a tale of a marionette

572 32 8
                                    




TW: sex, nudity, a little bit submissive-dominant act (i guess)

🔞🔞🔞






"Mau gue bantu jelasin ga?"

Cukup mengagetkan juga tawaran Laz sebelum ia membelokkan vespanya. Aku hanya menggeleng cepat agar dia tidak usah khawatir, biar aku saja. Walau rasa khawatir ini agaknya mulai membuncah berlebihan.

"Gue balik nih?"

Ia memastikan lagi, bahkan ketika aku mau berbalik. Berlama-lama begini bukankah malah membuat Alfa semakin murka?

"Makasih ya," aku mengucapnya dengan datar dan kikuk. Ia mempersilahkanku pergi duluan. Jadi aku berbalik meninggalkan ia terlebih dahulu padahal tadinya aku ingin mendadahinya dengan semangat sampai ia beranjak memutar vespanya, namun menyadari Alfa masih terdiam beberapa meter di belakangku membuatku mengurungkan lambaian tanganku.

Dugaanku, Alfa ingin tau bagaimana caraku berinteraksi dengan Laz. Jadi harusnya aku bersikap biasa saja kan, selayaknya teman yang mengantar ketika pulang kemalaman. Tidak berlebihan tidak kekurangan.

Pun aku mulanya menyapa Alfa gembira, karena berarti derita LDR ku telah terhenti dengan ia di hadapanku. "Mas?"

Tapi ia berlalu.

Mulanya aku selalu kagum dengan sikap Alfa yang selalu meredam emosinya. Berbeda dengan aku yang selalu meledak-ledak, mengungkapkan isi hatiku padanya lewat cerita, aksi, apapun itu, Alfa selalu menunggu semua dengan kepala dingin. Memberi penyelesaian yang membuatku terpikir berkali-kali akan sikap burukku.

"Mas? Kamu pulang dari kapan? Kok ga kabarin?" Bak anak itik aku mengikutinya berlalu menuju ruang lift.

Alfa tetap diam, hampir-hampir meninggalkanku kalau saja aku tidak menahan pintu lift.

Belakangan ia memang lebih sering diam terlalu lama untuk kesalahan sepele ku. Masih berkontak dengan Laz salah satunya.

Di masa depan aku malah baru tahu kalau Silent Treatment adalah bentuk terburuk dari sebuah kemarahan, seburuk-buruk seseorang yang menganggap kita tak ada harganya. Seperti itu mungkin aku tidak pernah berharga di mata Alfa, namun aku mengelak.

Aku menarik sikunya ketika kami sampai di lorong. "Haloo."

Dengan enteng ia mengelak, "Apasih, Al?"

"Kok gitu tanggapannya."

Ia menggeleng lagi, gestur sama seperti di lobby tadi. "Ckckck, Al, Al. Ancen gak isa kamu tuh."

"Gak bisa apasih? Coba ngomong yang jelas, diterangin satu satu."

"Loh kurang jelas? Omongan-omongan aku selama ini gak masuk kupingmu? Wah!!

Wah!! Nggak bisa kamu tuh jadi istri, Al!"

Memutar kunci unit kami cepat-cepat, ia seperti tidak ingin terjebak dalam dramaku.

"Kok jadi bahas-bahas istri sih. Gampang banget mainin nikah."

"Karena kamu gampangan. Kamu receh. Pulang kan kamu sama fotografer itu, coba nggak ada aku. Kamu ajak nginep sini kali."

BLUEBERRY   Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang