never asked to be like this

160 15 0
                                    

long time no see, guys
this part contains matured content yaa...

***

I'll tell you that most of adult relationship is to compromise. Well, adulting is compromising.

Maksudnya semakin dewasa membuatmu menimbang kepentingan dari orang yang hadir di hidupmu sekaligus mencoba berdamai dengan banyak keadaan, apalagi jika mendapati konflikmu tidak seberapa dengan benefit yang kamu dapat.

Aku dan Tante mungkin bukan bestie goals yang selalu memberi afirmasi positif satu sama lain. Khususnya aku, aku lebih sering memandang beberapa hal dalam dirinya sebagai negatif, namun aku berdamai.

Kedatanganku di studionya, studio kami bukan semata untuk kembali menjalankan rutinitas olahraga sekaligus kesenian tari, namun tetap berkaitan. Aku sengaja mengajaknya untuk menemani dealing terakhir dengan sanggar rias serta kebaya untuk pernikahan adikku.

Kami menuju Sanggar Rakananta, sanggar tradisional tempatku menari dulu yang juga kugadang-gadang menjadi sanggar impianku untuk mengurus semua hal terkait pernikahanku, dulu. Masih menyakitkan bagaimana kebaya impianku masih terpajang disana, yang sebentar lagi pemiliknya akan disubtitusi oleh adikku.

"Gimana studio di Ubud? Aman? Udah ada desainnya? Dari kemaren katanya mau cari arsitek kok blom nemu-nemu."

Adalah kebiasaan Tante yang seperti ini, seperti Ibu yang selalu mengecek PR sepulang sekolah, Tante selalu mengecek progres perkembangan hidupku setiap saat ia bertemu denganku. Kadang menyebalkan, namun seringkali lebih kubutuhkan. Khususnya saat ini, yang kuyakin adalah usaha Tante mengalihkan pikiranku dari terawangan masa lalu ketika aku menyentuh kebaya modern berwarna hijau lumut berpadu batik lawasan pada manekin, sepertinya tubuhku bahkan tidak akan lagi muat dengan kebaya ini kupikir-pikir.

"Udah kok."

"Tumben, dapet darimana?" Ekspresinya yang terkadang tidak konsisten pun adalah salah satu sikap menyebalkannya.

"Dating apps."

"Gausa aneh-aneh deh."

"Loh kenapa emang? Siapa tau kan?"

"Siapa tau jodoh?"

Tawa kami terpecah pelan atas candaan lokal kami meledek kehidupan. Sampai aku akhirnya memberi jawaban versi serius, "Orang kantor kasih rekomendasi."

Dengan kalimat terakhir aku tidak berbohong kan? Aku hanya mempersingkat pernyataan bahwa aku mendapatkan jaringan arsitek melalui kantor Laz.

"Terus gimana? Bisa jadi jodoh?"

"Yeu, diterusin. Males banget gak sih denger orang ngomong kayak gitu, kayak apa-apa semoga jadi jodoh."

"Iya," ia pun mengangguk setuju.

"Padahal ya kita menjalanin hidup aja."

"Kayak apa-apa solusinya nikah."

"Padahal yang nikah yah blum tentu awet."

"Yaaah, kayak si gendut itu dek," dari deretan kebencianku dengan Tante, pembicaraan mengenai her longlasting imaginary boyfriend ini menempati peringkat pertama sebagai topik yang paling kubenci.

"Kayak ga niat gitu si gendut nikah terus cerai terus nikah lagi. "

"Kenapa orang bisa terpikirkan perpisahan kalau persiapan hidup bersama aja rumit gini," sebagai upaya menghargainya, aku menyahut sambil menunjuk ruwetnya deretan gantungan gaun-gaun pernikahan di sekeliling kami. Bahkan pada hubungan pertemanan, rasa saling menghargai cukup membuatnya bertahan sekian lama. Padahal pikirku tidak fokus pada cerita membosankannya, alih alih mengawang pada usahaku dulu kesana kemari mencari wedding organizer, persewaan gedung, penjahit kebaya, sendirian.

BLUEBERRY   Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang