gettin lil Nerves

1K 60 10
                                    

*

Konon seiring usia, pola pikir kita berubah. Tadinya mimpimu sesederhana menjadi guru karena laku serta tutur kata guru pengajarmu, kemudian tetiba ingin menjadi ilmuwan pada serial fiksi ilmiah, lalu kau ingin sekedar mendapat banyak uang. Manusia sungguh makhluk ter-tidak konsisten sepertinya. Bahkan selang berapa tahun  lalu, aku jadi orang yang selalu mengutuk kehadiran minuman keras dalam setiap pertemuan casual, malah kini menyesap pahitnya tequila yang Laz sodorkan padaku.

"Tapi kalau gue single, lo kepikiran jadi istri gue ga Al?"

Namun dari seluruh ketidak konsisten-an ku, aku konsisten pada kondisi hatiku, yang sayangnya kebas tidak hanya pada Laz.

Ia menatapku dalam, seolah ucapannya itu keseriusan bukan sekedar omong kosong pertanda otaknya mulai tidak bekerja karena alkohol. Aku memandang jauh pada pria wanita asing menari gila di lantai dansa, hampir hampir mereka saling melepas pakaiannya kalau saja pelayan tidak mengamankannya, kemudian menatapnya.

"Never in million times," aku berkata sangat jujur. Meski di hari-hari menjelang pernikahannya beberapa orang mendapatiku tidak dalan mood yang baik, kurasa aku tak pernah sekalipun terpikir jatuh cinta dengannya.

"You know, our story isn't fwb to lovers trope, Laz," aku menarik kaki telanjangku ke atas sofa, duduk bersedekap menghadapnya. "That's why i love our relationship."

"But not me?" Ia mendekatkan dahinya padaku menatapku menggoda, maka aku sebisa mungkin mengalihkan pandangan kembali asal tidak pada bibirnya.

But shiz, ia melumat bibirku pelan seperti berapa tahun berlalu serta pergantian status lajangnya tak ada artinya. "Miss me, huh?"

Maka aku mendorong lehernya agar mulai mengendur memundurkan wajahnya, namun dibalasnya dengan menambah dan memperdalam kecupan.

Rasanya aneh. Sekaligus nostalgik. Sekaligus menabuh degupan jantung yang kukira terlalu datar belakangan ini.

"Are you nerveous?"

Tebakan Laz membuatku curiga jangan jangan degupan jantungku sekeras itu. Aku menempelkan telunjukku pada bibirnya. "Just don't."

Kemudian menadaskan sisa tequila pada gelasku.

"Still the same naive Al like years ago," kuakui elusannya pada rambutku menenangkan jantungku, sampai ia menjambakku lembut namun, well, lift up the desire more apalagi disertai sebuah bisikan. "Dont you wanna go to the restroom? With me? Like the old times?"

Dengan jari telunjuk serta sisa sisa kesadaran, serta kekuatan, aku menjauhkan wajahnya. "I just wanna talk, here, now."

"Then, talk."

"Besides, for your question before, gue udah tau semua busuk lo, jadi, I dont think I can cope if you be my husband. Haha, husband. Haha," tawaku karena bahkan beberapa hari sebelumnya aku sempat menengok akun sosial medianya yang penuh foto perayaan anniversary pernikahannya. What a good husband of you Laz, haha.

"Lo sendiri, kapan jadi istri orang?"

"Pertanyaan lo kayak netizen."

"It's a friendly question, because we're friends, after all."

"And after those sex?"

"I'm all ears, Al. The last time we meet, you left unnoticed. Gue merasa tercampakkan."

"Because we can't, we shouldn't meet."

"And you shouldnt overthink anything," ia membelai puncak kepalaku lembut. Menganggukkan kepala pada server yang mengantar fritters sebagai pencuci mulut  di samping gelas gelas minuman keras pesanan kami.

BLUEBERRY   Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang