari gue? Kadang orang yang bikin salah tuh lebih ngegas dibanding yang bener, tau ga?"

BLUEBERRY   Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang