maybe because you an E but i am an I

155 13 2
                                    

Iba.

Sebuah deskripsi tepat untuk tatapan Kak Taniya —Tante— padaku. Mata yang biasanya menyala tajam itu melembut mendapati aku menghela napas keras seusai panggilan telepon dari Ibuku, juga karena angka pada kuitansi pembayaran.

Tanpa perlu ia tanya. Dalam satu tarikan nafas panjang, aku memberinya sinopsis opera sabun keluargaku hari ini.

Alkisah sang calon besan menginginkan tambahan jumlah among tamu dari pihaknya sehingga membutuhkan tambahan seragam, Rendra, sang calon mantu menyanggupi untuk menambah biaya penambahan seragam. Namun ibuku, jadi tak mau kalah untuk menambah jumlah among tamu dari pihak kami.

"Bagus dong, Rendra mau tambahin biaya seragamnya," Tante menyela ceritaku untuk menghaturkan pujian pada si pangeran berkuda putih adikku, Rendra.

Aku memijat kepala mendapati pesta pernikahan tradisional sederhana berubah menjadi royal wedding tanpa sepengetahuanku begini. Kemudian mendecak, "Kayak gatau nyokap gue. Masalahnya uang yang dikasih Rendra pun jadi dipake ibu buat ini itu, alesannya karena seragam ini tanggungan gue."

"Astagaa. Ibu lo tuh ya, dek."

Saat ia akhirnya ikut mendengus kesal, rasa sesakku takbisa kuungkap lagi lewat keluhan atau tindakan fisik lain. Aku hanya butuh menghirup banyak udara, serta memutar otak darimana uang sebanyak itu kudapat dengan segera.

"Konstruksi studio diundur dulu kali ya?"

"Emang lo belum deal apa-apa? Coba lo bilang Ral sih," Tante memberiku opsi seakan tak tahu bagaimana hubunganku dengan adikku.

"Buat apa?"

*


Karena hubunganku dengan adikku tidak pernah baik.

Kalau kamu kira punya saudara dengan gender sama, kecerdasan sama, bahkan visual yang sama baiknya akan membuat kami akrab dan menjadi sibling goals layaknya selebgram? Itu salah besar.

Hubunganku dengan Shintya Raluna tidak lebih seperti dua anak yang kerap menodongkan sejata. Jika di masa kecil, kami berebut mainan, pakaian, teman sepermainan, atau ranking sekolah. Di masa remaja kami saling curiga dan cemburu yang memalukan, karena pria, juga idealisme.

"Gue gasuka Alfa," aku tidak meminta pendapatnya akan calon suamiku, dulu, tapi ia serta merta mengatakan itu setelah kunjungan Alfa ke keluarga kecil kami.

"Mas! He's older than you," aku mengoreksi panggilannya.

"Gue nggak merasa harus menghormati dia."

"To whatever reason you hate him, he's still older than you, to be your older brother."

Ia masih menantang dengan pendapatnya, "To be, ya? Masak lo nggak kerasa gitu iktikadnya Alfa?"

Di masa beranjak dewasa kami bukan merebutkan pria karena selera kami yang sama lalu terjebak cinta segitiga, tidak, toh umur kami yang terpaut lima tahun mengecilkan kemungkinan tersebut, namun seleranya yang terpaut aneh akan pria selalu menggangguku.

Kalau gen resesif dalam kemampuan mencari pria baik baik bisa diturunkan, kurasa Raluna lah penerus gen tersebut. Maka aku membalas, "Iktikad apa proyeksi lo atas ketidak sukaan gue sama mantan mantan lo?"

Yang benar saja, aku masih ingat dengan baik betapa kacaunya kepribadian pria-pria yang pernah mampir dalam hidupnya. Ia sendiri secara tidak langsung mengakuinya lewat umur hubungan yang tidak pernah lewat dari satu dua bulan. Namun dengan segala percaya dirinya, ia memperkenalkan satu demi satu pria pria dalam hidupnya sampai pada tahap aku tidak menganggap mereka. Kehadiran mereka baru kuakui ketika porsi makan bersama keluarga kami bertambah, buruknya, tidak ada satupun yang beriktikad untuk mengganti apapun yang terhidang.

BLUEBERRY   Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang