Strangers in the Light

1.4K 72 21
                                    

*

Lovers in the night, strangers in the light.

Another rule we lived by so far. Di antara aku dan Laz, tercipta beberapa aturan tak tertulis yang sayangnya sekaligus syukurnya kami saling menghargai itu. Bahkan kamipun bukan pecinta di malam hari, bercinta layaknya sebuah gerakan dansa bagiku, dan olahraga malam bagi Laz, hanya pembakar kalori meski menurut penelitian tidak sebanyak berlari.

Kemudian di pagi hari, bahkan sebelum pagi, aku akan bergegas terlebih dahulu membersihkan diriku sedingin apapun airnya jika sial —kamar, apartmentku, kontrakan Laz, atau dimanapun— tidak tersedia air hangat. Lalu lucunya aku akan merasa kotor, bodoh, merapal doa doa pagi serta pengakuan dosa atas kesalahanku di malam hari.

Menghafal kebiasaanku, Laz akan menyambut dengan cengiran menyebalkannya, mengejek, "Al, Al, masih aja. Youre not a virgin mary."

Maka tubuhku otomatis memilih selalu bersiap terlebih dahulu sebelum ia bangun kemudian mengejekku.

Terbangun dengan kepala berat pasca bergelas minuman semalam, aku mendapati diriku hanya berbalut selimut tebal. Pakaianku tergeletak sembarang ketika ku menyisir pandangan ke seluruh arah. Seingatku ini pun bukan kamarku. Aku memungut handphone di dalam handbag di kursi malas, kemudian menengok langit sedikit di sela gordyn yang tampaknya masih gelap.

Memegang selimutku asal, aku hanya men scroll sekilas notifikasi pada layar handphone. Masih membosankan seperti biasanya.

Akupun bangkit kembali untuk mengenakan bathrobe, mencari Laz untuk menghajarnya kalau ia benar benar meninggalkanku sendirian di kamar hotel.

"Kok lo—"  Ga bangunin gue?

Bisikanku terhenti ketika menemukan Laz sibuk dalam panggilan video di kamar mandi.

"Iya, cantik. Nanti yaya bawa bonekanya ya, baik baik sama ibun ya. "

Ia melirikku sekilas. Melanjutkan obrolannya lagi, dengan kikuk aku mengambil seperangkat alat gosok gigi, menutup pintu kamar mandi, menggesernya perlahan.

Tak lama ia keluar dari kamar mandi, saat aku asyik menggosok gigi kering, tanpa pasta gigi, tanpa air —salah satu kebiasaan yang ia cemooh juga— sembari memandang kosong acara televisi yang sengaja ku mute.

Ia datang mengacak lembut rambutku kemudian mencium singkat puncak kepalaku. "Got a good sleep, huh?"

"How are they?"

"Who?"

"Your family?"

"Fine. The girl lil bit sick, demam katanya. And the woman upset I'm not there."

"Dan lo gak pulang?"

"Gue minggu lalu ke Jakarta, Al. You've seen that, on my igs, havent you?"

Aku mengedikkan bahu.

Aku bahkan tak lagi mengikuti media sosialnya, ingat!

Laz bukannya pria brengsek yang meninggalkan anak istrinya demi bersenang-senang melupakan tanggungannya. Bukannya pria malas yang memanfaatkan nama keluarga istrinya untuk menaikkan karirnya. Bukan. He's not what you think of baddest boy, scratch that, husband in town.

Mengutip lirik buatan John Mayer dalam lagu Slow Dancing in A Burning Room, "he be a jerk because he can". Dengan visual tampan kombinasi fitur wajah kaukasian yang ia sebut warisan dari sang kakek dibalut kulit eksotis Asia Tenggara, ia dengan mudah mendapatkan gadis untuk sekedar ngobrol, akunya.

BLUEBERRY   Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang