he said, "sorry imma bad boy"

632 41 6
                                    


Pada setiap cerita tentang pertemanan dengan keuntungan, named it friends with benefit, baik dalam cerita tertulis, aksi drama atau apapun, bentuk ceritanya selalu berakhir dengan salah satu atau keduanya saling jatuh cinta. Nyatanya, bahkan waktu tidak memberi kesempatan sedikitpun untuk kami saling jatuh cinta.

Nyatanya, baik aku maupun Laz, selalu bertemu dalam kondisi kami saling  sibuk dengan permasalahan cinta masing-masing. Menyisakan rasa untuk saling memberi kehangatan, kenyamanan, dan kesenangan sedikit tanpa berhutang apapun.

Laz bagiku, begini, apa kalian pernah mempunyai seseorang yang, to be honest its not called love kalo cinta yang dimaksud ingin hidup bersama, ingin ada di sampingnya selamanya, aku tidak pernah sedikitpun punya keinginan semcam itu pada Laz.

Namun entah kenapa, berulang kali aku jelaskan kan, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku ingin tau isi kepalanya, idealismenya. Kenapa dia hidup seperti itu. Kenapa ia begitu mudah mengesampingkan rasa demi hal hal sementara. Aku percaya aku sudah mengulang kalimat ini beberapa kali, tapi semua orang tetap tidak paham, baik itu Tante, Jeni, atau kalian mungkin.

"Gue tuh pernah Al, diangkut cewe cantik banget," aku menengok padanya dengan antusias, sisa tenagaku sepertinya masih ada kalau hanya untuk mendengar cerita randomnya.

Jemari Laz memutar rambutku yang selalu dipujinya bagus meski aku kerap bereksperimen dengan warna. "Si-anjir pagi-pagi kamar hotel digedor bapak-bapak dong."

Cerita mulai seru. Lumayan membangunkanku di hari terakhirku di Bali.

"Gataunya si cewe simpenan pejabat dong."

"Terus gimana lo?"

"Kena gampar lah gue," ia terbahak dengan brengseknya.

"Masih untung ngga dikroyok massa."

"Iya, dia tanya gue kerja apa kuliah? Ya gue bilang dengan melas kalo gue masih kuliah, pas di Surabaya sih itu gue."

"YOU, WHAT?" aku yang terkaget dengan pernyataannya, kalau di masa kuliah aja seperti itu, kenapa tak kunjung bosan pria satu ini bermain main. "Di Surabaya bagian mana coba Laz, lo bisa bandel? Bukan Jakarta, bukan Bandung?"

Aku selalu punya pikiran bahwa Surabaya bukan tempat dimana kamu bisa mendapat hingar bingar hidup metropolitan. Meski kota itu ialah salah satu kota besar di negara ini, atau mungkin akunya saja yang takbisa mencicip dunia metropolitan disana.

"Ya lo aja Al yang terlalu cupu."

"Baguslah gue cupu. I was so broke that I can't afford your lifestyle, sibuk pertahanin IPK gue, nyambi ngajar, organisasi, pacaran pun baik baik."

"Iyayah lo anak baik ya, Al," Laz mengangguk menyetujui pernyataanku, kemudian cengirannya keluar. "Tapi lo sekarang main sama gue, jadi ngga baik dong, percuma dong kebaikan lo kemaren kemaren."

"Kampret lo," aku menoyornya kesal.

"Tapi lo suka kan?" cengirnya lagi sambil memelukku. "Ketagihan pula."

Aku melotot kesal. Dibalasnya dengan ciuman. "Lagi nggak?"

"Capek gue."

"Mau dipaksa nih?"

Aku tertawa kemudian menggulingkan badan menindihnya. "Laz," memandanginya serius dan lelah.

Menyadari perubahan rautku, Laz menegakkan duduknya, merapihkan posisiku menjadi di pangkuannya. "Lo suka tiba tiba melow deh. Kebiasaan."

"Ketara banget yah."

"Baanget. Aura lo tuh ya, Al. Langsung gelap, mendung."

Aku terbahak dengan ke blak blak annya. Tertawaku yang bahkan ku rindukan. "Gue kangen, Laz."

BLUEBERRY   Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang